- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Langkah pemblokiran situs meninggalkan cela


TS
BeritagarID
Langkah pemblokiran situs meninggalkan cela

Warga membubuhkan cap tangan saat aksi "Kick Out Hoax" di Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/1).
Pemblokiran situs jadi satu cara pemerintah guna meredam laju penyebaran kabar bohong (hoax) dan mengerasnya sentimen suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) di internet. Namun, dalam praktiknya, pemblokiran tak selalu tepat sasaran.
Pekan lalu, kekeliruan terjadi saat layanan blog warga, Qureta diblokir. Pemblokiran itu berbarengan dengan penutupan akses terhadap 11 situs, yang dianggap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memuat konten negatif dan menyebar kebencian.
Penutupan akses terhadap Qureta terjadi pada 3 Januari. Di linimasa Twitter, topik itu mulai jadi pembahasan khalayak pada Rabu (4/1).
Keluhan-keluhan dari khalayak internet bermunculan. Mereka mengaku bingung dengan pemblokiran Qureta, sebab situs itu dinilai tidak mempromosikan konten negatif.
Pun situs berbasis isi buatan pengguna (user generated content) tersebut dianggap tidak mengembuskan kabar bohong dan konten bermuatan SARA.
Sebagai sebuah blog warga, Qureta juga sudah menyertakan penanggung jawab layanan dan alamat. Mereka pun memiliki kebijakan penulisan, termasuk melarang keras konten bermuatan kebencian berdasarkan SARA.
Aje gile situs sekeren @qureta diblokir Keminkominfo, ini media berekspresi. Mau anak bangsa baca berita hoax terus @rudiantara_id?
— at-tuhry fajar (@tuhrysm) January 4, 2017 [URL="https://S E N S O R1dfysybOyZ"]https://S E N S O R1dfysybOyZ[/URL] diblokir. Sekalian saja Internetnya blokir aja.Mau tenang kan?@qureta
— Ngali Mahfud (@ngalimahfud) January 4, 2017 Menurut saya tidak kompetitif situs edukasi @qureta diblokir tanpa hal yg jelas, situs lain memuat konten negatif kok dibiarkan saja
— Abu Jaelani (@kerupvk) January 5, 2017
Menghadapi pemblokiran, pendiri Qureta, Luthfi Assyaukanie --juga dikenal sebagai cendekiawan Islam sekaligus peneliti-- berusaha mencari penjelasan dari Kominfo. Hal itu diceritakannya dalam sebuah artikel di Qureta.
Luthfi mengaku mempertanyakan pemblokiran ini --melalui pesan WhatsApp-- kepada Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Berselang beberapa detik, kata Luthfi, Rudiantara balik meneleponnya.
Dalam percakapan telepon, Rudiantara mengaku pihaknya melakukan kekhilafan sekaligus meminta maaf atas pemblokiran yang terjadi.
Merujuk penjelasan Rudiantara, pemblokiran Qureta dipicu artikel bertajuk "Tuhannya Dihina, Orang Kristen Kok Diam Saja?" (Merry DT.). Menurut rencana, pemblokiran cuman berlaku untuk laman artikel itu. Namun praktiknya seluruh layanan Qureta tak bisa diakses.
Setelah menyadari kekhilafan itu, Kominfo akhirnya mencabut blokir terhadap Qureta.
Adapun Luthfi tetap heran dengan langkah pemblokiran. Dalam kacamatanya, artikel yang jadi landasan pemblokiran tidak memenuhi unsur SARA --seperti dalih Kominfo.
"Sebaliknya, tulisan Mery sangat edukatif dan mencerahkan. Sebagai seorang Kristen, dia menjelaskan mengapa orang Kristen tidak mudah marah jika ada simbol yang dalam ukuran agama lain (Islam) dihina," kata Luthfi.
Kami sangat menghargai Pak Menteri Rudiantara yang menelpon kami langsung dan menjelaskan ada kesalahan dalam soal pemblokiran thdp Qureta.
— Qureta (@qureta) January 4, 2017 Barusan dapat jawaban email dari Kominfo bahwa Qureta tidak ada dalam daftar blacklist. Pemblokiran dilakukan oleh provider.
— Qureta (@qureta) January 4, 2017
Kasus lebih kurang mirip juga menimpa situs Suara Papua. Pemblokiran terhadap media lokal Papua itu terjadi pada awal November 2016, beriring dengan 11 situs lainnya --versi lain menyebut 14 situs termasuk Suara Papua.
Berkenaan kasus ini, Suara Papua dan LBH Pers telah mengajukan keberatan. Pasalnya, pemblokiran tidak disertai penjelasan. Pun dalam hemat mereka, Suara Papua sudah memenuhi syarat sebagai media.
Ketua Dewan Pers, Yosep "Stanley" Adi Prasetyo, sempat menyinggung kekeliruan ini, dan mengaku pihaknya sedang menangani kasus Suara Papua.
"Sekarang sedang kami tangani. Suara Papua itu media yang benar; ada alamat redaksinya, struktur organisasinya ada, penanggung jawabnya adalah almarhum Oktovianus Pogau. Memang media yang dijalankan dengan kerja-kerja wartawan," kata Stanley, ihwal pemblokiran Suara Papua, dalam wawancaranya bersama Tirto.id (3/1).
Pemerintah harus transparan
Lantas, bagaimana menghindari kekeliruan macam ini?
Berkaca dari kasus Qureta, Luthfi Assyaukanie mengatakan bahwa pemblokiran bukan jalan ideal.
"Pemblokiran bukanlah solusi ideal untuk mengatasi ancaman yang datang dari internet. Saya pribadi, sejak lama menolak pemblokiran, termasuk pemblokiran terhadap situs-situs yang selama ini dituduh menyebar paham radikal," tulis Luthfi.
Bila pun harus melakukan pemblokiran, Luthfi mengusulkan agar ada "prosedur dan aturan main yang jelas". Bila hal di muka tidak dipenuhi, pemblokiran bisa mengancam kebebasan berekspresi.
Dilansir Liputan6.com (3/1), regional Coordinator SAFEnet, Damar Juniarto, juga menyebut hal yang lebih kurang senada. Kata Damar, perlu ada penyampaian terbuka kepada publik ihwal alasan pemblokiran agar tidak terjadi kebingungan.
Adapun anggota Komisi I DPR, Sukamta, menilai pemerintah perlu mengatur ulang kriteria dan paramater pemblokiran situs.
"Buatlah Peraturan Pemerintah tentang pemblokiran. Yang mengatur kriteria dan parameter yang dilarang apa saja; siapa yang berhak melarang; bagaimana prosedurnya; siapa yang menindak; dan seterusnya. Serta, segera buatlah unit yang secara khusus menangani hal ini sesuai amanah UU ITE Pasal 40 ayat 6," ujarnya, dikutip Kompas.com (5/1).
Lebih lanjut, politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan bahwa pemblokiran situs mestinya jadi jalan terakhir dalam meredam laju penyebaran kabar bohong, kebencian, dan fitnah.
Sejauh ini, selain pemblokiran, pemerintah juga menggandeng Dewan Pers guna melakukan proses verifikasi (kerap pula disebut "sertifikasi") media demi mengatasi penyebaran kabar bohong.
Seperti dinukil BBC Indonesia, anggota Dewan Pers, Nezar Patria, menyebut proses verifikasi itu akan meliputi dua aspek. Pertama, aspek legalitas, meliputi kelengkapan badan berbadan hukum. Kedua aspek pemberitaan, berkenaan dengan kesesuaian pemberitaan dengan kode etik jurnalistik.
"Media-media ini akan kita cek apakah berbadan hukum atau tidak, bagaimana strukturalnya termasuk jajaran redaksinya, lalu apakah pengelolanya sudah mendapat lisensi standar kewartawanan atau tidak," kata Nezar.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...inggalkan-cela
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
2.3K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan