- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Riwayat Korupsi di Indonesia: Dari VOC hingga KPK


TS
das2009
Riwayat Korupsi di Indonesia: Dari VOC hingga KPK
Ketika sedang membaca bab demi bab tulisan De Graaf tentang Perang Jawa, pandangan Peter Carey tertumbuk sebuah gambar: Pangeran Diponegoro berkuda di antara para pendukungnya yang bersimpuh. Sketsa Mayor F.V.H.A Ridder de Stuers itu menggambarkan Diponegoro memasuki perkemahan di Metesih, permukiman kecil di kawasan tanjung di tengah Kali Progo, Magelang. Sejak itu sosok pangeran dari Jawa yang misterius itu memikat sejarawan yang saat itu mayoritas hidupnya dihabiskan di Universitas Oxford, Inggris itu.
Merasa pengetahuannya tentang negeri di ujung Asia itu sedikit sekali, Peter nekat naik kapal uap ke Tanjung Betung, Lampung, Pengalaman yang disebutnya ajaib karena ia hampir kehilangan nyawa.
Sejak itu hingga 40 tahun kemudian, dan terus berjalan, Peter menghabiskan hampir seluruh waktunya meneliti kakak kandung Sultan Hamengku Buwono IV itu.
Meneliti Indonesia sejak 1970, membuat Peter tahu luar dalam sejarah negeri di katulistiwa ini, terutama Jawa. Ia menyesali tak banyak karya sejarawan lokal tentang Diponegoro atau tokoh lain. “Ingat kata-kata Bung Karno, Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kalau kita tidak tahu sejarah, kita tidak punya pegangan atau kiblat ke masa depan,” kata Carey suatu ketika.
Pada 1971-1973 Carey menggarap tesis Diponegoro. Sekembalinya ke Inggris ia menerjemahkan “Babad Diponegoro” (1981); dan menulis “Diponegoro, Kuasa Ramalan” (2007).
Pada 2008, Carey kembali ke Indonesia untuk menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada 2014 ia menerbitkan “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro ” (2014) bersama salah seorang keturunan Diponegoro.
Diponegoro disebutnya tokoh menarik yang hidup di empat dunia: keraton, desa, pesantren, dan kancah perang. Tiga kali mengalami tsunami dalam hidupnya: saat diadopsi, rumahnya dibumihanguskan oleh Belanda, dan diasingkan dari keluarganya. Dalam sebuah tulisan, ia menulis ada banyak aspek mengenai sang pangeran yang lebih fiksi dari sekadar fiksi: Diponegoro ternyata penggemar anggur berkualitas baik, chardonnay. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian sejarawan Belanda, di tempat meditasinya di Selarejo, di luar Tegalrejo, banyak ditemukan arca-arca Hindu. Jadi sebenarnya Diponegoro tidaklah murni reformis Islam, tetapi ia juga memberi tempat bagi kepercayaan Jawanya.
Dalam buku terakhir disebut tadi ia mengatakan salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) adalah isu korupsi. Ia menuliskan luapan kemarahan Pangeran Diponegoro yang menampar muka Patih Yogyakarta Danurejo IV (yang menjabat 1813-1847) dengan selop, karena bertengkar tentang penyewaan tanah kerajaan kepada orang Eropa sebelum Perang Jawa.
Arus uang yang melimpah-limpah dengan datangnya penyewa tanah dari Eropa pasca-Agustus 1816 (koloni Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda oleh Inggris) itu membuka jalan bagi pejabat melakukan korupsi. Raden adipati Joyodiningrat (Bupati Karanganyar 1832-1864), pendukung Pangeran Diponegoro menulis naskah pertama tentang isu korupsi di Jawa. “Agar perkara selesai, segalanya tergantung kehendak Raden Adipati Danurejo IV: barang siapa yang menyerahkan sogok dan upeti paling banyak berupa uang atau barang atau khususnya perempuan cantik, dialah yang akan dibuat menang.”
Menurut Peter, Danurejo IV bisa melakukan korupsi karena posisi HB IV yang tidak kuat. Saat itu sang sultan masih 10 tahun, pemerintahannya diwalikan Sri Paduka Paku Alam I dan Danureja IV sebagai patihnya. Kelak Paku Alam disingkirkan Danureja. Danureja juga sangat dekat dengan pemerintah Hindia Belanda dan pengusaha asing. Kedekatan itu dimanfaatkannya untuk memberikan izin penggunaan tanah, tentu saja dengan mengambil keuntungan pribadi dari izin-izin yang diberikan. Ia meminta sejumlah uang. Sogokan.
Korupsi makin membelit dngan penetapan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang mengesahkan komisi untuk penguasa, di luar upeti.
LANJUT:
http://koransulindo.com/riwayat-koru...oc-hingga-kpk/

Foto: Diponegoro menampar Patih Danuredjo dengan selop/Komunitas Bambu
Merasa pengetahuannya tentang negeri di ujung Asia itu sedikit sekali, Peter nekat naik kapal uap ke Tanjung Betung, Lampung, Pengalaman yang disebutnya ajaib karena ia hampir kehilangan nyawa.
Sejak itu hingga 40 tahun kemudian, dan terus berjalan, Peter menghabiskan hampir seluruh waktunya meneliti kakak kandung Sultan Hamengku Buwono IV itu.
Meneliti Indonesia sejak 1970, membuat Peter tahu luar dalam sejarah negeri di katulistiwa ini, terutama Jawa. Ia menyesali tak banyak karya sejarawan lokal tentang Diponegoro atau tokoh lain. “Ingat kata-kata Bung Karno, Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kalau kita tidak tahu sejarah, kita tidak punya pegangan atau kiblat ke masa depan,” kata Carey suatu ketika.
Pada 1971-1973 Carey menggarap tesis Diponegoro. Sekembalinya ke Inggris ia menerjemahkan “Babad Diponegoro” (1981); dan menulis “Diponegoro, Kuasa Ramalan” (2007).
Pada 2008, Carey kembali ke Indonesia untuk menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada 2014 ia menerbitkan “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro ” (2014) bersama salah seorang keturunan Diponegoro.
Diponegoro disebutnya tokoh menarik yang hidup di empat dunia: keraton, desa, pesantren, dan kancah perang. Tiga kali mengalami tsunami dalam hidupnya: saat diadopsi, rumahnya dibumihanguskan oleh Belanda, dan diasingkan dari keluarganya. Dalam sebuah tulisan, ia menulis ada banyak aspek mengenai sang pangeran yang lebih fiksi dari sekadar fiksi: Diponegoro ternyata penggemar anggur berkualitas baik, chardonnay. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian sejarawan Belanda, di tempat meditasinya di Selarejo, di luar Tegalrejo, banyak ditemukan arca-arca Hindu. Jadi sebenarnya Diponegoro tidaklah murni reformis Islam, tetapi ia juga memberi tempat bagi kepercayaan Jawanya.
Dalam buku terakhir disebut tadi ia mengatakan salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) adalah isu korupsi. Ia menuliskan luapan kemarahan Pangeran Diponegoro yang menampar muka Patih Yogyakarta Danurejo IV (yang menjabat 1813-1847) dengan selop, karena bertengkar tentang penyewaan tanah kerajaan kepada orang Eropa sebelum Perang Jawa.
Arus uang yang melimpah-limpah dengan datangnya penyewa tanah dari Eropa pasca-Agustus 1816 (koloni Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda oleh Inggris) itu membuka jalan bagi pejabat melakukan korupsi. Raden adipati Joyodiningrat (Bupati Karanganyar 1832-1864), pendukung Pangeran Diponegoro menulis naskah pertama tentang isu korupsi di Jawa. “Agar perkara selesai, segalanya tergantung kehendak Raden Adipati Danurejo IV: barang siapa yang menyerahkan sogok dan upeti paling banyak berupa uang atau barang atau khususnya perempuan cantik, dialah yang akan dibuat menang.”
Menurut Peter, Danurejo IV bisa melakukan korupsi karena posisi HB IV yang tidak kuat. Saat itu sang sultan masih 10 tahun, pemerintahannya diwalikan Sri Paduka Paku Alam I dan Danureja IV sebagai patihnya. Kelak Paku Alam disingkirkan Danureja. Danureja juga sangat dekat dengan pemerintah Hindia Belanda dan pengusaha asing. Kedekatan itu dimanfaatkannya untuk memberikan izin penggunaan tanah, tentu saja dengan mengambil keuntungan pribadi dari izin-izin yang diberikan. Ia meminta sejumlah uang. Sogokan.
Korupsi makin membelit dngan penetapan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang mengesahkan komisi untuk penguasa, di luar upeti.
LANJUT:
http://koransulindo.com/riwayat-koru...oc-hingga-kpk/

Foto: Diponegoro menampar Patih Danuredjo dengan selop/Komunitas Bambu
0
1.1K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan