Kaskus

Entertainment

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo: Ini Pekerjaan Rumah Kita
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo: Ini Pekerjaan Rumah Kita

Beragam penghayat kepercayaan di Indonesia menjadi sebuah realitas budaya dan tradisi yang ada sejak dulu kala. Namun, diskriminasi kerap kali diterima oleh para pemeluk agama minor tersebut. Banyaknya aturan pemerintah pun belum mampu mengatasi persoalan.

Di Indonesia hanya enam agama yang diakui, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan terakhir Konghucu. Para pemeluknya pun, dengan mudah mendapatkan beragam fasilitas dan hak sebagai warga negara. Hal itu bertolak belakang dengan kondisi yang dihadapi kebanyakan penganut agama lokal (sering disebut penghayat kepercayaan) maupun pemeluk agama minoritas di Indonesia. Faktanya, masih banyak terjadi diskriminasi terhadap mereka. Mulai dari masalah Kartu Tanda Penduduk, pembuatan akte kelahiran, pendidikan, pembuatan rumah ibadah, hingga persoalan lainya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui, untuk menghadapi permasalahan itu sebenarnya para aparatur negara sudah diminta melayani tanpa diskriminasi. Semua itu terlegitimasi dengan keluarnya peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 Tahun 2009, tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Menteri Tjahjo, dalam aturan tersebut ada beberapa hal yang diatur. Misalnya, pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah kepada penghayat itu meliputi administrasi organisasi, pemakaman, sampai sasana sarasehan atau tempat mereka berkumpul dan beribadat.

Mantan Sekjen PDI Perjuangan itu menjelaskan lebih jauh tentang aturan tadi, juga langkah lain yang diambil pemerintah dalam menghadapi persoalan ini kepada wartawan Gatra Bernadetta Febriana di kantornya, medio Juni lalu. Petikan wawancara itu:

Banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh para penghayat dan pemeluk agama minoritas ketika membuat akte kelahiran, KTP, hak untuk berpendidikan, hingga saat kematian. Mengapa ini bisa terjadi? 
Secara prinsip, setiap warga negara Indonesia harus mempunyai akte kelahiran, karena itu syarat untuk mengajukan berbagai macam hal. Dari 254 juta penduduk, tercatat 182 juta penduduk yang harus punya KTP. Namun, baru sekitar 158 juta yang terekam alias punya KTP dan punya database. KTP itu sangat penting, seperti nyawa kedua. Karena, mau mengurus apapun pakai KTP. Mulai urusan bank sampai cari pekerjaan. Sekarang ini, format KTP sudah baku. Kolom agama, misalnya. Berdasarkan keputusan pemerintah itu enam agama sah wajib hukumnya dicantumkan. Supaya jelas.

Saya teringat, waktu itu, sebulan setelah saya menduduki posisi Mendagri, saya didatangi kelompok masyarakat penghayat kepercayaan. Mereka bilang, 'Pak, kami ini warga negara Indonesia. Kami ini lahir di Indonesia. Mendapatkan KTP saja kok sulit. Karena alasannya kami ini tidak punya agama tapi punya kepercayaan. Apa itu nggak boleh? Kami meninggal saja tidak boleh dimakamkan di kampung saya sendiri. Padahal saya lahir di kampung saya.'

Nah, monitoring kita, ada beberapa daerah yang kalau penduduknya tidak mau mencantumkan agamanya, tidak bisa diberi KTP. Ada aparat di pemda yang bilang, kepercayaanmu kan masih ada bau-baunya Katolik, ya sudah ditulis saja Katolik. Ada yang terpaksa mau, ada yang tidak. Tapi ada juga daerah yang benar, yang sudah tahu kalau di luar enam agama yang sah, dia bisa mengisi aliran kepercayaan yang sudah disediakan di formulir KTP. Jadi di kartunya memang kosong, tidak ada tulisan agamanya, tapi kalau dibuka di database, akan terbaca aliran kepercayaannya apa. Dalam formulir pengisian itu ada macam-macam aliran kepercayaan yang bisa dipilih. Inilah yang masih menimbulkan pro dan kontra.

Jadi menurut Anda, letak masalahnya di mana?

Intinya dari segi implementasi. Kalau dari aturan dan pedoman itu sudah ada semua. Impelementasi tidak jalan karena ada oknum. Karena seperti di Manislor, Kuningan (banyak warganya pemeluk Ahmadiyah), yang sebenarnya KTP sudah siap semua, hanya dibaginya bertahap. Tapi, pada prinsipnya sudah dilaksanakan, supaya tidak terkesan ada diskriminasi.

Aliran kepercayaan itu harus didata, supaya masyarakat yang punya aliran kepercayaan itu oleh Kejaksaan tidak dimasukkan ke daftar kepercayaan sesat. Misalkan kepercayaan Gafatar. Itu kan tidak boleh. Lalu, kemudian ada warga yang bilang dihambat. Padahal bukannya dihambat, tapi kami kan juga butuh kejelasan. Aliran kepercayaanmu itu masuk sesat atau tidak.

Bagaimana dengan yang terpaksa untuk mengisi kolom agama? 
Seperti penghayat Kaharingan yang diharuskan menuliskan Hindu sebagai agama mereka, padahal mereka menolak hal tersebut. Itu dulu kok, kalau sekarang dibolehkan. Seperti Kaharingan, mereka sudah keluar dari Hindu. Jadi KTP mereka kosong, tapi ada di database kalau mereka itu penganut kepercayaan. Jadi kalau mereka memerlukan data untuk mengurus data kependudukan, itu ada datanya. Kalau dia memperpanjang KTP-nya sekarang ini, bisa nanti dia memilih aliran kepercayaannya dan di kolom agama akan dikosongkan.

Kemarin itu kan ada kesalahpahaman yang ditangkap teman-teman media, bahwa Mendagri memperbolehkan mengosongkan kolom agama. Padahal bukan itu maksudnya. Yang agama itu harus diisi tapi kalau kepercayaan kosongkan. Karena kita juga tidak boleh memaksakan suatu kepercayaan itu dianggap dekat ke Islam lalu harus tulis Islam misalnya. Tapi di database harus diisi.

Bagaimana dengan hak mereka yang lain?

Jadi intinya setiap warga negara RI yang mengakui dasar negara dan lahir di sini, ya dia juga harus bisa dimakamkan di sini. Dia juga berhak atas akte kelahiran, berhak atas KTP, berhak atas pendidikan dan sebagainya.

Para pemeluk kepercayaan sering disebut ateis, komunis bahkan oleh aparat pemerintahan setempat dipersulit pelayanannya. Bagaimana Kemendagri menyikapi ini?

Ya, ini kan negara besar. Sumber daya manusia belum merata, otomatis pemahamanya juga belum merata. Nggak usah ngomong yang di pelosok, yang di Jakarta saja ada kok aparat yang belum paham dengan aturan yang ada. Ini Indonesia, yang luasnya tidak seperti Singapura. Kelurahan ada lebih dari 80.000. Ditjen Dukcapil sendiri tidak berhenti-hentinya melakukan sosialisasi dan keliling. Kami mengasistensi terus. Tapi ada juga yang seperti Ahmadiyah ngotot untuk dimasukkan ke Islam. Jadi di lapangan memang berbeda-beda. Kita memberikan pelayanan dengan kemudahan, tapi kan juga tetap ada aturannya. 
Apakah benar, kalau kolom agama kosong akan tidak dilayani baik itu oleh bank, kantor pemerintahan, dan lain-lain?

Nggak apa-apa kok. Suruh saja petugasnya mencek dan mengaktifkan chip-nya. Jangan ragu untuk bilang saya ini penganut kepercayaan.

Apabila mereka memilih mengosongkan kolom agama karena lebih memilih kepercayaan, apakah nantinya mereka juga akan tetap mendapatkan perlakuan yang sama?

Iya, kan memang tidak boleh ada diskriminasi. Mengurus akte kelahiran dan kematian itu otomatis, siapapun orangnya.

Apa saja peraturan yang sudah ada untuk menjamin para penghayat? Sudah ada beberapa instruksi agar pelayanan dilakukan tanpa diskriminasi, seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 tahun 2009, tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang maha Esa. Ada beberapa hal yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri ini, seperti pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah kepada penghayat itu meliputi administrasi organisasi, pemakaman sampai juga sasana sarasehan atau tempat mereka berkumpul dan beribadat.

Bagaimana dengan pembangunan tempat atau rumah beribadah mereka?

Itu yang disebut dengan sarasehan. Sebenarnya sudah banyak yang mendirikan, seperti di Tegal dan juga Banten. Tapi memang ada beberapa yang diganggu karena dianggap musyrik, misalnya. Beberapa organisasi garis keras memang yang banyak menentang, tapi itu sudah kita selesaikan perlahan-lahan.

Ini kan budaya, tradisi. Dan mengenai penyediaan sasana ini kan ada di Peraturan Bersama itu. Seperti para penghayat Subud dan Pangestu, itu kan mereka punya juga. Di Baduy, itu ada di ngarai yang dianggap disucikan dan tidak boleh diganggu.

Memang, untuk mendirikan harus mengajukan izin untuk mendirikan bangunan itu dan kepala daerah memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak diterimanya permohonan pendirian sasana sarasehan itu. Kalau sudah dapat izin, Pemda wajib memfasilitasi.

Dari pusat sudah ada aturan-aturan yang menjamin hak para penghayat. Lalu, apakah setiap pemda juga diharuskan membuat perda turunannya?

Untuk masalah pemakaman, memang ada yang minta di-perda-kan. Tapi memang tidak diharuskan setiap pemda bikin aturan, karena tiap daerah karakteristiknya berbeda-beda. Ada yang di daerahnya memang ada penghayat, ada juga yang tidak.

Ada berapa jenis aliran kepercayaan yang tercatat di Kemendagri dan berapa jumlah penghayatnya?

Sebenarnya yang lebih lengkap ada di pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mereka mencatat ada 32 yang resmi. Tapi di catatan kami ada 100-an. Jumlah total penghayatnya ada 10 juta orang di seluruh Indonesia. Karena ada juga aliran kepercayaan yang ternyata pengikutnya dari berbagai macam agama. Seperti Pangestu itu, ada orang Kristennya, ada yang Hindu dan Islam juga. Tapi mereka memang lebih memilih agamanya, daripada Pangestu-nya. Itu hanya untuk mengikat persaudaran antar mereka saja.

Jika penghayat mengalami kesulitan, yang tepat menangani siapa?

Pemda-lah. Bisa kok diselesaikan. Ini kan sudah otonomi. Toh banyak juga dari berbagai elemen masyarakat yang bisa kita ajak kerjasama seperti Setara Institute, misalnya. Ya, mari kita kerja sama untuk membuat lebih baik lagi, memberi pengertian dan penyuluhan ke semua pihak. Sekali lagi, ini negara besar dan ini jadi pekerjaan rumah kita semua.

http://arsip.gatra.com/2016-07-04/ma...l=23&id=162377
0
767
6
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan