Pemerintah Kembali Berikan Relaksasi Ekspor Konsentrat Mineral
Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kembali memberikan kelonggaran ekspor mineral olahan (konsentrat) dalam lima tahun ke depan, setelah izin ekspor habis pada 12 Januari 2017. Pelonggaran tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, dalam peraturan baru tersebut, perusahaan tambang yang ingin tetap mengekspor konsentrat mineral harus mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP).
"Pemegang KK boleh saja tidak mengubah tapi dia hanya boleh mengekspor mineral yang sudah dimurnikan. Kalau mau mengekspor mineral olahan harus merubah KK jadi IUPK OP," kata Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Syarat tersebut tidak melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang mineral dan batubara. Alasannya, dalam Undang-Undang tersebut perusahaan tambang yang berstatus IUPK OP boleh mengekspor konsentrat dan tidak ada batas waktu yang mengikat.
"Kalau merubah IUPK boleh ekspor hasil konsetrat. Ini bukan untuk badan usaha tertentu ya, peraturan pemerintah dibuat untuk sub-sektor minerba," jelas Jonan.
Namun untuk membatasi waktu, dalam Peraturan Menteri ESDM merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang ubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor23 Tahun 2010 tersebut, ekspor konsetrat dibatasi dalam lima tahun, seiring dengan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
"Kalau ditanyakan sampai kapan boleh ekspor, kalau mau ekspor konsetrat merubah KK jadi IUPK, dengan catatan dalam lima tahun bangun smelter," kata Jonan.
Batas waktu larangan ekspor konsentrat ditetapkan dalam Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri.
Dalam aturan tersebut disebutkan, penjualan minera ke luar negeri dapat dilakukan dalam jumlah tertentu dan berbentuk hasil pengolahan dalam jangka waktu tiga tahun sejak diterbitkanya Peraturan Menteri ini, yaitu pada tanggal yang sama yakni 11 Januari 2014.
Artinya, mulai 12 Januari 2017 hanya mineral hasil pemurnian yang diizinkan ekspor. Namun, dengat diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 2017 tersebut maka peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun2014 tidak berlaku.
http://m.liputan6.com/bisnis/read/28...entrat-mineral
artinya illegal to jon mau bolak balik PP ataupun permen sampe gosong
nih baca jon UU no 4 tahun 2009 minerba
disuspend apa terus jon
Quote:
Pemerintah Harus Punya Nyali Hadapi Korporasi Tambang Asing
JAKARTA, KOMPAS.com - Gagasan pemberian pelonggaran atau relaksasi ekspor mineral mentah kepada para korporasi tambang skala besar, khususnya pada Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara, menunjukkan pemerintah tidak punya posisi tawar yang kokoh di hadapan korporasi asing.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Pertambangan dan Energi Indonesia atau Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) Erwin Usman keputusan pemerintah merevisi dua peraturan terkait penambangan mineral dan batubara dalam negeri. Dua peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan Mineral.
"Pemerintah mesti tegas terhadap pelarangan ekspor bagi perusahaan pemegang kontrak karya (KK), hingga mereka selesai membangun pabrik pemurnian dalam negeri," kata Usman dalam siaran pers, Sabtu (11/1/2014).
Kewajiban pemegang kontrak karya untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri harus dipenuhi lima tahun sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Erwin menyebutkan, operasi produksi perusahaan pemegang KK sudah berpuluh tahun di Indonesia. Keuntungan mereka pun sudah sangat banyak. Ia menilai waktu lima tahun sudah cukup bagi para pemegang KK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Sayangnya, kata Erwin, pemerintah Indonesia justru lemah menghadapi korporasi.
"Pengawasan pemerintah yang lemah dan terlalu kompromistis menjadikan waktu terbuang percuma," kata Erwin.
Selama lima tahun ini, kata Erwin, tidak ada satu pun pemegang KK tersebut yang selesai sepenuhnya membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Padahal, dalam Pasal 170 UU Minerba telah diatur dengan jelas tentang kewajiban tersebut.
Terhadap pemegang izin usaha pertambangan (IUP/IUPK), Erwin mengusulkan agar pemerintah memberi kebijaksaan untuk tetap ekspor dengan batas waktu tiga tahun sambil mereka tetap menyelesaikan proses pembangunan smelter.
Alasannya, poin awal (starting point) IUP/IUPK berbeda dari pemegang kontrak karya milik asing. Pemegang KK sudah beroperasi puluhan tahun lamanya. Namun, pada kenyataannya pemegang IUP baru tumbuh pada periode 3-7 tahun terakhir. "Ini juga untuk mendukung majunya dunia usaha pertambangan nasional," ujarnya.
Menurut dia, pemberian waktu untuk tetap ekspor selama tiga tahun mesti didukung dengan pengawasan dan tersedianya norma hukum yang ketat dan mengikat dari pemerintah. Sanksi tegas hingga pencabutan kontrak dan IUP mesti diterapkan bagi pemegang IUP yang tidak bersedia membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri setelah waktu tiga tahun atau tahun 2017.
Pemerintah mesti segera menyiapkan cetak biru dan peta jalan sebagai petunjuk teknis bagi pelaksanaan program hilirisasi serta membenahi soal koordinasi lintas kementerian yang lemah.
"Adalah suatu tanda tanya besar jika pemerintah justru memberikan kelonggaran khusus pada perusahaan pemegang KK dan melarang total ekspor bagi penambang nasional," kata Erwin.
Pengusaha harus Patuh
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan bahwa para pengusaha tambang di Tanah Air harus mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Pengusaha itu wajib membangun pemurnian dan pengolahan smelter di Indonesia serta pelarangan ekspor bijih mineral.
"Ini merupakan kesempatan bagi pembenahan industri pertambangan, yang selama ini hanya mengeksploitasi dan mengeruk bahan mentah pertambangan," kata Iwan kepada Antara.
Perubahan tata kelola tambang, menurut Iwan, akan mendorong lahirnya industri tambang yang lebih meluaskan kesempatan kerja produksi rakyat, khususnya buruh tambang. Ia sangat menyayangkan keberatan perusahaan tambang mengelola bijih mineral di dalam negeri. Hal tersebut mencerminkan ketidakmampuan dan ketiadaan kemauan yang kuat dari pengusaha tambang untuk memulai suatu era baru industri tambang ke arah pengembangan pengelolaan bijih mineral di dalam negeri.
"Kami juga kecewa dengan ketegasan pemerintah yang goyah akibat tekanan pengusaha tambang untuk merevisi UU Minerba dan PP No. 23/2011," katanya.
Ketegasan pemerintah juga akan diuji dari peraturan turunan yang mengatur berapa persen kemurnian yang diwajibkan untuk pengolahan bijih mineral dalam negeri. Pemerintah seakan tunduk akan tekanan pengusaha atas larangan ekspor dan kewajiban melakukan hilirisasi.
KPA menilai bahwa ketidakmampuan pengusaha dan ketiadaaan tekad menjalankan PP No. 23/2010 adalah bukti pengusaha tambang hanya mau mengeruk dan mengekspor bahan mentah. Hal itu juga membuktikan pengusaha tidak berkeinginan meningkatkan nilai tambah bijih mineral yang dalam prosesnya akan memperluas lapangan kerja dan mendukung industri nasional dalam negeri.
Dalam PP No. 23/2010 Pasal 112 angka 4 huruf C disebutkan bahwa perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat lima tahun sejak berlakunya UU No. 4/2009. Dengan demikian, mereka diminta membuat smelter sebelum 12 Januari 2014.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang di penghujung 2013, sekitar 45 persen wilayah Indonesia telah dipetakan untuk bisnis pertambangan dan ada lebih dari 11.000 izin di atasnya. Bahkan, selama 2013 pertambangan menjadi ruang konflik agraria struktural yang besarnya mencapai 38 konflik agraria di areal seluas 197.365,9 hektar.
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...Tambang.Asing.
Pelonggaran Ekspor Mineral Dinilai Tak Signifikan Kurangi Defisit Neraca
JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana pemerintah untuk melakukan relaksasi ekspor mineral pertambangan dinilai tidak akan membantu menekan defisit neraca transaksi berjalan. Di samping harga pasar dunia masih rendah, ekonomi negeri tirai bambu China juga masih alami perlambatan.
“Dampak pelonggaran ekspor minerba tidak kuat, karena ekonomi China masih melambat,” kata Eric Alexander Sugandi, Ekonom Senior Standard Chartered di sela-sela seminar bertajuk ‘Perekonomian Indonesia dari Masa ke Masa’, Jakarta, Senin (31/8/2015).
Eric mengatakan, hal tersebut disebabkan harga komoditas pertambangan yang tengah jatuh. Sebanyak 41 persen ekspor RI berupa komoditas, termasuk crude palm oil (CPO) di dalamnya. Selain itu, perlambatan ekonomi China juga menjadi faktor penentu efektivitas kebijakan pelonggaran ekspor.
“Dia (China) konsumen paling besar logam dasar dan mineral mentah. Apakah itu (relaksasi) bisa membantu ekspor melonjak drastis? Saya kira tidak,” tegas Eric.
Dia pun memberikan saran kepada pemerintah agar jangan sampai mengubah arah kebijakan untuk hilirisasi mineral pertambangan.
Dalam kesempatan sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution enggan memberikan penjelasan rinci soal wacana relaksasi mineral. “Desainnya tunggu saja. Mulai besok kita akan cerita,” kata Darmin.
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...efisit.Neraca.