ASSALAMUALAIKUM AGAN AGAN SEMUAkali ini ane mau share tentang ULTRAS ITALIA sana gan. Ane rasa sebagian agan agan udah pada kenal apa itu ULTRAS/SUPPORTER garis keras di klub klub italia.

Dijamin kaga REPOSTgan

Ketika seorang dengan posisi penting dalam kelompok ultras mengakhiri hidupnya, polisi menduga mafia menggunakan ultras untuk masuk ke dunia sepakbola.

Pada 7 Juli tahun 2016, mayat Raffaello Bucciditemukan di dasar tempat yang sering disebut sebagai “jembatan bunuh diri”. Sehari sebelumnya, ia baru ditanyai oleh polisi yang menyelidiki hubungan antara sepakbola dan kejahatan terorganisir (organised crime).



Jembatan ini adalah sebuah struktur yang menghubungkan Turin dan Cuneo, sebuah kota 100 km selatan dan tenggara dari Perancis.




Di tempat yang sama ini, Eduardo Agnelli, putra satu-satunya Gianni Agnelli (mendiang pemilik Fiat dan Juventus), mengakhiri nyawanya pada tahun 2000.
Hidup Bucci, seperti juga kematiannya, dihubungkan dengan keluarga Agnelli.




Walaupun tumbuh di San Severo, sebuah kota 850 km selatan dari Turin, Bucci - seperti banyak penduduk selatan yang pindah ke utara - adalah seorang suporter fanatik Juventus. Ia tumbuh menyaksikan pemain-pemain besar ‘sang nyonya tua’ sepakbola Italia: Platini, Baggio, Ravanelli, Vialli, Del Piero. Juventus adalah, menurut salah satu teman lama Bucci, “sebuah obsesi (baginya).”

Nama resmi Bucci adalah Raffaello, tetapi orang-orang mengenal dia sebagai Ciccio. Asal-usul dirinya sederhana: ayahnya adalah seorang pengurus sekolah, ibunya seorang ibu rumah tangga. Mereka penganut agama Katolik yang taat, menurut teman-teman keluarganya. Bucci adalah seorang anak nakal yang manis: gembira, menyenangkan dan seorang ‘trascinatore’, pemimpin sejati. Ia memasuki sekolah kejuruan untuk belajar pembukuan, dimana ia bergaul dengan berbagai macam teman - ia dipilih sebagai perwakilan murid, tetapi juga bergaul dengan para guru dimana ia bermain sepakbola meja (foosball) di bar-bar.

Setelah meninggalkan sekolah ia pindah, pada pertengahan 1990-an, ke Turin, kota di timur-laut wilayah Piedmont, rumah klub kesayangannya Juventus. Dengan jalanan paralel yang sempurna serta dipeluk oleh dua sungai yang tenang dan pegunungan Alpen di utara, kota Turin adalah kota yang dihormati dan megah. Turin adalah kotanya para ‘bon-viveurs’ (mereka yang menikmati hidup), terkenal karena anggur, cokelat dan minuman beraromanya (seperti Campari, Martini dan Cinzano).

Bucci tidak mendapat pekerjaan sebagai akuntan, tetapi ia memiliki energi dan imajinasi, dan tak lama ia memasuki dunia calo tiket pertandingan yang menguntungkan. Ia mulai mendapatkan dan menjual tiket ke teman-temannya, dan teman dari teman-temannya lagi. Ia melihat dirinya sebagai seorang penyedia yang dapat diandalkan untuk sesama Juventini yang fanatis. Di foto-foto dirinya pada masa itu, ia tidak memiliki penampilan seperti seseorang yang keras. Ia justru memiliki muka panjang dan kurus, senyum yang nakal, dengan janggut tipis yang selalu ada.

Suporter sepakbola di Italia terkenal karena dukungan mereka yang seperti wabah: kata Italia untuk fan, ‘tifoso’, memiliki makna harafiah ‘mereka yang memiliki typhoid/tifus’. Tetapi Bucci justru tenggelam lebih dalam ke dunia berapi-api ‘ultras’ - kelompok fanatik yang ketat, yang diciptakan bukan hanya untuk mendukung sebuah tim tetapi juga untuk menyokong kepentingan brand dan bisnis kelompok itu sendiri.

Grup ultra pertama dibentuk pada akhir 1960-an, ketika suporter klub Milan, Inter, Sampdoria, Torino dan Verona membentuk geng yang vokal dan terkadang brutal. Grup-grup asli ini kebanyakan memiliki paham sayap kanan, atau dipengaruhi romansa pejuang sayap kiri dan pemberontak, karena itu mereka menggunakan nama-nama seperti ‘Brigades’ (brigade), ‘Fedayeen’ (nama salah satu gerilyawan Arab), dan ‘Commando’ (tentara).





Seiring waktu, setelah hooliganisme meningkat, nama-nama grup ultras menjadi lebih Inggris (‘Fighters’, ‘Old Lions’, ‘Boys’) atau lebih liar (‘Deranged’, ‘Out of Our Heads’).




Pada akhir 1970-an, semua klub besar di Italia memiliki grup ultrasnya sendiri, dan satu dekade kemudian, kebanyakan klub memiliki lusinan grup ultras. Kelompok-kelompok ini menghabiskan masa tersebut memecah, bersatu kembali dan memperbaharui diri mereka - semua sebagai upaya untuk menguasai daerah tengah atau utama dari ‘curva’. Area ini, di belakang gawang, dikenal sebagai area berkumpul para suporter “miskin” tetapi paling setia. Curva sangat teritorial tak ubahnya pojokan milik pengedar narkoba, dan ultras bertarung untuk menguasainya dengan cara yang sama seperti gembong narkoba: perkelahian, penusukan, penembakan dan, kadang-kadang, dengan melakukan aliansi dan kesepakatan bisnis.

Ada 382 grup ultra di Italia, beberapa diantaranya secara terang-terangan bermotif politis (40 sayap kanan dan 20 sayap kiri). Karena Juventus menarik dukungan dari setiap penjuru Italia, ultras mereka sangat beragam dibanding tim-tim lain. Bucci sendiri terlibat dalam sebuah grup bernama Drughi. Nama tersebut diambil dari para Droogs dari film A Clockwork Orange - sekumpulan orang muda yang terkenal karena kekerasan yang penuh gaya dan amoral. Logo kelompok ini, seperti yang digunakan di bendera, spanduk dan topi, adalah empat sosok siluet dengan tongkat pukul dan topi bowler, di atas latar belakang putih dan oranye.



Sebuah poster Benito Mussolini menjadi hiasan utama di klub khusus anggota mereka di Mirafiori, tiga perhentian bis jauhnya dari ujung rangkaian rel kereta Turin.
Dalam sebuah olahraga yang memiliki unsur ketidaksetiaan pemain dan pemilik, para ultras melihat diri mereka sebagai satu-satunya elemen loyal dari sebuah klub. Di sebuah dunia tanpa akar, mereka menawarkan rasa memiliki. Itulah yang menjadi ketertarikan bagi Bucci. Tetapi sisi kelam ultras selalu ada. Mereka selalu menjadi pusat kekerasan di stadion dalam 50 tahun terakhir dan terlibat dalam bisnis yang terlarang: penjualan tiket dan perdagangan gelap, bahkan transaksi narkoba.

Awalnya, Ciccio Bucci tidak melihat sisi kelam tersebut. Ia hidup dengan gemerlap, mendapatkan uang dan teman dari sisi semi-legal calo tiket Serie A. Ia bahkan melihat penjualan tiket tersebut menjadi sebuah cara untuk memenuhi mimpinya untuk suatu hari dapat bekerja bagi klub kesayangannya. Seperti banyak aspek dalam kehidupan di Italia, hubungan antara Juventus dan para ultrasnya bukan sebuah hubungan konfrontasi yang terbuka, tetapi dipenuhi kompromi rahasia. Sebagai imbalan dari stadion yang penuh dukungan dan aman, Juventus membantu para ultras mendapatkan jutaan euro setiap tahunnya melalui penjualan tiket. Menurut Michele Galasso, seorang pengacara yang pernah menjadi perwakilan bagi Juventus maupun pemimpin ultras, “Kompromi antara Juventus dan para ultras sesungguhnya adalah kompromi antara peraturan dan realita.”

Walaupun para ultras ini memiliki banyak kemiripan seperti hooligan Inggris, mereka menjalankan segala sesuatunya seperti anggota militer. Mereka menyerbu rival untuk menangkap bendera mereka, seperti bendera musuh. Mereka juga mengumumkan kehadiran mereka di stadion dengan melakukan salutasi dan gerakan-gerakan rutin, melalui bendera dan nyanyian, dengan memukul genderang dan menyalakan suar (flare). Setiap kelompok memiliki seragam dan tempat pertemuannya sendiri - umumnya sebuah bar atau tempat khusus anggota dipenuhi oleh logo-logo, slogan dan memorabilia. Sebelum big match, tempat-tempat ini mirip ruang belakang sebuah bank: tumpukan tiket dan uang mengerumuni beberapa pria paruh baya, dengan kaca mata di ujung hidung, yang selalu memainkan kalkulator mereka.

Ketika Ciccio pertama pindah ke Turin, pada tahun 1990-an, ultras berkembang menjadi sedemikian kuat. Mereka bisa memblok pembelian pemain yang mereka tidak sukai (sebuah faksi ultras anti-semitik klub Udinese berkeberatan pada upaya klub membeli penyerang Israel, Ronni Rosenthal), atau memblok penjualan pemain yang mereka sukai - seperti transfer Beppe Signori dari Lazio ke Parma yang gagal - dengan mengancam untuk memboikot seisi stadium, yang akan mengakibatkan kerugian jutaan bagi klub.
Ketika ultras tumbuh semakin besar, jumlah orang yang terluka didalam dan diluar stadion sepakbola meningkat dari 400 di musim 1995-96, menjadi 1200 pada musim 1999-2000. Nama-nama martir dari kekerasan yang melibatkan ultras sering terlihat pada semprotan cat di dinding-dinding kota seantero Italia. Ada berbagai penghormatan bagi anggota ultras maupun fans biasa: Claudio Spagnolo (ditusuk dalam perjalanan ke sebuah pertandingan), Vincenzo Paparelli (yang meninggal setelah sebuah roket yang disulut oleh anggota ultras terbang melintasi lapangan dan mengenai dia di kepala), Antonio De Falchi (seorang fan Roma yang dibunuh di luar stadion), Antonio Curro (terbunuh ketika seorang fan Catania melempar bom buatan ke arah kelompok fan Messina), Sergio Ercolano (yang jatuh hingga meninggal pada 2003).

Seringkali, label ultras menjadi warisan dari neo-fasisme. Ketika pemain asal Belanda Aron Winter yang memiliki seorang ayah Muslim dan ibu Yahudi - bergabung dengan Lazio pada 1992, sebuah grafiti dibuat di salah satu dinding kompleks latihan klub tersebut dengan tulisan: “Winter Raus” - mirip kata-kata “Juden Raus” (note: sebuah mainan propaganda milik Nazi, yang judulnya berarti “Yahudi Keluar!”) dari Jerman era Nazi.


Pada 1997, ultras klub Torino melempar seorang muslim Maroko, Abdellah Doumi ke sungai Po. Salah seorang ultra tersebut memiliki anjing bernama Adolf. Doumi yang tidak dapat berenang, dilempari botol-botol kaca dan sebuah penyedot debu. “Kotoran hitam,” seru para penyerang ketika ia tenggelam.

Pada tahun 2004, sebuah grup ultras Roma menyebabkan batalnya pertandingan derbi melawan Lazio empat menit sebelum babak kedua dimulai, setelah rumor beredar didalam stadion bahwa sebuah anak kecil terbunuh akibat mobil polisi diluar. Fans dari kedua klub memprotes dengan keras pada polisi di dalam stadion,


bahkan setelah beberapa pernyataan melalui pengeras suara yang menyebutkan bahwa insiden tersebut tidak pernah terjadi. Foto-foto kapten Roma, Francesco Totti, dikerumuni para pimpinan ultras yang meminta ia untuk tidak melanjutkan pertandingan,


menjadi simbol kekuatan para kelompok ini di dunia sepakbola Italia. Ketika ia kembali ke lapangan, Totti berkata pada manager klubnya ketika itu: “Kalau kita terus bermain, mereka akan membunuh kita.”

Banyak orang yang tertarik pada dunia ultras bukanlah fans atau suporter, tetapi penjahat kecil yang berusaha mencari sepeser uang. Di sebuah panggilan telpon yang direkam oleh polisi sebagai bagian dari investigasi mencari koneksi antara ultras dan kejahatan terorganisir, seorang ultra ditanya oleh temannya apakah ia akan berada di stadion hari Minggu tersebut. “Kalau kita akan mendapat uang, iya,” balasnya. “Kalau tidak, untuk apa saya peduli?” Ada juga segelintir cerita beberapa ultras berpindah klub, bukan sebagai fans tapi sebagai investor.
Tetapi Bucci tidak lain seorang yang setia kepada Juventus dan Drughi. Ia sangat handal menjual tiket sehingga ia mendapatkan bintang emas di sebuah kayu yang terpampang di markas Drughi: “R Bucci”, begitu yang tertulis. Ia selalu ada di dalam stadion pada setiap pertandingan. Seringkali Bucci yang memimpin nyanyian para suporter dengan sebuah megafon.

Pada tahun 2004, Buccibertemu Gabriella, seorang wanita dari Cuneo. Mereka menikah dan memiliki seorang bayi laki-laki. Pasangan tersebut tinggal di Beinette, sebuah desa di luar kota Cuneo, sebuah daerah dengan kombinasi pedesaan dan industrial.
Bucci kerap berkendara bolak-balik antara Beinette dan Turin, satu jam perjalanan ke arah timur laut dari rumahnya, dimana ia memiliki sebuah tempat tinggal di atas salah satu bar di dekat Juventus Stadium. Ia selalu tersambung ke telponnya. Ia takut kehilangan pekerjaannya, sebut istrinya. Telpon tersebut selalu berdering siang dan malam, dipenuhi orang-orang yang mengemis tiket padanya.

Bucci memang selalu orang terdepan untuk urusan tiket, tapi tidak pernah menjadi "The Man", atau sosok utama. Predikat ini milik Dino Mocciola, pimpinan Drughi, yang sempat menghuni penjara selama 20 tahun akibat perampokan bersenjata dan pembunuhan seorang polisi. Hanya sedikit orang yang bisa mendekati Mocciola: setelah bebas pada Februari 2005, ia dilarang hadir di pertandingan, jadi tidak seperti pimpinan ultras lain, tidak ada foto dirinya di dalam stadion - hanya foto tahanan ketika ia ditahan tahun 1989. Sebuah sumber kepolisian Turin menggambarkan Mocciola sebagai Scarlet Pimpernel (note: setelah sebuah drama & buku berjudul sama, tentang pria misterius yang tidak dikenal kecuali oleh anak buahnya): ia tidak pernah menggunakan telpon. Bahkan para pengacaranya, menurut sumber tersebut, tidak tahu bagaimana cara menghubungi dirinya. Ketenaran dirinya demikian besar, hingga saat ia keluar dari penjara, fans lawan dari salah satu grup ultras Roma mengusung sebuah bendera di Stadion Olimpico bertuliskan: “Ciao Dino. Bentornato.” (“Halo Dino. Selamat datang kembali.”)


Drughi menjadi terpinggirkan ketika Mocciola berada di penjara, tersisih dari sektor tengah ke pinggiran "curva", dan demikian juga prestis dan kepentingan bisnis mereka. “Kekuatan di curva sama dengan emas,” demikian tulisan salah satu jurnalis. “(Menjadi penguasa curva) berarti menjadi penghubung bagi klub, yang menghasilkan tiket gratis, bantuan serta uang perjalanan.”
Ketika Mocciola keluar dari penjara, mereka mulai menunjukkan kembali kekuatan mereka. Pada April 2005, sebuah ultras dari grup rival, Fighters, kabarnya ditusuk oleh seorang anggota Drughi. Pertikaian ini berlangsung lebih dari setahun: pada musim panas 2006, dua orang Drughi (salah satunya Mocciola) ditusuk dan 50 fans ditahan setelah bentrokan antara kelompok-kelompok ultras Juventus. Tapi ketika itu, dibawah pimpinan Mocciola, keseimbangan kekuatan telah berubah: Drughi telah kembali menjadi kelompok terdepan ultras. Fighters pecah dan bergabung dengan beberapa kelompok lain, dan Mocciola mengklaim posisinya sebagai "raja curva".

LANJUT DI BAWAH GAN