- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Depok Pajaki Warteg, Pedagang: Pembeli Lari kalau Harga Naik


TS
hap69
Depok Pajaki Warteg, Pedagang: Pembeli Lari kalau Harga Naik
Quote:
Depok Pajaki Warteg, Pedagang: Pembeli Lari kalau Harga Naik
SENIN, 13 FEBRUARI 2017 | 23:00 WIB

Warung Tegal (warteg)Sido Mulyo di kawasan Meruyung, Depok (13-2-2017). Pemerintah Kota Depok akan memasukkan warteg, rumah makan padang sebagai objek pajak. (Tempo/Imam Hamdi)
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Kota Depok akan menyisir warung tegal (warteg) dan rumah makan padang sebagai objek pajak. Berdasarkan peraturan daerah nomor 7 tahun 2010 tentang pajak daerah, setiap rumah makan yang beromset minimal Rp 10 juta perbulan wajib membayar pajak 10 persen dari pendapatannya pertahun.
Sejumlah pedagang warung mengaku keberatan dengan rencana ini. Ipah, 35 tahun, pemilik Warteg Sido Mulyo di kawasan Meruyung, mengatakan, persaingan usaha sekarang cukup tinggi. Apalagi, semua kebutuhan pokok juga sudah mahal. Kalau harga dinaikkan, kata dia, bisa mengurangi konsumen. "Kalau yang makan dikenakan pajak, pada lari tidak makan di sini," kata Ipah, Senin, 13 Februari 2017.
Selain itu, kebanyakan warteg juga mengontrak di kawasan Depok. Kalau pemerintah memaksakan meminta pajak dari industri kecil seperti warteg, kata dia lagi, para pengusaha akan menjual keliling, sebagai solusinya. "Kalau mau minta pajak yang di dalam toko atau mall, saja yang dikenai pajak," ucapnya.
Ipah mengatakan, usahanya belum tentu mendapatkan omset sebesar itu. "Kalau dulu pernah. Tapi, sekarang untung Rp 6 juta sebulan saja sudah syukur," ucapnya.
Pemilik Rumah Makan Padang Cahaya Baru Margonda, Supardi, 54 tahun, keberatan jika rumah makan kecil di Depok, dikenai pajak. Apalagi, rumah makan miliknya hanya beromset Rp 8 juta perbulan. "Kalau dikenakan pajak berat. Tapi, kalau untuk rumah makan yang besar tidak apa-apa dikenai pajak," ucap pria kelahiran Pariaman, Sumatra Barat.
Kepala Bidang Pajak 1 Badan Keuangan Daerah Endra mengatakan pihaknya terus melakukan sosialisasi dan mendatangi rumah makan yang beromset Rp 10 juta agar membayar pajak. Sejauh ini baru ada 467 wajib pajak dari sektor rumah makan atau restoran.
"Warteg dan rumah makan padang yang pendapatannya mencapai Rp 10 juta, masuk ke dalam wajib pajak. Kami sedang gencar melakukan sosialisasi agar mereka membayar pajak," kata Endra.
Ia menuturkan pendapatan daerah dari sektor pajak restoran mencapai Rp 101,4 miiar dari target Rp 91,1 miliar pada tahun 2016. Sedangkan, pemerintah meningkatkan target pajak restoran tahun ini mencapai Rp 104 miliar.
Menurutnya, banyak kendala dalam menarik pajak terutama bagi warteg atau rumah makan padang. Soalnya, mereka harus jujur menghitung sendiri pendapatan usahanya atau self assessment, dan menyerahkannya kepada pemerintah.
"Ada kekhawatiran usaha mereka ditinggal kalau nanti tambah mahal harganya. Padahal, yang menanggung pajak pembeli di sana," ujarnya.
Endra menuturkan mempunyai delapan anggota untuk menyisir rumah makan yang belum membayar pajak. Mereka dibagi ke kawasan timur, tengah dan barat, setiap hari kerja. Dari Januari 2017, kata dia, telah terjaring 12 rumah makan yang beromset Rp 10 juta, untuk membayar pajak tahun ini.
"Perlu dua sampai tiga kali datang, agar paham bahwa usaha mereka menjadi bagian objek pajak pemerintah," ucapnya. "Pajak mereka membantu pembangunan di Depok."
Selain dari pajak restoran, Depok juga gencar memaksimalkan pajak hotel. Total ada 270 wajib pajak hotel di Depok. "Rumah kos-kosan yang mempunyai 10 kamar ke atas, sudah menjadi objek pajak pemerintah. Mereka wajib membayar pajak," ujarnya.
Dari 270 wajib pajak hotel, sebanyak 251 wajib pajak dari pengusaha kos-kosan. Menurutya, kendala memungut pajak dari wajib pajak kos-kosan adalah pemiliknya bukan orang Depok. "Hampir semua kos-kosan milik orang luar Depok," ujarnya.
Tahun 2016 dari target Rp 14,1 miliar pajak hotel terealisasi Rp 15,2 miliar. Dan tahun ini pemerintah menetapkan target pajak hotel Rp 15 miliar. "Pajak dari kos-kosan masih bisa dimaksimalkan," katanya.
IMAM HAMDI
SENIN, 13 FEBRUARI 2017 | 23:00 WIB

Warung Tegal (warteg)Sido Mulyo di kawasan Meruyung, Depok (13-2-2017). Pemerintah Kota Depok akan memasukkan warteg, rumah makan padang sebagai objek pajak. (Tempo/Imam Hamdi)
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Kota Depok akan menyisir warung tegal (warteg) dan rumah makan padang sebagai objek pajak. Berdasarkan peraturan daerah nomor 7 tahun 2010 tentang pajak daerah, setiap rumah makan yang beromset minimal Rp 10 juta perbulan wajib membayar pajak 10 persen dari pendapatannya pertahun.
Sejumlah pedagang warung mengaku keberatan dengan rencana ini. Ipah, 35 tahun, pemilik Warteg Sido Mulyo di kawasan Meruyung, mengatakan, persaingan usaha sekarang cukup tinggi. Apalagi, semua kebutuhan pokok juga sudah mahal. Kalau harga dinaikkan, kata dia, bisa mengurangi konsumen. "Kalau yang makan dikenakan pajak, pada lari tidak makan di sini," kata Ipah, Senin, 13 Februari 2017.
Selain itu, kebanyakan warteg juga mengontrak di kawasan Depok. Kalau pemerintah memaksakan meminta pajak dari industri kecil seperti warteg, kata dia lagi, para pengusaha akan menjual keliling, sebagai solusinya. "Kalau mau minta pajak yang di dalam toko atau mall, saja yang dikenai pajak," ucapnya.
Ipah mengatakan, usahanya belum tentu mendapatkan omset sebesar itu. "Kalau dulu pernah. Tapi, sekarang untung Rp 6 juta sebulan saja sudah syukur," ucapnya.
Pemilik Rumah Makan Padang Cahaya Baru Margonda, Supardi, 54 tahun, keberatan jika rumah makan kecil di Depok, dikenai pajak. Apalagi, rumah makan miliknya hanya beromset Rp 8 juta perbulan. "Kalau dikenakan pajak berat. Tapi, kalau untuk rumah makan yang besar tidak apa-apa dikenai pajak," ucap pria kelahiran Pariaman, Sumatra Barat.
Kepala Bidang Pajak 1 Badan Keuangan Daerah Endra mengatakan pihaknya terus melakukan sosialisasi dan mendatangi rumah makan yang beromset Rp 10 juta agar membayar pajak. Sejauh ini baru ada 467 wajib pajak dari sektor rumah makan atau restoran.
"Warteg dan rumah makan padang yang pendapatannya mencapai Rp 10 juta, masuk ke dalam wajib pajak. Kami sedang gencar melakukan sosialisasi agar mereka membayar pajak," kata Endra.
Ia menuturkan pendapatan daerah dari sektor pajak restoran mencapai Rp 101,4 miiar dari target Rp 91,1 miliar pada tahun 2016. Sedangkan, pemerintah meningkatkan target pajak restoran tahun ini mencapai Rp 104 miliar.
Menurutnya, banyak kendala dalam menarik pajak terutama bagi warteg atau rumah makan padang. Soalnya, mereka harus jujur menghitung sendiri pendapatan usahanya atau self assessment, dan menyerahkannya kepada pemerintah.
"Ada kekhawatiran usaha mereka ditinggal kalau nanti tambah mahal harganya. Padahal, yang menanggung pajak pembeli di sana," ujarnya.
Endra menuturkan mempunyai delapan anggota untuk menyisir rumah makan yang belum membayar pajak. Mereka dibagi ke kawasan timur, tengah dan barat, setiap hari kerja. Dari Januari 2017, kata dia, telah terjaring 12 rumah makan yang beromset Rp 10 juta, untuk membayar pajak tahun ini.
"Perlu dua sampai tiga kali datang, agar paham bahwa usaha mereka menjadi bagian objek pajak pemerintah," ucapnya. "Pajak mereka membantu pembangunan di Depok."
Selain dari pajak restoran, Depok juga gencar memaksimalkan pajak hotel. Total ada 270 wajib pajak hotel di Depok. "Rumah kos-kosan yang mempunyai 10 kamar ke atas, sudah menjadi objek pajak pemerintah. Mereka wajib membayar pajak," ujarnya.
Dari 270 wajib pajak hotel, sebanyak 251 wajib pajak dari pengusaha kos-kosan. Menurutya, kendala memungut pajak dari wajib pajak kos-kosan adalah pemiliknya bukan orang Depok. "Hampir semua kos-kosan milik orang luar Depok," ujarnya.
Tahun 2016 dari target Rp 14,1 miliar pajak hotel terealisasi Rp 15,2 miliar. Dan tahun ini pemerintah menetapkan target pajak hotel Rp 15 miliar. "Pajak dari kos-kosan masih bisa dimaksimalkan," katanya.
IMAM HAMDI
https://metro.tempo.co/read/news/201...lau-harga-naik
Salah ahoax



0
3.3K
Kutip
32
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan