- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Adang Amung : Sakit hati ini


TS
dewaagni
Adang Amung : Sakit hati ini
Adang Amung : Sakit hati ini

Selain ibu Inggit, salah satu tetangga saya adalah Kang Adang Amung yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter saja dengan mantan rumah saya di jalan Sitimunigar Bandung. Kang Adang sebagaimana kami biasa memanggilnya adalah seorang penghayat sekaligus Ketua 1 Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), salah satu kekayaan khazanah agama/kepercayaan lokal yang ada di Indonesia dengan pengikut ratusan ribu di berbagai provinsi. Sebenarnya sudah lama saya ingin ngobrol santai dengan Kang Adang, tapi baru kali ini kami akhirnya bertemu setelah mencoba menghubunginya sekian lama. Ini hanya obrolan ringan pada hari Minggu yang lalu (15/06), tapi saya ingin mengangkat isu diskriminasi terhadap kalangan minoritas khususnya terhadap pemeluk aliran kepercayaan yang sudah jadi silent victims sejak jaman Orba hingga sekarang.
Bagi yang ingin mengetahui tentang apa dan bagaimana Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP) silakan di google atau bisa menemukan infromasinya di sini, di sini, dan di sini (isu diskriminasi), Singkatnya, aliran ini didirikan oleh Mei Kartawinata, M. Rasyid, dan Sumitra pada tanggal 17 September 1927 di Subang. Ajaran mereka bersumber pada Dasa Wasita (10 Wangsit) yang merupakan petuah moral dan hubungan pengikutnya dengan Tuhan. Lengkapnya ini hasil obrolan saya dengan Kang Adang :

T: Kang, sebenarnya apa sih inti ajaran AKP ?
J : Sebelum menjawab itu, saya ingin menyatakan bahwa aliran2 kepercayaan di Indonesia termasuk AKP merupakan kekayaan budaya bangsa yang sarat dengan kearifan lokal. Salah satunya adalah hubungan manusia dengan alam dengan berbagai pamali atau tabu. Bahwa alam ini adalah anugerah dari Tuhan harus dipelihara dengan baik. Kalau menebang, tanamlah kembali, suatu konsep yang kami sebut dengan “sedekah bumi” merupakan salah satu contoh ajaran AKP. Sayang dalam perjalanan waktu berbagai pamali atau tabu untuk melindungi alam seringkali dianggap sirik atau menyekutukan Tuhan sehingga orang sudah tidak takut lagi melakukan perusakan lingkungan. Sejarahnya. ajaran kami bermula dari Subang dengan Dasa Wasita atau 10 wangsit yang diterima oleh Mama Karta (Mei Kartawinata). Makanya Subang saat itu dicetuskan sebagai bentengnya Pancasila.
T : Apa hubungannya dengan Pancasila ?
J : Saya tidak tahu mengapa ini tidak terekam dalam buku sejarah, tapi dalam salah satu percakapan Mei Kartawinata (MK) bertanya kepada Bung Karno. “No, katakanlah suatu saat negara ini merdeka, apa yang akan dijadikan dasar filosofinya ? tanya MK kepada Bung Karno. “Nasionalisme” kata BK. “Nasionalisme mana ? Hindu, Budha, Islam, Komunis ? Saat itu BK belum bisa menjawab dan percakapan terhenti begitu saja. Kemudian MK dan rekan2nya kemudian hijrah ke Bandung Selatan dan mendirikan Marhaen (Permai=Partai Persatuan Rakyat Marhaen, catatan dari saya), yang visinya adalah orang yang pernah terjajah, tidak akan dijajah lagi, dan tahu cara mengusir penjajah.
T : Menarik, lalu apalagi ?
J : Sebenarnya inti ajaran ini adalah menjalankan kehendak Tuhan atau Kersaning Gusti. Dengan kata lain kita dilahirkan di dunia ini adalah merupakan titah-Nya , kehendak Ilahi yang harus kita laksanakan sebaik-baiknya. Selain itu hidup di dunia ini harus mencoba melaksanakan sifat2 Tuhan semampu kita melalui pengenalan diri.
T : Seperti konsep Sufi dalam Islam yang menyatakan “siapa yang mengenal dirimu akan mengenal Tuhan”, lalu bagaimana cara mengenal Tuhan ?
J : Singkat saja, dengan alat yang diberikan oleh Tuhan. Mata, telinga, rasa, hati. Temukan Tuhan dengan alat yang diberikan-Nya, bukan dengan alat yang lain.
T : Apakah ada ritus dan tempat ibadah yang khusus ?
J : kami tidak mengenal tempat ibadah, yang penting di manapun dan pada saat apapun kita bisa melakukan hubungan dengan Tuhan dan mensyukuri segala karunia-Nya.
T : Tidak semedi di tempat khusus ?
J : Tidak perlu, di tengah keramaian pun kita bisa sekedar ingat (eling) kepada-Nya karena Tuhan Maha Tahu.
T: Menghadapnya ke mana ? Barat, Timur, atau ?
J : Simpel, ke depan. Tidak mungkin kita menengok ke belakang, kan tidak enak, coba saja palingkan muka ke belakang (sambil tersenyum).
T : Ngomong2 anaknya Kang Adang apakah harus juga menjadi pemeluk aliran ini ?
J : Sama sekali tidak. Sebelum ia berusia 17 tahun kami memberikan kebebasan kepadanya untuk mempelajari berbagai agama apapun. Pada saatnya saat ia dewasa kami akan bertanya dan membiarkan ia memutuskan sendiri. (catatan : dalam keluarga besarnya hanya orang tua Kang Adang dan ia sendiri yang menganut aliran kepercayaan, sedangkan adik2nya beragama Islam)
T : Apa syaratnya kalau ia ingin menjadi pemeluk aliran ini ?
J : Sudah berusia 17 tahun, memahami dirinya, direkomendasikan oleh sedikitnya 7 orang anggota lain, dan surat pernyataan yang bermeterai. Kalau syaratnya sudah terpenuhi, kami akan memberikan kartu keanggotaan.
T : Berapa jumlah anggotanya sekarang
J : Sekitar 200 ribuan tersebar dari pulau Jawa, Lampung, hingga Kalimantan Timur. Kami tidak pernah memasang target untuk mendapatkan anggota sebanyak-banyaknya. Aliran ini murni di biayai sendiri oleh anggotanya dnegan iuran 1000 per bulan. Rencananya akan kami tingkatkan menjadi 5000 pada Musyawarah Besar berikutnya.
T : Sekarang bagaimana masalah diskrminasi dan pengakuan hak2 sipil seperti KTP, buku nikah, akte kelahiran ? Bukankah pemerintah sudah mengakomodasi pemeluk kepercayaan melalui UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP 33/2007 sebagai petunjuk pelaksanannnya ?
J : Sebelum ada peraturan ini Asep Pujanegara salah seorang penghayat yang perkimpoiannya tidak diakui oleh negara berjuang sejak tahun 2001 hingga 2006 saat kasasinya dimenangkan oleh MA. Walau UU itu sudah berlaku, namun hingga saat ini KTP kami masih dikosongkan, atau diberi angka 7 (catatan : agama lain2 dalam database pemerintah), dan banyak juga disebut Kong Hu Chu.

T : Bagaiman dengan Akta Kelahiran ?
J : Bisa kami dapatkan, tapi akta tersebut tanpa pencatuman nama Ayah karena dianggap belum kimpoi oleh pemerintah.
T : Kan perangkat perundangannya sudah ada sejak tahun 2006 ?
J : Bisa dikatakan hampir 90% anggota kami masih menggunakan sistem kependudukan lama, dan kami hanya bisa pasrah. Alasan dari pemerintah karena belum ada petunjuk, belum siap, dll, walaupun kami akui misalnya untuk Kabupaten Bandung, dan Cimahi sudah bisa terlaksana.
T : Bagaimana persaanya selama puluhan tahun mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah?
J : Rasanya sakit hati ini … (sambil merenung), tapi kami pasrah karena mungkin ini bagian dari kersaning Gusti (kehendak Tuhan) dan lalakon hirup (perjalanan kehidupan).
T : Jadi konsep Bhineka Tunggal Ika bangsa ini ?
J : Garuda Pancasila lambang negara kita adalah Gapura Ning Negara atau pntu masuk berbangsa dan bernegara dan di dalamnya harus ada Pancasila. Sila pertama adalah Ketuhanan YME yang dilambangkan dengan Bintang. Mengapa ? Karena bintang bisa menjadi penunjuk jalan pun di dalam kegelapan dan bukan perlambang Tuhan tapi ketuhanan. Itu saja yang kami ingatkan.
T : Selain itu ada tantangan lain dalam menjalankan aliran kepercayaan ini ?
J : Tantangan sih tidak ada, apalagi sudah banyak orang yang mulai terbuka dan menghargai keberadaan kami.

T : Sudah pernah mengadu ke Gus Dur dan apa tanggapannya ?
J : Sudah dan positif. beliau berkata negara harus mengakui aliran kami sebagai agama juga.
Siang itu, di sebuah rumah dalam gang sempit di Bandung kami mengakhiri obrolan ini dan UU 23/2006 sudah memutuskan bahwa KTP pemeluk aliran penghayat tetap dikosongkan walaupun tercatat dalam sistem data base pemerintah. Suatu klausul yang tetap rawan dan multi tafsir.
“I think there’s jus one kind of folks. Folks”
Harper Lee, To Kill a Mockingbird
https://mypotret.wordpress.com/2008/...akit-hati-ini/
Miris sekali

Selain ibu Inggit, salah satu tetangga saya adalah Kang Adang Amung yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter saja dengan mantan rumah saya di jalan Sitimunigar Bandung. Kang Adang sebagaimana kami biasa memanggilnya adalah seorang penghayat sekaligus Ketua 1 Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), salah satu kekayaan khazanah agama/kepercayaan lokal yang ada di Indonesia dengan pengikut ratusan ribu di berbagai provinsi. Sebenarnya sudah lama saya ingin ngobrol santai dengan Kang Adang, tapi baru kali ini kami akhirnya bertemu setelah mencoba menghubunginya sekian lama. Ini hanya obrolan ringan pada hari Minggu yang lalu (15/06), tapi saya ingin mengangkat isu diskriminasi terhadap kalangan minoritas khususnya terhadap pemeluk aliran kepercayaan yang sudah jadi silent victims sejak jaman Orba hingga sekarang.
Bagi yang ingin mengetahui tentang apa dan bagaimana Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP) silakan di google atau bisa menemukan infromasinya di sini, di sini, dan di sini (isu diskriminasi), Singkatnya, aliran ini didirikan oleh Mei Kartawinata, M. Rasyid, dan Sumitra pada tanggal 17 September 1927 di Subang. Ajaran mereka bersumber pada Dasa Wasita (10 Wangsit) yang merupakan petuah moral dan hubungan pengikutnya dengan Tuhan. Lengkapnya ini hasil obrolan saya dengan Kang Adang :

T: Kang, sebenarnya apa sih inti ajaran AKP ?
J : Sebelum menjawab itu, saya ingin menyatakan bahwa aliran2 kepercayaan di Indonesia termasuk AKP merupakan kekayaan budaya bangsa yang sarat dengan kearifan lokal. Salah satunya adalah hubungan manusia dengan alam dengan berbagai pamali atau tabu. Bahwa alam ini adalah anugerah dari Tuhan harus dipelihara dengan baik. Kalau menebang, tanamlah kembali, suatu konsep yang kami sebut dengan “sedekah bumi” merupakan salah satu contoh ajaran AKP. Sayang dalam perjalanan waktu berbagai pamali atau tabu untuk melindungi alam seringkali dianggap sirik atau menyekutukan Tuhan sehingga orang sudah tidak takut lagi melakukan perusakan lingkungan. Sejarahnya. ajaran kami bermula dari Subang dengan Dasa Wasita atau 10 wangsit yang diterima oleh Mama Karta (Mei Kartawinata). Makanya Subang saat itu dicetuskan sebagai bentengnya Pancasila.
T : Apa hubungannya dengan Pancasila ?
J : Saya tidak tahu mengapa ini tidak terekam dalam buku sejarah, tapi dalam salah satu percakapan Mei Kartawinata (MK) bertanya kepada Bung Karno. “No, katakanlah suatu saat negara ini merdeka, apa yang akan dijadikan dasar filosofinya ? tanya MK kepada Bung Karno. “Nasionalisme” kata BK. “Nasionalisme mana ? Hindu, Budha, Islam, Komunis ? Saat itu BK belum bisa menjawab dan percakapan terhenti begitu saja. Kemudian MK dan rekan2nya kemudian hijrah ke Bandung Selatan dan mendirikan Marhaen (Permai=Partai Persatuan Rakyat Marhaen, catatan dari saya), yang visinya adalah orang yang pernah terjajah, tidak akan dijajah lagi, dan tahu cara mengusir penjajah.
T : Menarik, lalu apalagi ?
J : Sebenarnya inti ajaran ini adalah menjalankan kehendak Tuhan atau Kersaning Gusti. Dengan kata lain kita dilahirkan di dunia ini adalah merupakan titah-Nya , kehendak Ilahi yang harus kita laksanakan sebaik-baiknya. Selain itu hidup di dunia ini harus mencoba melaksanakan sifat2 Tuhan semampu kita melalui pengenalan diri.
T : Seperti konsep Sufi dalam Islam yang menyatakan “siapa yang mengenal dirimu akan mengenal Tuhan”, lalu bagaimana cara mengenal Tuhan ?
J : Singkat saja, dengan alat yang diberikan oleh Tuhan. Mata, telinga, rasa, hati. Temukan Tuhan dengan alat yang diberikan-Nya, bukan dengan alat yang lain.
T : Apakah ada ritus dan tempat ibadah yang khusus ?
J : kami tidak mengenal tempat ibadah, yang penting di manapun dan pada saat apapun kita bisa melakukan hubungan dengan Tuhan dan mensyukuri segala karunia-Nya.
T : Tidak semedi di tempat khusus ?
J : Tidak perlu, di tengah keramaian pun kita bisa sekedar ingat (eling) kepada-Nya karena Tuhan Maha Tahu.
T: Menghadapnya ke mana ? Barat, Timur, atau ?
J : Simpel, ke depan. Tidak mungkin kita menengok ke belakang, kan tidak enak, coba saja palingkan muka ke belakang (sambil tersenyum).
T : Ngomong2 anaknya Kang Adang apakah harus juga menjadi pemeluk aliran ini ?
J : Sama sekali tidak. Sebelum ia berusia 17 tahun kami memberikan kebebasan kepadanya untuk mempelajari berbagai agama apapun. Pada saatnya saat ia dewasa kami akan bertanya dan membiarkan ia memutuskan sendiri. (catatan : dalam keluarga besarnya hanya orang tua Kang Adang dan ia sendiri yang menganut aliran kepercayaan, sedangkan adik2nya beragama Islam)
T : Apa syaratnya kalau ia ingin menjadi pemeluk aliran ini ?
J : Sudah berusia 17 tahun, memahami dirinya, direkomendasikan oleh sedikitnya 7 orang anggota lain, dan surat pernyataan yang bermeterai. Kalau syaratnya sudah terpenuhi, kami akan memberikan kartu keanggotaan.
T : Berapa jumlah anggotanya sekarang
J : Sekitar 200 ribuan tersebar dari pulau Jawa, Lampung, hingga Kalimantan Timur. Kami tidak pernah memasang target untuk mendapatkan anggota sebanyak-banyaknya. Aliran ini murni di biayai sendiri oleh anggotanya dnegan iuran 1000 per bulan. Rencananya akan kami tingkatkan menjadi 5000 pada Musyawarah Besar berikutnya.
T : Sekarang bagaimana masalah diskrminasi dan pengakuan hak2 sipil seperti KTP, buku nikah, akte kelahiran ? Bukankah pemerintah sudah mengakomodasi pemeluk kepercayaan melalui UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP 33/2007 sebagai petunjuk pelaksanannnya ?
J : Sebelum ada peraturan ini Asep Pujanegara salah seorang penghayat yang perkimpoiannya tidak diakui oleh negara berjuang sejak tahun 2001 hingga 2006 saat kasasinya dimenangkan oleh MA. Walau UU itu sudah berlaku, namun hingga saat ini KTP kami masih dikosongkan, atau diberi angka 7 (catatan : agama lain2 dalam database pemerintah), dan banyak juga disebut Kong Hu Chu.

T : Bagaiman dengan Akta Kelahiran ?
J : Bisa kami dapatkan, tapi akta tersebut tanpa pencatuman nama Ayah karena dianggap belum kimpoi oleh pemerintah.
T : Kan perangkat perundangannya sudah ada sejak tahun 2006 ?
J : Bisa dikatakan hampir 90% anggota kami masih menggunakan sistem kependudukan lama, dan kami hanya bisa pasrah. Alasan dari pemerintah karena belum ada petunjuk, belum siap, dll, walaupun kami akui misalnya untuk Kabupaten Bandung, dan Cimahi sudah bisa terlaksana.
T : Bagaimana persaanya selama puluhan tahun mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah?
J : Rasanya sakit hati ini … (sambil merenung), tapi kami pasrah karena mungkin ini bagian dari kersaning Gusti (kehendak Tuhan) dan lalakon hirup (perjalanan kehidupan).
T : Jadi konsep Bhineka Tunggal Ika bangsa ini ?
J : Garuda Pancasila lambang negara kita adalah Gapura Ning Negara atau pntu masuk berbangsa dan bernegara dan di dalamnya harus ada Pancasila. Sila pertama adalah Ketuhanan YME yang dilambangkan dengan Bintang. Mengapa ? Karena bintang bisa menjadi penunjuk jalan pun di dalam kegelapan dan bukan perlambang Tuhan tapi ketuhanan. Itu saja yang kami ingatkan.
T : Selain itu ada tantangan lain dalam menjalankan aliran kepercayaan ini ?
J : Tantangan sih tidak ada, apalagi sudah banyak orang yang mulai terbuka dan menghargai keberadaan kami.

T : Sudah pernah mengadu ke Gus Dur dan apa tanggapannya ?
J : Sudah dan positif. beliau berkata negara harus mengakui aliran kami sebagai agama juga.
Siang itu, di sebuah rumah dalam gang sempit di Bandung kami mengakhiri obrolan ini dan UU 23/2006 sudah memutuskan bahwa KTP pemeluk aliran penghayat tetap dikosongkan walaupun tercatat dalam sistem data base pemerintah. Suatu klausul yang tetap rawan dan multi tafsir.
“I think there’s jus one kind of folks. Folks”
Harper Lee, To Kill a Mockingbird
https://mypotret.wordpress.com/2008/...akit-hati-ini/
Miris sekali
0
2.2K
17
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan