TS
knoxvillee
CSIS : Pengamat: Promosi Jabatan TNI Macet di Era SBY dan Jokowi
nemu hasil penelitian menarik dari CSIS, ane share disini ya
http://www.beritasatu.com/politik/40...sby-dan-jokowi
http://www.aktualpress.com/read/2017...s-tni-tak-utam[/QUOTE]akan-pendidikan-dalam-kenaikan-jabatan/
https://news.detik.com/berita/339477...konflik-di-tni
Quote:
Jakarta - Pengamat militer dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana menungkapkan bahwa selama lebih dari satu dekade, di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo terjadi kemacetan promosi di tingkat perwira tinggi TNI.
"Salah satu penyebabnya adalah besaran lichting atau angkatan akademi militer semakin meningkat, terutama dari tahun 1970-an dan 1980-an hingga kini, padahal jumlah posisi kunci militer di era pasca- Orde Baru semakin menurun," ujar Evan dalam acara rilis Penelitian dan Seminar Publik tentang “Anatomi dan Pola Mutasi Perwira TNI” di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (12/1).
Selain itu, kata Evan, mayoritas mutasi perwira tinggi terjadi secara lateral atau horisontal, terutama era kedua pemerintahan SBY pada 2009-2014. Sementara, mutasi atau rotasi vertikal baik dari segi kenaikan pangkat maupun pensiun cenderung rendah.
"Jadi, kemacetan promosi karena lebih banyak terjadi rotasi atau mutasi horisontal di mana hanya terjadi mutasi antara jabatan atau pangkat yang sama atau posisi yang ditinggalkan diisi oleh perwira tinggi dari linting angkatan senior atau angkatan yang sama," tandas dia.
Lebih lanjut, Evan mengatakan bahwa jika dipandang secara keseluruhan, waktu dan cakupan mutasi perwira tidak cukup mengakomodasi angkatan akademik generasi 1980-an akhir terutama angkatan 1987 dan 1988 dan angkatan berikutnya.
Berdasarkan data CSIS, jumlah Surat Keputusan Panglima (SKEP Panglima) terkait mutasi dari Meo 2005 hingga Oktober 2016 sebanyak 142 SKEP Panglima. Dalam kurun waktu tersebut, jumlah posisi yang mengalami mutasi sebanyak 7.965. Sementara total perwira yang mengalami mutasi sebanyak 4.233. Sedangkan mutasi perwira menengah (pamen) kolonel hingga perwira tinggi jenderal sebanyak 1.863 perwira yang berbeda.
"Salah satu penyebabnya adalah besaran lichting atau angkatan akademi militer semakin meningkat, terutama dari tahun 1970-an dan 1980-an hingga kini, padahal jumlah posisi kunci militer di era pasca- Orde Baru semakin menurun," ujar Evan dalam acara rilis Penelitian dan Seminar Publik tentang “Anatomi dan Pola Mutasi Perwira TNI” di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (12/1).
Selain itu, kata Evan, mayoritas mutasi perwira tinggi terjadi secara lateral atau horisontal, terutama era kedua pemerintahan SBY pada 2009-2014. Sementara, mutasi atau rotasi vertikal baik dari segi kenaikan pangkat maupun pensiun cenderung rendah.
"Jadi, kemacetan promosi karena lebih banyak terjadi rotasi atau mutasi horisontal di mana hanya terjadi mutasi antara jabatan atau pangkat yang sama atau posisi yang ditinggalkan diisi oleh perwira tinggi dari linting angkatan senior atau angkatan yang sama," tandas dia.
Lebih lanjut, Evan mengatakan bahwa jika dipandang secara keseluruhan, waktu dan cakupan mutasi perwira tidak cukup mengakomodasi angkatan akademik generasi 1980-an akhir terutama angkatan 1987 dan 1988 dan angkatan berikutnya.
Berdasarkan data CSIS, jumlah Surat Keputusan Panglima (SKEP Panglima) terkait mutasi dari Meo 2005 hingga Oktober 2016 sebanyak 142 SKEP Panglima. Dalam kurun waktu tersebut, jumlah posisi yang mengalami mutasi sebanyak 7.965. Sementara total perwira yang mengalami mutasi sebanyak 4.233. Sedangkan mutasi perwira menengah (pamen) kolonel hingga perwira tinggi jenderal sebanyak 1.863 perwira yang berbeda.
http://www.beritasatu.com/politik/40...sby-dan-jokowi
Quote:
CSIS: TNI Tak Utamakan Pendidikan Dalam Kenaikan Jabatan
AktualPress.com – Jabatan militer memiliki posisi penting yang sangat strategis dalam kenegaraan. Karena itu, ia mesti diduduki oleh orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi sesuai dengan jabatanya.
Namun ternyata hal tersebut tidak berjalan dengan baik di dunia militer Indonesia. Yang memiliki jenjang pendidikan tinggi justru banyak yang tidak mengalami kenaikan pangkat.
Hal ini mendapat kritikan keras dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam Rilis Penelitian dan Seminar ‘Anatomi dan Pola Mutasi TNI’ pada Kamis, 12 Januari 2016 di Gedung Pakarti Centre, Tanah Abang, Jakarta.
“TNI tidak terlalu menilai pendidikan seorang perwira dalam kenaikan jabatan,” ujar Philips J. Yermonte, peneliti CSIS.
Hal ini menyebabkan, banyak perwira yang sebenarnya tingkat pendidikannya tidak terlalu tinggi, mengalami mutasi kenaikan jabatan. Sementara yang lama menempuh jenjang pendidikan tinggi, justru tidak naik-naik.
“Ini menyedihkan, mungkin ini penyebabnya pandangan TNI lebih konservatif,” kritiknya.
Salah seorang anggota militer, Kolonel Ujito yang juga menghadiri rilis penelitian ini mengaminkan hal ini.
“Benar. Saya contohnya, S2 di Australia tahun 2003. 2010 jadi Kepala Program Studi Pertahanan di Universitas Pertahanan. 2012, di Lemhanas di Inggris. Tapi teman yang hanya kuliah di dalam negeri sudah jadi Brigjen tahun 2013, saya belum,” tutur Ujito.
Kenaikan Pangkat Jangan Condong ke Politik
Kusnanto Anggara, pengamat politik dan keamanan yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar ini juga menyayangkan hal ini. Menurutnya ini merupakan salah satu kelemahan TNI yang harus segera dibenahi.
“Sekolah-sekolah khusus militer itu tidak terlalu berguna. Tak sesuai dengan rewardnya. Karena tak ada juga peningkatan karir dari situ,” kritik Kusnanto.
Untuk memperbaiki itu, dan jika TNI serius ingin mengadakan reformasi di lembaganya, Kusnanto menyarankan agar kenaikan pangkat perwira TNI secara profesional, tidak diberatkan oleh keputusan-keputusan politik. Sehingga nantinya perwira TNI yang terpilih memang benar-benar mampu dan memiliki keahlian yang dibutuhkan.
Sebelumnya, dari 142 SKEP (Surat Keputusan) Panglima, dari 7.965 mutasi selama ini, yang paling banyak terjadi mutasi dan rotasi jabatan adalah pada angkatan 1980, 1981, 1983. Hal ini terjadi di masa termin kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa ini Perwira Tinggi bisa memegang 3-4 jabatan. (Muhammad)
AktualPress.com – Jabatan militer memiliki posisi penting yang sangat strategis dalam kenegaraan. Karena itu, ia mesti diduduki oleh orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi sesuai dengan jabatanya.
Namun ternyata hal tersebut tidak berjalan dengan baik di dunia militer Indonesia. Yang memiliki jenjang pendidikan tinggi justru banyak yang tidak mengalami kenaikan pangkat.
Hal ini mendapat kritikan keras dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam Rilis Penelitian dan Seminar ‘Anatomi dan Pola Mutasi TNI’ pada Kamis, 12 Januari 2016 di Gedung Pakarti Centre, Tanah Abang, Jakarta.
“TNI tidak terlalu menilai pendidikan seorang perwira dalam kenaikan jabatan,” ujar Philips J. Yermonte, peneliti CSIS.
Hal ini menyebabkan, banyak perwira yang sebenarnya tingkat pendidikannya tidak terlalu tinggi, mengalami mutasi kenaikan jabatan. Sementara yang lama menempuh jenjang pendidikan tinggi, justru tidak naik-naik.
“Ini menyedihkan, mungkin ini penyebabnya pandangan TNI lebih konservatif,” kritiknya.
Salah seorang anggota militer, Kolonel Ujito yang juga menghadiri rilis penelitian ini mengaminkan hal ini.
“Benar. Saya contohnya, S2 di Australia tahun 2003. 2010 jadi Kepala Program Studi Pertahanan di Universitas Pertahanan. 2012, di Lemhanas di Inggris. Tapi teman yang hanya kuliah di dalam negeri sudah jadi Brigjen tahun 2013, saya belum,” tutur Ujito.
Kenaikan Pangkat Jangan Condong ke Politik
Kusnanto Anggara, pengamat politik dan keamanan yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar ini juga menyayangkan hal ini. Menurutnya ini merupakan salah satu kelemahan TNI yang harus segera dibenahi.
“Sekolah-sekolah khusus militer itu tidak terlalu berguna. Tak sesuai dengan rewardnya. Karena tak ada juga peningkatan karir dari situ,” kritik Kusnanto.
Untuk memperbaiki itu, dan jika TNI serius ingin mengadakan reformasi di lembaganya, Kusnanto menyarankan agar kenaikan pangkat perwira TNI secara profesional, tidak diberatkan oleh keputusan-keputusan politik. Sehingga nantinya perwira TNI yang terpilih memang benar-benar mampu dan memiliki keahlian yang dibutuhkan.
Sebelumnya, dari 142 SKEP (Surat Keputusan) Panglima, dari 7.965 mutasi selama ini, yang paling banyak terjadi mutasi dan rotasi jabatan adalah pada angkatan 1980, 1981, 1983. Hal ini terjadi di masa termin kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa ini Perwira Tinggi bisa memegang 3-4 jabatan. (Muhammad)
http://www.aktualpress.com/read/2017...s-tni-tak-utam[/QUOTE]akan-pendidikan-dalam-kenaikan-jabatan/
Quote:
[QUOTE]CSIS: Banyak Perwira 'Nganggur' Jadikan TNI Rawan Konflik
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana berkata TNI rawan konflik karena banyaknya perwira menengah (pamen) yang tidak punya jabatan atau non-job. Mereka yang dimaksud adalah pamen dari angkatan 1987 dan 1988.
"Akan terjadi ketegangan konflik karena ada banyak yang nggak dapat posisi dan nganggur. Karena mereka tidak dapat posisi, maka akan lebih cenderung berkelompok-kelompok," kata Evan dalam diskusi di Kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2017).
Menurutnya ada kultur mutasi di TNI yang harus diubah, dari biasanya horisontal menjadi vertikal alias naik pangkat. "Ini bukan masalah efisiensi SDM (sumber daya manusia), keuangan dan lainnya. Ini tergantung dalam militer sendiri," tutur Evan.
Jika kultur mutasi tak dibenahi, situasi internal TNI dan relasi antar perwira disebutnya akan kacau. Hanya Panglima TNI dan para kepala staf-lah yang menurut Evan dapat membenahi mengingat kewenangan besar yang mereka miliki.
"Ini mengacaukan situasi baik situasi maupun koneksivitas dalam tugas TNI," ucap dia.
Data CSIS mencatat, belum cukup banyak TNI angkatan 1987 dan 1988 yang berpangkat bintang. Disebutnya, perwira berpangkat kolonel saat ini menumpuk dan kecakapan mereka tidak terakomodir.
"Angkatan 1987-1988 yang paling besar. Saya lihat tahun 2016 banyak kelebihannya di kolonel. Saya rasa kita harus memikirkan kebijakan antara terkait angkatan atau pun pendidikan," terang Evan.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana berkata TNI rawan konflik karena banyaknya perwira menengah (pamen) yang tidak punya jabatan atau non-job. Mereka yang dimaksud adalah pamen dari angkatan 1987 dan 1988.
"Akan terjadi ketegangan konflik karena ada banyak yang nggak dapat posisi dan nganggur. Karena mereka tidak dapat posisi, maka akan lebih cenderung berkelompok-kelompok," kata Evan dalam diskusi di Kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2017).
Menurutnya ada kultur mutasi di TNI yang harus diubah, dari biasanya horisontal menjadi vertikal alias naik pangkat. "Ini bukan masalah efisiensi SDM (sumber daya manusia), keuangan dan lainnya. Ini tergantung dalam militer sendiri," tutur Evan.
Jika kultur mutasi tak dibenahi, situasi internal TNI dan relasi antar perwira disebutnya akan kacau. Hanya Panglima TNI dan para kepala staf-lah yang menurut Evan dapat membenahi mengingat kewenangan besar yang mereka miliki.
"Ini mengacaukan situasi baik situasi maupun koneksivitas dalam tugas TNI," ucap dia.
Data CSIS mencatat, belum cukup banyak TNI angkatan 1987 dan 1988 yang berpangkat bintang. Disebutnya, perwira berpangkat kolonel saat ini menumpuk dan kecakapan mereka tidak terakomodir.
"Angkatan 1987-1988 yang paling besar. Saya lihat tahun 2016 banyak kelebihannya di kolonel. Saya rasa kita harus memikirkan kebijakan antara terkait angkatan atau pun pendidikan," terang Evan.
https://news.detik.com/berita/339477...konflik-di-tni
tien212700 memberi reputasi
1
9.9K
Kutip
47
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan