- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ulat di Antara Hujan


TS
winiafirmansyah
Ulat di Antara Hujan
Assalamualaikum....
Perkenalkan nama saya Firman Valliano. Biasa di panggil Ival atau Firman. Disini... Saya adalah Newbie se newbie-newbie nya. Jadi kalo ada yang salah, saya minta bimbingannya buat para agan dan sista yang jauh lebih senior disini.
Izinkan saya untuk berbagi sebuah cerita hidup.
Bukan Romance, tapi tentang"Ulat Diantara Hujan"
Untuk peluncuran perdana cerita ini, saya akan mengikutsertakan tiga part pertama besama prolog agar agan dan sista tak perlu lagi meminta ane buat cepet-cepet upload part. Tapi sebelumnya, saya punya beberapa peraturan di trit ini demi menjaga keamanan dan ketentraman trit nan sederhana ini.
Jika agan dan sista sekalian males nyari uploadan partnya di bawah (kayak ane) ane udah siapin indeks buat agan dan sista sekalian supaya lebih gampang buat baca cerita ini.
22 Februari 2015
Ctak.
Akhirnya selesai juga tugasku. Aku adalah orang asal Kalimantan yang bekerja sebagai petugas Bea Cukai di Jakarta. Aku baru selesai mengerjakan paperwork untuk kepindahan tugasku ke kota lain, tinggal kirim emailnya ke atasanku dan minggu depan aku tinggal berangkat ke tempatku dipindah tugaskan.
Perkenalkan, namaku Ahmad Firman Valliano. Seorang Kalimantan keturuan Australia. Sekarang ini aku sedang mengurus berkas-berkas dan mengepak barang-barang untuk kepindahanku. Aku berdiri sejenak. Melepas penat yang sudah kurasakan sejak 2 Jam yang lalu mengetik. Ku tengok kembali ke gudangku yang di penuhi oleh debu dan sarang laba-laba. "Huh! Berdebu banget! Ini gegara gue males bersih-bersih deh kayaknya..." gumamku.
Kembali ku cek beberapa barang-barang yang akan kubawa nanti. Sampai kutemukan sebuah benda, dan benda itu bukan benda biasa. Sebuah susunan-susunan rapih lampiran kertas-kertas usang yang di sampuli oleh kulit yang berdebu dengan berjuta kenangan yang tertata rapih di dalamnya. Sebuah Buku Diari.
Aku tersenyum simpul, teringat kembali akan kenangan indah selama bertahun-tahun masa hidupku yang lampau. Ku ambil buku diari itu, dan aku berjalan keluar dari gudang, kembali keruang tamu. Kubuka lembaran-lembaran penuh kenangan indah itu dengan perlahan. Kubuka halaman pertama. Terdapat sebuah gambar yang di gambar oleh pensil. Gambar ulat yang bermetamorfosa menjadi kupu-kupu, dan juga diatasnya terdapat awan hujan. Aku terkekeh pelan, senyumku mengembang tatkala kubuka lembar halaman kedua.
Sebuah foto tertempel oleh secarik plester di atas kertas usang nan berdebu. Foto dari separuh relung sukmaku. Foto yang jauh lebih berharga di banding dengan semua harta duniawi. Foto dengan bermilyar kenangan indah didalamnya. Foto dari seorang makhluk Tuhan yang sangat menakjubkan.
Sekilas, foto tersebut hanyalah secarik foto biasa. Namun tidak bagiku. Bagiku, foto itu adalah salah satu pondasi. Pondasi terkuat, terkokoh, dan terbaik yang mampu membangun diriku menjadi seperti sekarang. Itu adalah.... Foto Sahabat terbaikku… Mataku mulai terasa panas dan berat. "Aarrrgghhh!!! Laki macam apa gue? Baru buka kertas dua lembar aja udah netesin air mata? Gue bukan cowok selemah gitu. Seenggaknya nggak kayak dulu..." Ucapku dalam hati.
Foto yang begitu bersejarah bagi kami berdua. Secarik foto yang tidak utuh, tersobek setengah dan mulai buram, yang memperlihatkan sahabat terbaikku tengah menenteng seekor ikan. Sejujurnya itu hanya setengah bagian dari foto utuh. Sebenarnya foto itu memperlihatkan kami saat kami berdua, saling berangkulan dan menenteng masing-masing seekor ikan. Separuh bagian foto itu kubagi dengan sahabat terbaikku tersebut. Foto yang di ambil saat acara perpisahan SMP itu benar-benar membuatku tak bisa membendung air mataku. "Ri, ri. Baru juga sebentar ditinggal lo, kok guenya udah kaya gini, ya?", ucap batinku sembari aku terkekeh mengingat kembali masa-masa itu.
Kubuka lembaran lain dari kertas-kertas penuh kenangan ini, dan dadaku langsung sesak saat melihat hal yang terplester di kertas tersebut. Aku kembali terkekeh dan tersenyum lebar melihatnya. Sebuah kail kecil yang di plester ke kertas penuh memori ini. Sebuah kail yang bisa di bilang memulai persahabatan kami yang penuh warna ini.
Mungkin, jika ada orang yang melihatku saat ini, pasti aku sudah di bawa ke rumah sakit jiwa. Bagaimana tidak, aku terkekeh, bahkan hampir tertawa mengenang semua kenangan yang tersimpan dalam carik-carik kertas tipis penuh makna dalam buku diary tuaku ini.
"Duh! Bini gue!" ucap batinku saat aku teringat istriku.
Segera aku bergegas ke kamarku dan mengambilnya. Ya. Aku memang mengambil istriku. Perkenalkan, istriku saat ini. Sepucuk senapan SS1 V-2 kaliber 5,56 mm NATO yang diberikan kepadaku saat pertama kali aku ditugaskan sebagai Unit Taktis Bea Cukai. Sejak saat itu, aku selalu menjaga dan membersihkannya, dan aku selalu memanggilnya sebagai istriku.
Sehabis aku mengambil istriku tersayang, aku kembali mengambil buku diary tuaku, dan aku duduk di kursi di depan laptopku. Kembali aku membalik-balik halaman-halaman penuh kenangan yang membuat dadaku semakin sesak dan mataku kebanjiran. Segala kenangan, baik manis maupun pahit, semua tertuang dalam buku ini, buku tua yang telah ada sejak aku SMA, yang selalu setia mendengarkan curhatku sejak saat lembaran-lembarannya masih seputih dan sebersih salju pertama musim dingin. Kini, tiap lembaran buku ini usang dan berdebu, namun ia tetap mampu menyimpan semua kenangan yang aku torehkan di tiap lembarannya.
Handphoneku bergetar pertanda ada pesan masuk. Segera ku ambil handphoneku dan membaca pesan tersebut, yang ternyata datang dari kekasihku tercinta.
"Ayaaang. Kamu udah makan belom?" isi pesan tersebut.
"Sudah, sayang. Kamu inget makan juga ya." balasku.
"Iya, sayang." jawabnya tak lama kemudian.
"Ayang, kamu abis ini di tugasin di mana?" tanyanya.
"Nggak tau. Keknya bakal di tugasin di Kalimantan." jawabku.
"Trus, kapan kamu ke sini? 😞" tanyanya.
"Nanti, ya. Aku ngumpulin dana dulu buat beli rumah. Terus aku minta orang tua aku ke sana buat ngelamar kamu, ya." balasku sembari tersenyum sendiri.
"Ih, sayang. So sweet! 😀" balasnya.
"Aku bentar lagi ada urusan, nih. Aku pergi dulu, ya" tulisku.
"Ok. Take care, sweetheart." tulisnya.
"You too, my precious. Wait for me." balasku.
Ku taruh Handphoneku kembali diatas meja. Aku mulai mengepak kembali barang-barang yang kubawa ke tempat ku di alih tugaskan. Aku hanya membawa 2 koper kecil dan satu tas punggung biasa. Aku mulai membaca kembali torehan-torehan tinta hitam yang menuliskan perjalananku dari SMP sampai sekarang.
Aku dan sahabatku mengikat sebuah janji, janji yang sangat berarti bagi masa depan kami. Aku masih ingat dengan jelas saat terakhir kali ku bertemu dengannya. "Fir... Bentar lagi kita lulus kuliah, lo mungkin bakal balik lagi ke Kalimantan. Dan gue... Gue bakal kangen banget sama lu Sob. Bakal kangen sama sifat tengil lu. Bakal kangen sama mata biru lu. Dan kangen sama kenangan kita Man." Ucap sahabatku yang sedang melihat lembayung jingga. Sang mentari yang perlahan terjatuh kedalam kegelapan.
"Ri... Sebenernya, gua juga gak pengen pisah sama lo. Tapi... Ini demi masa depan kita berdua sob. Lu sendiri yang punya cita-cita pengen punya perusahaan teknologi yang sukses kan? Dan gue... Gua juga pengen jadi petugas Bea Cukai. Dan mungkin... Gua bisa jadi lebih dari apa yang gua impikan." Ucapku sambil menoleh kearah lembayung senja tersebut.
"Dan... elo sendiri kan yang punya impian, tentang masa depan. Tentang sebuah impian besar yang akan lo capai? Ri... Kita itu jangan terlalu terpaku dengan satu sama lain. Itu bagaikan membatasi mimpi kita sendiri yang sebenernya gak terbatas..." Lanjutku lagi.
"Waktu itu, kita pernah liat dua kutu loncat. Dan kedua kutu tersebut gak meloncat dengan ketinggian yang sama. Kenapa?" Ucapku. "Satu kutu yang meloncat lebih rendah, di karenakan dia terlalu lama di kurung di sebuah kotak kardus yang kecil... Sedangkan yang satu lagi bebas loncat kesana dan kesini. Dua kutu itu kayak kita Ri, terlalu terpaku dengan hal sekitar sampe-sampe lupa kalau dunia tidak sesempit sebuah kotak kardus." Jelasku.
Sahabatku hanya sedikit mengangguk sambil tak menoleh sedikitpun. "Ri... Sekali lagi, gua minta sama lo buat berjanji... Lo mau kan Ri?" Tanyaku pada sahabatku.
"Saat nanti kita berpisah, kita jangan pernah berhubungan lewat apapun apalagi ketemu. Kalo bisa, sampe lost contact sekalian. Sampe kita udah ngeraih mimpi kita masing-masing." Ucapku meminta mengikat sebuah janji dengan sahabatku. Sahabatku menoleh, tersenyum. Ini senyum yang sangat tulus sekali. Walaupun aku sudah bersahabat bertahun-tahun dengannya, aku tau kalau dia sangat jarang tersenyum.
"Gua janji Man... Gua janji." Ucap sahabatku dengan suara sedikit serak. Suaranya bergetar. Aku menyodorkan tanganku padanya, untuk mengajaknya bersalaman. Namun ia tak menjabat tanganku. Ia alih-alih langsung mendekapku kuat, seperti dua orang saudara yang akan terpisah selamanya. Aku membalas dekapannya. Jujur aku tak peduli apa yang orang katakan saat mereka melihat kami, karena aku sudah meganggapnya seperti saudaraku sendiri.
Setelah dekapan yang melelehkan hati itu, kami kembali menatap sang langit yang sudah matang untuk menjadi malam. Itu adalah tangisnya yang ketiga selama kami bertahun-tahun bersahabat. Dia sangat tertutup, dan jarang berekspresi.
Kembali ke masa kini, kini mataku bukan hanya berat, namun kini aku benar-benar menangis, tak kuasa membendung air mata. Aku menepis air mata yang mengucur dari kedua bola mataku sembari bergumam, "Where the hell are you now, buddy?"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari laptopku yang masih menyala. Segera aku beranjak ke depan laptopku dan mengeceknya. Kudapati sebuah email yang baru saja masuk ke dalam kotak masuk emailku. Sebuah email dari pengirim bernama adam.*******99@*mail.com dengan judul email "Apa Kabar Kawan Lama?"
Aku merasa sungguh bingung dengan email tersebut. Pasalnya aku tak pernah memberikan alamat emaliku pada siapa pun. Dan sahabatku juga tak mempunyai email. "Who are you?" gumamku sembari mengklik email tersebut.
Perkenalkan nama saya Firman Valliano. Biasa di panggil Ival atau Firman. Disini... Saya adalah Newbie se newbie-newbie nya. Jadi kalo ada yang salah, saya minta bimbingannya buat para agan dan sista yang jauh lebih senior disini.
Izinkan saya untuk berbagi sebuah cerita hidup.
Bukan Romance, tapi tentang"Ulat Diantara Hujan"
Untuk peluncuran perdana cerita ini, saya akan mengikutsertakan tiga part pertama besama prolog agar agan dan sista tak perlu lagi meminta ane buat cepet-cepet upload part. Tapi sebelumnya, saya punya beberapa peraturan di trit ini demi menjaga keamanan dan ketentraman trit nan sederhana ini.
Quote:
1. Jangan khawatir soal upload. Ane usahakan buat upload teratur setiap Minggu malam (malam Senin). Dan kalau pun ane gak bisa, pasti ane kasih tau.
2. Kepo boleh, tapi jangan berlebihan, karena segala yang berlebihan itu nggak baik.
3. Jangan komen spam dan junk, emang ente suka ada yang buang-buang di dalam rumah? Nggak kan?
4. Silakan aja tanya-tanya, entar ane bikinin sesi FAQ dan Q&A (apa bedanya, ya?).
5. Dan yang terakhir, enjoy!
2. Kepo boleh, tapi jangan berlebihan, karena segala yang berlebihan itu nggak baik.
3. Jangan komen spam dan junk, emang ente suka ada yang buang-buang di dalam rumah? Nggak kan?
4. Silakan aja tanya-tanya, entar ane bikinin sesi FAQ dan Q&A (apa bedanya, ya?).
5. Dan yang terakhir, enjoy!
Jika agan dan sista sekalian males nyari uploadan partnya di bawah (kayak ane) ane udah siapin indeks buat agan dan sista sekalian supaya lebih gampang buat baca cerita ini.
Spoiler for Indeks alias Daftar Isi:
Quote:
PROLOG
22 Februari 2015
Ctak.
Akhirnya selesai juga tugasku. Aku adalah orang asal Kalimantan yang bekerja sebagai petugas Bea Cukai di Jakarta. Aku baru selesai mengerjakan paperwork untuk kepindahan tugasku ke kota lain, tinggal kirim emailnya ke atasanku dan minggu depan aku tinggal berangkat ke tempatku dipindah tugaskan.
Perkenalkan, namaku Ahmad Firman Valliano. Seorang Kalimantan keturuan Australia. Sekarang ini aku sedang mengurus berkas-berkas dan mengepak barang-barang untuk kepindahanku. Aku berdiri sejenak. Melepas penat yang sudah kurasakan sejak 2 Jam yang lalu mengetik. Ku tengok kembali ke gudangku yang di penuhi oleh debu dan sarang laba-laba. "Huh! Berdebu banget! Ini gegara gue males bersih-bersih deh kayaknya..." gumamku.
Kembali ku cek beberapa barang-barang yang akan kubawa nanti. Sampai kutemukan sebuah benda, dan benda itu bukan benda biasa. Sebuah susunan-susunan rapih lampiran kertas-kertas usang yang di sampuli oleh kulit yang berdebu dengan berjuta kenangan yang tertata rapih di dalamnya. Sebuah Buku Diari.
Aku tersenyum simpul, teringat kembali akan kenangan indah selama bertahun-tahun masa hidupku yang lampau. Ku ambil buku diari itu, dan aku berjalan keluar dari gudang, kembali keruang tamu. Kubuka lembaran-lembaran penuh kenangan indah itu dengan perlahan. Kubuka halaman pertama. Terdapat sebuah gambar yang di gambar oleh pensil. Gambar ulat yang bermetamorfosa menjadi kupu-kupu, dan juga diatasnya terdapat awan hujan. Aku terkekeh pelan, senyumku mengembang tatkala kubuka lembar halaman kedua.
Sebuah foto tertempel oleh secarik plester di atas kertas usang nan berdebu. Foto dari separuh relung sukmaku. Foto yang jauh lebih berharga di banding dengan semua harta duniawi. Foto dengan bermilyar kenangan indah didalamnya. Foto dari seorang makhluk Tuhan yang sangat menakjubkan.
Sekilas, foto tersebut hanyalah secarik foto biasa. Namun tidak bagiku. Bagiku, foto itu adalah salah satu pondasi. Pondasi terkuat, terkokoh, dan terbaik yang mampu membangun diriku menjadi seperti sekarang. Itu adalah.... Foto Sahabat terbaikku… Mataku mulai terasa panas dan berat. "Aarrrgghhh!!! Laki macam apa gue? Baru buka kertas dua lembar aja udah netesin air mata? Gue bukan cowok selemah gitu. Seenggaknya nggak kayak dulu..." Ucapku dalam hati.
Foto yang begitu bersejarah bagi kami berdua. Secarik foto yang tidak utuh, tersobek setengah dan mulai buram, yang memperlihatkan sahabat terbaikku tengah menenteng seekor ikan. Sejujurnya itu hanya setengah bagian dari foto utuh. Sebenarnya foto itu memperlihatkan kami saat kami berdua, saling berangkulan dan menenteng masing-masing seekor ikan. Separuh bagian foto itu kubagi dengan sahabat terbaikku tersebut. Foto yang di ambil saat acara perpisahan SMP itu benar-benar membuatku tak bisa membendung air mataku. "Ri, ri. Baru juga sebentar ditinggal lo, kok guenya udah kaya gini, ya?", ucap batinku sembari aku terkekeh mengingat kembali masa-masa itu.
Kubuka lembaran lain dari kertas-kertas penuh kenangan ini, dan dadaku langsung sesak saat melihat hal yang terplester di kertas tersebut. Aku kembali terkekeh dan tersenyum lebar melihatnya. Sebuah kail kecil yang di plester ke kertas penuh memori ini. Sebuah kail yang bisa di bilang memulai persahabatan kami yang penuh warna ini.
Mungkin, jika ada orang yang melihatku saat ini, pasti aku sudah di bawa ke rumah sakit jiwa. Bagaimana tidak, aku terkekeh, bahkan hampir tertawa mengenang semua kenangan yang tersimpan dalam carik-carik kertas tipis penuh makna dalam buku diary tuaku ini.
"Duh! Bini gue!" ucap batinku saat aku teringat istriku.
Segera aku bergegas ke kamarku dan mengambilnya. Ya. Aku memang mengambil istriku. Perkenalkan, istriku saat ini. Sepucuk senapan SS1 V-2 kaliber 5,56 mm NATO yang diberikan kepadaku saat pertama kali aku ditugaskan sebagai Unit Taktis Bea Cukai. Sejak saat itu, aku selalu menjaga dan membersihkannya, dan aku selalu memanggilnya sebagai istriku.
Sehabis aku mengambil istriku tersayang, aku kembali mengambil buku diary tuaku, dan aku duduk di kursi di depan laptopku. Kembali aku membalik-balik halaman-halaman penuh kenangan yang membuat dadaku semakin sesak dan mataku kebanjiran. Segala kenangan, baik manis maupun pahit, semua tertuang dalam buku ini, buku tua yang telah ada sejak aku SMA, yang selalu setia mendengarkan curhatku sejak saat lembaran-lembarannya masih seputih dan sebersih salju pertama musim dingin. Kini, tiap lembaran buku ini usang dan berdebu, namun ia tetap mampu menyimpan semua kenangan yang aku torehkan di tiap lembarannya.
Handphoneku bergetar pertanda ada pesan masuk. Segera ku ambil handphoneku dan membaca pesan tersebut, yang ternyata datang dari kekasihku tercinta.
"Ayaaang. Kamu udah makan belom?" isi pesan tersebut.
"Sudah, sayang. Kamu inget makan juga ya." balasku.
"Iya, sayang." jawabnya tak lama kemudian.
"Ayang, kamu abis ini di tugasin di mana?" tanyanya.
"Nggak tau. Keknya bakal di tugasin di Kalimantan." jawabku.
"Trus, kapan kamu ke sini? 😞" tanyanya.
"Nanti, ya. Aku ngumpulin dana dulu buat beli rumah. Terus aku minta orang tua aku ke sana buat ngelamar kamu, ya." balasku sembari tersenyum sendiri.
"Ih, sayang. So sweet! 😀" balasnya.
"Aku bentar lagi ada urusan, nih. Aku pergi dulu, ya" tulisku.
"Ok. Take care, sweetheart." tulisnya.
"You too, my precious. Wait for me." balasku.
Ku taruh Handphoneku kembali diatas meja. Aku mulai mengepak kembali barang-barang yang kubawa ke tempat ku di alih tugaskan. Aku hanya membawa 2 koper kecil dan satu tas punggung biasa. Aku mulai membaca kembali torehan-torehan tinta hitam yang menuliskan perjalananku dari SMP sampai sekarang.
Aku dan sahabatku mengikat sebuah janji, janji yang sangat berarti bagi masa depan kami. Aku masih ingat dengan jelas saat terakhir kali ku bertemu dengannya. "Fir... Bentar lagi kita lulus kuliah, lo mungkin bakal balik lagi ke Kalimantan. Dan gue... Gue bakal kangen banget sama lu Sob. Bakal kangen sama sifat tengil lu. Bakal kangen sama mata biru lu. Dan kangen sama kenangan kita Man." Ucap sahabatku yang sedang melihat lembayung jingga. Sang mentari yang perlahan terjatuh kedalam kegelapan.
"Ri... Sebenernya, gua juga gak pengen pisah sama lo. Tapi... Ini demi masa depan kita berdua sob. Lu sendiri yang punya cita-cita pengen punya perusahaan teknologi yang sukses kan? Dan gue... Gua juga pengen jadi petugas Bea Cukai. Dan mungkin... Gua bisa jadi lebih dari apa yang gua impikan." Ucapku sambil menoleh kearah lembayung senja tersebut.
"Dan... elo sendiri kan yang punya impian, tentang masa depan. Tentang sebuah impian besar yang akan lo capai? Ri... Kita itu jangan terlalu terpaku dengan satu sama lain. Itu bagaikan membatasi mimpi kita sendiri yang sebenernya gak terbatas..." Lanjutku lagi.
"Waktu itu, kita pernah liat dua kutu loncat. Dan kedua kutu tersebut gak meloncat dengan ketinggian yang sama. Kenapa?" Ucapku. "Satu kutu yang meloncat lebih rendah, di karenakan dia terlalu lama di kurung di sebuah kotak kardus yang kecil... Sedangkan yang satu lagi bebas loncat kesana dan kesini. Dua kutu itu kayak kita Ri, terlalu terpaku dengan hal sekitar sampe-sampe lupa kalau dunia tidak sesempit sebuah kotak kardus." Jelasku.
Sahabatku hanya sedikit mengangguk sambil tak menoleh sedikitpun. "Ri... Sekali lagi, gua minta sama lo buat berjanji... Lo mau kan Ri?" Tanyaku pada sahabatku.
"Saat nanti kita berpisah, kita jangan pernah berhubungan lewat apapun apalagi ketemu. Kalo bisa, sampe lost contact sekalian. Sampe kita udah ngeraih mimpi kita masing-masing." Ucapku meminta mengikat sebuah janji dengan sahabatku. Sahabatku menoleh, tersenyum. Ini senyum yang sangat tulus sekali. Walaupun aku sudah bersahabat bertahun-tahun dengannya, aku tau kalau dia sangat jarang tersenyum.
"Gua janji Man... Gua janji." Ucap sahabatku dengan suara sedikit serak. Suaranya bergetar. Aku menyodorkan tanganku padanya, untuk mengajaknya bersalaman. Namun ia tak menjabat tanganku. Ia alih-alih langsung mendekapku kuat, seperti dua orang saudara yang akan terpisah selamanya. Aku membalas dekapannya. Jujur aku tak peduli apa yang orang katakan saat mereka melihat kami, karena aku sudah meganggapnya seperti saudaraku sendiri.
Setelah dekapan yang melelehkan hati itu, kami kembali menatap sang langit yang sudah matang untuk menjadi malam. Itu adalah tangisnya yang ketiga selama kami bertahun-tahun bersahabat. Dia sangat tertutup, dan jarang berekspresi.
Kembali ke masa kini, kini mataku bukan hanya berat, namun kini aku benar-benar menangis, tak kuasa membendung air mata. Aku menepis air mata yang mengucur dari kedua bola mataku sembari bergumam, "Where the hell are you now, buddy?"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari laptopku yang masih menyala. Segera aku beranjak ke depan laptopku dan mengeceknya. Kudapati sebuah email yang baru saja masuk ke dalam kotak masuk emailku. Sebuah email dari pengirim bernama adam.*******99@*mail.com dengan judul email "Apa Kabar Kawan Lama?"
Aku merasa sungguh bingung dengan email tersebut. Pasalnya aku tak pernah memberikan alamat emaliku pada siapa pun. Dan sahabatku juga tak mempunyai email. "Who are you?" gumamku sembari mengklik email tersebut.
Diubah oleh winiafirmansyah 09-01-2017 21:40


anasabila memberi reputasi
1
6.3K
Kutip
67
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan