- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kisah Perkimpoian Antara Dewi Kanti (Sunda Wiwitan) Dengan Okky Satrio Djati (Katolik)


TS
dewaagni
Kisah Perkimpoian Antara Dewi Kanti (Sunda Wiwitan) Dengan Okky Satrio Djati (Katolik)
Terperangkap Tindak Diskriminasi
Dewi (Penghayat) – Okky (Katolik)
…..
Begitupun perjalanan Cinta kami
tak dapat dihentikan oleh perbedaan hukum manusia
yang membelenggu dan kerap memperdebatkan “perbedaan”.
Kami sadar bahwa ingkari perbedaan
adalah ingkari kehidupan yang beragam itu sendiri.
……..
Penggalan bait puisi diatas dipersembahkan oleh Dewi dan Okky, saat menikah sebagai ungkapan terima kasih dan cinta kedua mempelai yang terdalam kepada orang tuanya; Ayahanda P. Djatikusumah, ayahanda alm. Joseph Wasito Djati, Ibunda Emiliana Sri Suwarti dan Ibunda Emalia Wigarningsih. Pasangan beda agama antara Dewi yang memegang teguh sebagai Penghayat dan aktivis demonstran Okky Satrio yang juga dikenal sebagai mantan aktivis Mudika (Muda-mudi Katholik). Keduanya menikah pada 3 Maret 2002 silam.
Mungkin tak seorangpun di dunia ini yang dengan sengaja merencanakan menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Apalagi bagi kita yang hidup di negeri yang dikenal religius ini. Pernikahan antar agama – bahkan oleh sebagian banyak orang – masih belum mendapat tempat di hati masyarakat. Apalagi pernikahan antara agama (yang di)resmi(kan), dengan agama yang tidak (di)resmi(kan). Meski demikian seiring berjalannya waktu, pasangan menikah beda agama makin tak berbilang jumlahnya. Di antara mereka adalah pasangan aktivis Dewi Kanti dan Okky Satrio.
Bunga Mawar di Pelarian
Adalah Albertus Satrio Repuntranto, lelaki yang karib disapa Oky ini dikenal sebagai aktivis demonstran pada era sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Dalam aktivitasnya itu, laki-laki yang pernah kuliah di fakultas Sosial-Politik, Universitas Dr. Mustopo Jakarta ini kerap dikejar-kejar aparat, bahkan tidak jarang tertangkap dan disiksa oleh oknum-oknum yang tidak menyukai ‘perjuangan’-nya. Okky juga merupakan salah seorang penggerak beberapa forum dan gerakan mahasiswa. Meski demikian, sebagai pemuda yang tak mau tinggal diam melihat ketimpangan disekitarnya, ia tak luput dari kegelisahan. Gelisah karena menyaksikan ketidakadilan, dan gelisah karena perbaikan tak kunjung datang.
Tapi, siapa sangka dalam kegelisahannya itulah yang mengantarkannya menemukan ‘mawar merekah’ yang kemudian menjadi pelabuhan terakhir dari pengembaraan cintanya. Ya, suatu hari dalam pelariannya menghindar dari kejaran ‘kaki-kaki jahanam’, sampailah ia di Tanah Pasundan. Saat itu tahun 1990-an Okky melarikan diri dari kejaran ‘intel-intel’ Orde baru dan kemudian ‘menetap’ sementara di Cigugur, Kuningan Jawa Barat. Cigugur merupakan pilihan yang tepat bagi Okky. Disamping ada teman dekat, daerah ini juga dirasa aman olehnya.
Nah, di Cigugur inilah Okky tinggal di rumah seorang tokoh masyarakat yang dikenal luas oleh masyarakat Sunda Karuhun. Tokoh ini bernama Pangeran Djatikusumah. Ia tidak lain adalah ayahanda dari teman karibnya semasa menjadi demonstran di Jakarta. Di rumah Pangeran Djati inilah Okky seringkali memuntahkan kegelisahannya sebagai seorang demonstran pada tuan rumah yang baik dan ramah itu. Ia juga kerap mendiskusikan masalah-masalah keagamaan, adat istiadat, budaya dan sebagainya. Bahkan, dalam banyak kesempatan dalam diskusinya itu mereka (Okky dan Djati) membincangkan lebih jauh tentang Ciwa Buddha, Hindu dan juga ajaran Islam.
Tanpa sepengetahuan Okky, bahkan tak disangka sebelumnya olehnya, keterlibatannya dalam berdiskusi dengan Pangeran Djati mendapat perhatian dan pengamatan yang cukup oleh anak gadisnya, Dewi Kanti. Menurut pengakuan Dewi, yang kini menjadi istri Okky, di matanya Okky nampak sebagai sosok yang serius. Ini ia simpulkan manakala Okky terlibat diskusi panjang hingga larut malam. Bahkan kerap sampai dini hari. Sesekali Dewi mengumpat dalam hati, kesal kepada Okky, karena suka datang ke rumahnya di Cigugur di atas pukul 01:00 dini hari. Bukan karena perilakunya sebagai demonstran, melainkan, kalau sudah datang, maka tak terhindar lagi, ia berlanjut dengan perbincangan panjang dengan ayahandanya yang sudah beranjak sepuh itu. “Kasihan bapak, ia sudah beranjak tua”. Tutur Dewi mengenang awal-awal perkenalannya dengan Okky. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas satu SMU.
Lain halnya dengan Dewi. Ia menikmati masa remajanya layaknya remaja-remaja lain yang hidup di kota metropolitan. Ia sempat mempunyai beberapa teman dekat. Hidup bahagia, riang penuh canda sebagaimana remaja seusianya. Akan tetapi sebagai anak dari penganut Penghayat Kepercayaan, ia mempunyai kisah tersendiri yang berbeda dengan teman-teman lainnya yang beragama ‘samawi’ (Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dll.)
Saat kelas tiga Sekolah dasar, Dewi mengisahkan, suatu ketika sepulang sekolah ia menangis tersedu di pelukan ibundanya. Kepada Ibunya ia menceritakan bahwa guru wali kelasnya menyuruh dia untuk masuk Islam. Tidak hanya itu Sang guru menilai bahwa kakeknyapun dulu seorang muslim. Namun kemudian menjadi murtad dan kafir. Bahkan menurut Dewi, iapun sempat disidang di ruang guru layaknya berbuat suatu tindakan kriminal pencurian. Para guru dengan gayanya masing-masing menjelaskan pandangan mereka terhadap keyakinan orang tuanya yang dituding murtad dan kafir itu. “Yang sering menjadi masalah bukan karena dipaksa masuk satu agama, tetapi yang menyakitkan (secara psikologis) adalah diperlakukan seperti ‘pesakitan’ dan ‘pembunuhan karakter’ orang tuanya di depan sang anak sejak usia dini” papar Dewi yang tak mampu menyembunyikan kekesalannya. “Padahal seorang anak kandunglah yang paling berhak menilai siapa orang tuanya”. Tegas Dewi meyakinkan.
Perkenalan Dewi dengan Okky kian intensif bermula dari aktivitasnya dalam kegiatan kesenian karawitan Sunda. Puncaknya setelah Soeharto tumbang pada Mei 1998, mulai rajin mendorong kalangan muda Penghayat di berbagai forum. Pada masa-masa inilah akhirnya Dewi dipertemukan kembali dengan Okky dalam berbagai kegiatan. Di antaranya mengadvokasi kalangan Penghayat dan konsolidasi masyarakat Adat. Menurut Dewi dari berbagai kegiatan itu akhirnya menyadarkan mereka bahwa; mereka di-‘takdir’-kan untuk bersama. “Resapan air ke air, minyak ke minyak”, ungkap Dewi mengutip tesis kimia politik menurut Tan Malaka tentang kedekatannya dengan Oky. Perbedaan keyakinan tak lagi menjadi penghalang bagi bersemainya cinta kasih keduanya.
Menerobos Tembok Pembatas
Delapan tahun kemudian, setelah merasa ada kecocokan di antara keduanya, mereka sepakat untuk menikah, meski beda agama. Kesadaran yang menyatukan mereka untuk memperjuangkan perkimpoiannya berlandaskan ‘sepengertian’ meski tidak se-‘sepengakuan’ (satu agama seperti anjuran negara, ed.). Sebagaimana kesadaran umum yang berkembang di masyarakat adat di Cigugur. Mereka menganalogikan pada substansi air yang bisa berbeda campuran dan rasa seperti; kopi, teh, bandrek dll. Namun yag diminum tetaplah substansinya yakni air itu sendiri, apapun sebutannya. Dalam bahasa Sunda disebut cai, dalam bahasa Jawa disebut banyu, orang Bali menyebutnya tirta. Namun prinsipnya adalah sama; yakni air yang dapat diminum untuk menghilangkan dahaga.
“Jadi mengapa mesti berkelahi memperebutkan mana yang lebih nikmat antara teh dan kopi. Atau bahkan seringkali berkelahi memperebutkan mana yang benar cai atau banyu” tanya Dewi mendikte.
Keputusan Okky dan Dewi untuk melangsungkan pernikahan tak terbendung lagi. Perbedaan keyakinan diantara keduanya tak lagi menjadi penghalang. Mereka memahami bahwa pernikahnnya merupakan hubungan antar manusia yang sama-sama menyakini adanya Tuhan Yang Tunggal. Yang membedakan mereka hanyalah cara mengekspresikan keyakinannya. Pada aras inilah menurut Dewi, tak sepatutnya, manakala warga negara telah memiliki kesepahaman dalam menghargai perbedaan, negara malah merusaknya dengan kebijakan yang tidak bijak. Seolah pernikahan beda agama tak akan pernah terjadi, dan tak boleh terjadi. Negara, menurut Dewi, semestinya hanya bertugas mencatatkan (secara administratif) segala peristiwa penting warga negaranya, tanpa harus mengakui atau mengesahkan suatu perkimpoian berdasarkan agama yang (di-)resmi-(kan) atau tidak. Okky-pun mengamini pendapat Dewi.
Perbedaan latar belakang kultur keduanya juga tidak menjadi penghalang. Dewi yang lahir dan besar dengan kultur Sunda-nya dan Okky dengan kultur Jawa-nya hanya dianggap kerikil tak berarti bagi keduanya. Begitupun latar Dewi yang tumbuh di lingkungan ningrat tak merasa canggung manakala mesti berhadapan dengan lelaki yang hobby berdemonstrasi itu. Meski demikian, mereka mengaku bahwa ‘tentangan’ yang oleh Dewi disebut bak kerikil, yang berasal dari kalangan warga masyarakat masih membayangi keduanya hingga malam ‘Ngeyeuk Sereuh’.
Mereka juga mengaku bahwa pilihan menikah beda agama memerlukan kesiapan batin yang luar biasa. Terutama untuk memahami via dolorosa (jalan salib yang berat). Apalagi mereka sepakat untuk mencatatkan pernikahannya secara adat, meski mereka tahu betul bahwa itu tak bakalan bisa diwujudkan oleh tangan penguasa. Keduanya tidak mau menempuh ‘jalan gampang’ yang lempang di depan mata. Misalnya dengan mencatatkan diri melalui jalur pemberkatan gereja, yang secara resmi telah mencatat pernikahan mereka. Pencatatan adat sengaja mereka perjuangkan. Menurut Oky, hal itu adalah bentuk dari “keyakinan untuk berseru-seru di pandang gurun”. Papar Okky sambil melirik Dewi yang duduk di sampingnya. “Justru karena sulit, maka upaya ini kami harapkan menjadi (semacam) ‘perlawanan dengan bunga’”. Lanjut Okky bermetafor mengutip penggalan pidato John F. Kennedy soal ekspedisi ke bulan, katanya “We Choose go to the Moon, Not because it is Easy !! But Because It’s HARD !!”
Menimpali pernyataan suaminya, Dewi tak mau kalah. Ia mengutip sebuah sajak dari Wijhi Thukul, sastrawan ‘miskin’ penerima Yap Thiam Hien Award tahun 2003, yang hingga kini tak jelas rimbanya.
Jika kami bunga,
Engkau adalah tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat
Kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan:
Engkau harus hancur!!
Okky dan Dewi mengistilahkan langkah pernikahan adat ini sebagai “bersampan diantara dua karang” meminjam salah satu judul buku Bung Hata tentang sosialisme Indonesia. Mereka juga mengatakan bahwa ini merupakan langkah kultural yang inovatif dengan harapan langkah ini banyak ditiru oleh pasangan beda agama yang menikah, terutama antara agama (yang di)resmi(kan) dan tidak (di)resmi(kan) di Jawa Barat. Memang mestinya mereka bisa menikah atas nama Katholik agar mudah di catatkan di KCS. Namun, hal ini tidak ditempuh oleh keduanya. Mereka mengatakan bahwa langkahnya itu sebagai upaya perlawanan terhadap kultur “diam di tindas” yang menimpa kasus-kasus pernikahan adat di Kuningan. Meminjam bahasa Dewi ,”upaya ini tampak seperti menyalakan obor sejenak dalam gulita”. Namun lanjut Dewi, “lebih baik menyalakan pelita daripada memaki maki dalam gelap”.
Okky sendiri, menurut pengakuannya, tidak mengalami kesulitan ketika akan melangsungkan pernikahan. Ia bahkan mendapatkan dispensasi (pengecualian) dari Keuskupan Agung Jakarta setelah di rekomendasi oleh Pastor dari Paroki Santo Stephanus Cilandak Jakarta selatan. Namun di luar institusi gereja banyak suara-suara yang mencibir Okky yang nota bene mantan ketua Mudika Paroki Santo Stephanus, tapi melakukan ‘perkimpoian campur’ (beda agama). “Kalo nggak campur bagaimana bisa kimpoi“ tukas Okky dengan kelakar khasnya. Terlepas dari cibiran itu, yang membahagiakan Okky dan Dewi adalah adanya beberapa kolega dekatnya yang justru mendukung niat baiknya tersebut.
Memang, diakui oleh Oky, mungkin muncul spekulasi apakah Dewi akan diKatholik-kan atau Okky yang akan dijadikan Penghayat. Bahkan sebelum pernikahan tersebut dilangsungkan, baik di lingkungan Katolik maupun Penghayat sempat beredar spekulasi tersebut. Jadi, masih menurut Okky, di lingkungan warga Katholik sendiri ada semacam sinisme oleh karena mantan ketua Mudika melakukan kimpoi campur dengan gadis dari ‘agama’ lain. Begitupun di kalangan Penghayat, karena Dewi adalah putri dari Pangeran Djatikusumah yang merupakan tokoh Penghayat Kepercayaan di Jawa barat.
Dewi (Penghayat) – Okky (Katolik)
…..
Begitupun perjalanan Cinta kami
tak dapat dihentikan oleh perbedaan hukum manusia
yang membelenggu dan kerap memperdebatkan “perbedaan”.
Kami sadar bahwa ingkari perbedaan
adalah ingkari kehidupan yang beragam itu sendiri.
……..
Penggalan bait puisi diatas dipersembahkan oleh Dewi dan Okky, saat menikah sebagai ungkapan terima kasih dan cinta kedua mempelai yang terdalam kepada orang tuanya; Ayahanda P. Djatikusumah, ayahanda alm. Joseph Wasito Djati, Ibunda Emiliana Sri Suwarti dan Ibunda Emalia Wigarningsih. Pasangan beda agama antara Dewi yang memegang teguh sebagai Penghayat dan aktivis demonstran Okky Satrio yang juga dikenal sebagai mantan aktivis Mudika (Muda-mudi Katholik). Keduanya menikah pada 3 Maret 2002 silam.
Mungkin tak seorangpun di dunia ini yang dengan sengaja merencanakan menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Apalagi bagi kita yang hidup di negeri yang dikenal religius ini. Pernikahan antar agama – bahkan oleh sebagian banyak orang – masih belum mendapat tempat di hati masyarakat. Apalagi pernikahan antara agama (yang di)resmi(kan), dengan agama yang tidak (di)resmi(kan). Meski demikian seiring berjalannya waktu, pasangan menikah beda agama makin tak berbilang jumlahnya. Di antara mereka adalah pasangan aktivis Dewi Kanti dan Okky Satrio.
Bunga Mawar di Pelarian
Adalah Albertus Satrio Repuntranto, lelaki yang karib disapa Oky ini dikenal sebagai aktivis demonstran pada era sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Dalam aktivitasnya itu, laki-laki yang pernah kuliah di fakultas Sosial-Politik, Universitas Dr. Mustopo Jakarta ini kerap dikejar-kejar aparat, bahkan tidak jarang tertangkap dan disiksa oleh oknum-oknum yang tidak menyukai ‘perjuangan’-nya. Okky juga merupakan salah seorang penggerak beberapa forum dan gerakan mahasiswa. Meski demikian, sebagai pemuda yang tak mau tinggal diam melihat ketimpangan disekitarnya, ia tak luput dari kegelisahan. Gelisah karena menyaksikan ketidakadilan, dan gelisah karena perbaikan tak kunjung datang.
Tapi, siapa sangka dalam kegelisahannya itulah yang mengantarkannya menemukan ‘mawar merekah’ yang kemudian menjadi pelabuhan terakhir dari pengembaraan cintanya. Ya, suatu hari dalam pelariannya menghindar dari kejaran ‘kaki-kaki jahanam’, sampailah ia di Tanah Pasundan. Saat itu tahun 1990-an Okky melarikan diri dari kejaran ‘intel-intel’ Orde baru dan kemudian ‘menetap’ sementara di Cigugur, Kuningan Jawa Barat. Cigugur merupakan pilihan yang tepat bagi Okky. Disamping ada teman dekat, daerah ini juga dirasa aman olehnya.
Nah, di Cigugur inilah Okky tinggal di rumah seorang tokoh masyarakat yang dikenal luas oleh masyarakat Sunda Karuhun. Tokoh ini bernama Pangeran Djatikusumah. Ia tidak lain adalah ayahanda dari teman karibnya semasa menjadi demonstran di Jakarta. Di rumah Pangeran Djati inilah Okky seringkali memuntahkan kegelisahannya sebagai seorang demonstran pada tuan rumah yang baik dan ramah itu. Ia juga kerap mendiskusikan masalah-masalah keagamaan, adat istiadat, budaya dan sebagainya. Bahkan, dalam banyak kesempatan dalam diskusinya itu mereka (Okky dan Djati) membincangkan lebih jauh tentang Ciwa Buddha, Hindu dan juga ajaran Islam.
Tanpa sepengetahuan Okky, bahkan tak disangka sebelumnya olehnya, keterlibatannya dalam berdiskusi dengan Pangeran Djati mendapat perhatian dan pengamatan yang cukup oleh anak gadisnya, Dewi Kanti. Menurut pengakuan Dewi, yang kini menjadi istri Okky, di matanya Okky nampak sebagai sosok yang serius. Ini ia simpulkan manakala Okky terlibat diskusi panjang hingga larut malam. Bahkan kerap sampai dini hari. Sesekali Dewi mengumpat dalam hati, kesal kepada Okky, karena suka datang ke rumahnya di Cigugur di atas pukul 01:00 dini hari. Bukan karena perilakunya sebagai demonstran, melainkan, kalau sudah datang, maka tak terhindar lagi, ia berlanjut dengan perbincangan panjang dengan ayahandanya yang sudah beranjak sepuh itu. “Kasihan bapak, ia sudah beranjak tua”. Tutur Dewi mengenang awal-awal perkenalannya dengan Okky. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas satu SMU.
Lain halnya dengan Dewi. Ia menikmati masa remajanya layaknya remaja-remaja lain yang hidup di kota metropolitan. Ia sempat mempunyai beberapa teman dekat. Hidup bahagia, riang penuh canda sebagaimana remaja seusianya. Akan tetapi sebagai anak dari penganut Penghayat Kepercayaan, ia mempunyai kisah tersendiri yang berbeda dengan teman-teman lainnya yang beragama ‘samawi’ (Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dll.)
Saat kelas tiga Sekolah dasar, Dewi mengisahkan, suatu ketika sepulang sekolah ia menangis tersedu di pelukan ibundanya. Kepada Ibunya ia menceritakan bahwa guru wali kelasnya menyuruh dia untuk masuk Islam. Tidak hanya itu Sang guru menilai bahwa kakeknyapun dulu seorang muslim. Namun kemudian menjadi murtad dan kafir. Bahkan menurut Dewi, iapun sempat disidang di ruang guru layaknya berbuat suatu tindakan kriminal pencurian. Para guru dengan gayanya masing-masing menjelaskan pandangan mereka terhadap keyakinan orang tuanya yang dituding murtad dan kafir itu. “Yang sering menjadi masalah bukan karena dipaksa masuk satu agama, tetapi yang menyakitkan (secara psikologis) adalah diperlakukan seperti ‘pesakitan’ dan ‘pembunuhan karakter’ orang tuanya di depan sang anak sejak usia dini” papar Dewi yang tak mampu menyembunyikan kekesalannya. “Padahal seorang anak kandunglah yang paling berhak menilai siapa orang tuanya”. Tegas Dewi meyakinkan.
Perkenalan Dewi dengan Okky kian intensif bermula dari aktivitasnya dalam kegiatan kesenian karawitan Sunda. Puncaknya setelah Soeharto tumbang pada Mei 1998, mulai rajin mendorong kalangan muda Penghayat di berbagai forum. Pada masa-masa inilah akhirnya Dewi dipertemukan kembali dengan Okky dalam berbagai kegiatan. Di antaranya mengadvokasi kalangan Penghayat dan konsolidasi masyarakat Adat. Menurut Dewi dari berbagai kegiatan itu akhirnya menyadarkan mereka bahwa; mereka di-‘takdir’-kan untuk bersama. “Resapan air ke air, minyak ke minyak”, ungkap Dewi mengutip tesis kimia politik menurut Tan Malaka tentang kedekatannya dengan Oky. Perbedaan keyakinan tak lagi menjadi penghalang bagi bersemainya cinta kasih keduanya.
Menerobos Tembok Pembatas
Delapan tahun kemudian, setelah merasa ada kecocokan di antara keduanya, mereka sepakat untuk menikah, meski beda agama. Kesadaran yang menyatukan mereka untuk memperjuangkan perkimpoiannya berlandaskan ‘sepengertian’ meski tidak se-‘sepengakuan’ (satu agama seperti anjuran negara, ed.). Sebagaimana kesadaran umum yang berkembang di masyarakat adat di Cigugur. Mereka menganalogikan pada substansi air yang bisa berbeda campuran dan rasa seperti; kopi, teh, bandrek dll. Namun yag diminum tetaplah substansinya yakni air itu sendiri, apapun sebutannya. Dalam bahasa Sunda disebut cai, dalam bahasa Jawa disebut banyu, orang Bali menyebutnya tirta. Namun prinsipnya adalah sama; yakni air yang dapat diminum untuk menghilangkan dahaga.
“Jadi mengapa mesti berkelahi memperebutkan mana yang lebih nikmat antara teh dan kopi. Atau bahkan seringkali berkelahi memperebutkan mana yang benar cai atau banyu” tanya Dewi mendikte.
Keputusan Okky dan Dewi untuk melangsungkan pernikahan tak terbendung lagi. Perbedaan keyakinan diantara keduanya tak lagi menjadi penghalang. Mereka memahami bahwa pernikahnnya merupakan hubungan antar manusia yang sama-sama menyakini adanya Tuhan Yang Tunggal. Yang membedakan mereka hanyalah cara mengekspresikan keyakinannya. Pada aras inilah menurut Dewi, tak sepatutnya, manakala warga negara telah memiliki kesepahaman dalam menghargai perbedaan, negara malah merusaknya dengan kebijakan yang tidak bijak. Seolah pernikahan beda agama tak akan pernah terjadi, dan tak boleh terjadi. Negara, menurut Dewi, semestinya hanya bertugas mencatatkan (secara administratif) segala peristiwa penting warga negaranya, tanpa harus mengakui atau mengesahkan suatu perkimpoian berdasarkan agama yang (di-)resmi-(kan) atau tidak. Okky-pun mengamini pendapat Dewi.
Perbedaan latar belakang kultur keduanya juga tidak menjadi penghalang. Dewi yang lahir dan besar dengan kultur Sunda-nya dan Okky dengan kultur Jawa-nya hanya dianggap kerikil tak berarti bagi keduanya. Begitupun latar Dewi yang tumbuh di lingkungan ningrat tak merasa canggung manakala mesti berhadapan dengan lelaki yang hobby berdemonstrasi itu. Meski demikian, mereka mengaku bahwa ‘tentangan’ yang oleh Dewi disebut bak kerikil, yang berasal dari kalangan warga masyarakat masih membayangi keduanya hingga malam ‘Ngeyeuk Sereuh’.
Mereka juga mengaku bahwa pilihan menikah beda agama memerlukan kesiapan batin yang luar biasa. Terutama untuk memahami via dolorosa (jalan salib yang berat). Apalagi mereka sepakat untuk mencatatkan pernikahannya secara adat, meski mereka tahu betul bahwa itu tak bakalan bisa diwujudkan oleh tangan penguasa. Keduanya tidak mau menempuh ‘jalan gampang’ yang lempang di depan mata. Misalnya dengan mencatatkan diri melalui jalur pemberkatan gereja, yang secara resmi telah mencatat pernikahan mereka. Pencatatan adat sengaja mereka perjuangkan. Menurut Oky, hal itu adalah bentuk dari “keyakinan untuk berseru-seru di pandang gurun”. Papar Okky sambil melirik Dewi yang duduk di sampingnya. “Justru karena sulit, maka upaya ini kami harapkan menjadi (semacam) ‘perlawanan dengan bunga’”. Lanjut Okky bermetafor mengutip penggalan pidato John F. Kennedy soal ekspedisi ke bulan, katanya “We Choose go to the Moon, Not because it is Easy !! But Because It’s HARD !!”
Menimpali pernyataan suaminya, Dewi tak mau kalah. Ia mengutip sebuah sajak dari Wijhi Thukul, sastrawan ‘miskin’ penerima Yap Thiam Hien Award tahun 2003, yang hingga kini tak jelas rimbanya.
Jika kami bunga,
Engkau adalah tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat
Kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan:
Engkau harus hancur!!
Okky dan Dewi mengistilahkan langkah pernikahan adat ini sebagai “bersampan diantara dua karang” meminjam salah satu judul buku Bung Hata tentang sosialisme Indonesia. Mereka juga mengatakan bahwa ini merupakan langkah kultural yang inovatif dengan harapan langkah ini banyak ditiru oleh pasangan beda agama yang menikah, terutama antara agama (yang di)resmi(kan) dan tidak (di)resmi(kan) di Jawa Barat. Memang mestinya mereka bisa menikah atas nama Katholik agar mudah di catatkan di KCS. Namun, hal ini tidak ditempuh oleh keduanya. Mereka mengatakan bahwa langkahnya itu sebagai upaya perlawanan terhadap kultur “diam di tindas” yang menimpa kasus-kasus pernikahan adat di Kuningan. Meminjam bahasa Dewi ,”upaya ini tampak seperti menyalakan obor sejenak dalam gulita”. Namun lanjut Dewi, “lebih baik menyalakan pelita daripada memaki maki dalam gelap”.
Okky sendiri, menurut pengakuannya, tidak mengalami kesulitan ketika akan melangsungkan pernikahan. Ia bahkan mendapatkan dispensasi (pengecualian) dari Keuskupan Agung Jakarta setelah di rekomendasi oleh Pastor dari Paroki Santo Stephanus Cilandak Jakarta selatan. Namun di luar institusi gereja banyak suara-suara yang mencibir Okky yang nota bene mantan ketua Mudika Paroki Santo Stephanus, tapi melakukan ‘perkimpoian campur’ (beda agama). “Kalo nggak campur bagaimana bisa kimpoi“ tukas Okky dengan kelakar khasnya. Terlepas dari cibiran itu, yang membahagiakan Okky dan Dewi adalah adanya beberapa kolega dekatnya yang justru mendukung niat baiknya tersebut.
Memang, diakui oleh Oky, mungkin muncul spekulasi apakah Dewi akan diKatholik-kan atau Okky yang akan dijadikan Penghayat. Bahkan sebelum pernikahan tersebut dilangsungkan, baik di lingkungan Katolik maupun Penghayat sempat beredar spekulasi tersebut. Jadi, masih menurut Okky, di lingkungan warga Katholik sendiri ada semacam sinisme oleh karena mantan ketua Mudika melakukan kimpoi campur dengan gadis dari ‘agama’ lain. Begitupun di kalangan Penghayat, karena Dewi adalah putri dari Pangeran Djatikusumah yang merupakan tokoh Penghayat Kepercayaan di Jawa barat.


lostcg memberi reputasi
1
2.4K
11
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan