- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bener gak sih kalo Donald Trump itu Populis?


TS
beelzebu888
Bener gak sih kalo Donald Trump itu Populis?
Ada istilah politik yg sedikit bikin ane rancu. Soalnya sering banget denger, tapi kok maknanya ambigu
Nah.... istilah yg ane maksud tuh "populisme"
Mungkin, ane yg awam ini bisa tercerahkan, kebetulan ada artikel yg bahas ini
POPULISME DONALD TRUMP DAN PERTANYAAN TENTANG KESADARAN KOLEKTIF



Nah.... istilah yg ane maksud tuh "populisme"
Mungkin, ane yg awam ini bisa tercerahkan, kebetulan ada artikel yg bahas ini
POPULISME DONALD TRUMP DAN PERTANYAAN TENTANG KESADARAN KOLEKTIF

Quote:
Trumpism dan Suara yang tak Didengar
Sebagai generasi yang kerap disebut milenial – golongan demografi yang menjadi sasaran untuk mendulang suara seorang calon di pemilu, moral kita seperti terusik mendengar segala pemberitaan tentang dirinya. Janji membangun tembok raksasa untuk menghalau imigran gelap Meksiko, misalnya, meruapkan aroma fasisme yang chauvinistis. Orang-orang Hispanik juga menjadi bulan-bulanan karena Trump tanpa tedeng aling-aling menyebut mereka semua pemerkosa. Lalu ada perihal kebenciannya kepada umat muslim, atau bagaimana rencananya memulangkan imigran-imigran ilegal ke negeri mereka masing-masing. Belum lagi kegemarannya meracau di media sosial favoritnya, Twitter. Ia dengan enteng mencebik Obama dan Nyonya Clinton serta kompetitor separtai, terutama Jeb Bush dan Ted Cruz – membuat kita tersadar bahwa Pilpres 2014 lalu tak ada apa-apanya dibandingkan Pilpres AS 2016. Jika Trump kita ibaratkan sebagai supermarket, maka supermarket Trump adalah supermarket kebencian di mana nafsu membenci Anda diakomodasi dengan sukacita. Kebencian tidak lagi sebatas bara dalam sekam. Tetapi, hingga sebelum pemungutan suara berlangsung, kita hanya menyepakati status Trump sebagai lelucon. Kita menyikapi rentetan kedegilan Trump secara enteng, yaitu dengan menertawakannya. Kita di sini adalah saya, Anda, dan rakyat AS.
Sebagai generasi yang kerap disebut milenial – golongan demografi yang menjadi sasaran untuk mendulang suara seorang calon di pemilu, moral kita seperti terusik mendengar segala pemberitaan tentang dirinya. Janji membangun tembok raksasa untuk menghalau imigran gelap Meksiko, misalnya, meruapkan aroma fasisme yang chauvinistis. Orang-orang Hispanik juga menjadi bulan-bulanan karena Trump tanpa tedeng aling-aling menyebut mereka semua pemerkosa. Lalu ada perihal kebenciannya kepada umat muslim, atau bagaimana rencananya memulangkan imigran-imigran ilegal ke negeri mereka masing-masing. Belum lagi kegemarannya meracau di media sosial favoritnya, Twitter. Ia dengan enteng mencebik Obama dan Nyonya Clinton serta kompetitor separtai, terutama Jeb Bush dan Ted Cruz – membuat kita tersadar bahwa Pilpres 2014 lalu tak ada apa-apanya dibandingkan Pilpres AS 2016. Jika Trump kita ibaratkan sebagai supermarket, maka supermarket Trump adalah supermarket kebencian di mana nafsu membenci Anda diakomodasi dengan sukacita. Kebencian tidak lagi sebatas bara dalam sekam. Tetapi, hingga sebelum pemungutan suara berlangsung, kita hanya menyepakati status Trump sebagai lelucon. Kita menyikapi rentetan kedegilan Trump secara enteng, yaitu dengan menertawakannya. Kita di sini adalah saya, Anda, dan rakyat AS.
Quote:
Lalu ia menghentak. Trump terpilih secara resmi sebagai presiden Amerika Serikat ke-45 pada 8 November 2016 di Pilpres yang juga dijuluki “the ugliest campaign” ini. Bagaimana bisa? Belum lagi jika kita perhitungkan bahwa sepanjang pemungutan suara, raihan suaranya selalu lebih tinggi ketimbang sang pesaing. Musnah sudah segala isu-isu dan retorika politik ‘progresif’ yang dibawa Clinton sepanjang kampanye. Ambruk pula semua survei atau polling yang menetapkan Clinton sebagai calon kuat jawara. Ditambah kecurigaan para pengamat perihal kedekatan Trump dengan Kremlin, tak sedikit yang kemudian pesimis dan menyebut negara mereka tinggal selangkah lagi menuju distopia. Ada pula komentator yang menyadari kegagalan mereka dalam menyikapi gelora Trumpism seperti kolumnis Rolling Stone Matt Taibbi,
“Most of us smarty-pants analysts never thought Trump could win because we saw his run as a half-baked white-supremacist movement fueled by last-gasp, racist frustrations of America’s shrinking silent majority.” (cetak tebal dari saya).
America’s shrinking majority, golongan mayoritas AS yang menyusut. Seperti analis, komentator, dan pengamat lain, Taibbi mengakui Trumpism sebagai gejala sosial. Bahwa dengan kedegilan dan kegilaannya, Trump memang berpotensi membuka kotak pandora: aspirasi kalangan konservatif Amerika Serikat yang selama ini ditekan menjadi bebas untuk diekspresikan di ruang publik. Faktor-faktor yang mengendap di kotak pandora itu antara lain,
Kebijakan-kebijakan progresif selama kepemimpinan Obama yang mengecewakan mereka. Contoh paling utama adalah pelegalan pernikahan sesama jenis di seluruh negara bagian.
Kecemburuan sosioekonomi terhadap kalangan minoritas, utamanya ras, seperti terhadap masyarakat hispanik dan kulit hitam. Juga berdasarkan agama, terutama kepada warga muslim AS.
Maka jangan kaget bila menurut penelitian yang dilakukan lembaga riset Gallup, mayoritas suporter Trump adalah kelompok kulit putih yang “tertindas” secara ekonomi. Mereka adalah blue-collar workers yang tidak memiliki gelar sarjana. Namun politik bukan soal perkara ekonomi belaka. Dalam politik elektoral, meski isu ekonomi menjadi sajian utama, isu-isu lain – yang bahkan seringkali dianggap tidak penting – turut menentukan kemenangan seorang calon. Trump acapkali menyombongkan riwayat kesuksesannya sebagai milyarder untuk meyakinkan pemilih. Ini pula yang membuatnya acap jumawa di hadapan lawan-lawannya terkait perekonomian. Namun Trumpism bergelora lebih banyak oleh isu-isu nonekonomi. Sentimen terhadap “the establishment” di kalangan pendukung Trump memang kuat, akan tetapi itu didominasi oleh hal-hal yang terkait perasaan sehingga hal yang substansial mengendap tak dijamah publik.
Riset Gallup tadi juga menegaskan argumen bahwa Trumpism lebih dari sekadar gejala sosial prematur dan bersifat spontan. Lebih lanjut, ditulis bahwa ‘suporter Trump mungkin saja tidak mengalami tekanan ekonomi yang akut, tetapi mereka tinggal di tempat-tempat yang kesempatan ekonominya kurang terjamin bagi generasi selanjutnya.’ Profil demografi responden adalah mereka – pekerja kerah biru – yang terimbas dari peralihan besar-besaran struktur ketenagakerjaan AS dari industri atau manufaktur ke sektor jasa. Mereka pekerja kerah biru, namun bukan di industri manufaktur yang menyediakan jaminan ekonomi – lewat rendahnya kualifikasi pendidikan pekerja dan keberadaan serikat pekerja – melainkan bekerja di sektor konstruksi, reparasi, serta transportasi.
“Most of us smarty-pants analysts never thought Trump could win because we saw his run as a half-baked white-supremacist movement fueled by last-gasp, racist frustrations of America’s shrinking silent majority.” (cetak tebal dari saya).
America’s shrinking majority, golongan mayoritas AS yang menyusut. Seperti analis, komentator, dan pengamat lain, Taibbi mengakui Trumpism sebagai gejala sosial. Bahwa dengan kedegilan dan kegilaannya, Trump memang berpotensi membuka kotak pandora: aspirasi kalangan konservatif Amerika Serikat yang selama ini ditekan menjadi bebas untuk diekspresikan di ruang publik. Faktor-faktor yang mengendap di kotak pandora itu antara lain,
Kebijakan-kebijakan progresif selama kepemimpinan Obama yang mengecewakan mereka. Contoh paling utama adalah pelegalan pernikahan sesama jenis di seluruh negara bagian.
Kecemburuan sosioekonomi terhadap kalangan minoritas, utamanya ras, seperti terhadap masyarakat hispanik dan kulit hitam. Juga berdasarkan agama, terutama kepada warga muslim AS.
Maka jangan kaget bila menurut penelitian yang dilakukan lembaga riset Gallup, mayoritas suporter Trump adalah kelompok kulit putih yang “tertindas” secara ekonomi. Mereka adalah blue-collar workers yang tidak memiliki gelar sarjana. Namun politik bukan soal perkara ekonomi belaka. Dalam politik elektoral, meski isu ekonomi menjadi sajian utama, isu-isu lain – yang bahkan seringkali dianggap tidak penting – turut menentukan kemenangan seorang calon. Trump acapkali menyombongkan riwayat kesuksesannya sebagai milyarder untuk meyakinkan pemilih. Ini pula yang membuatnya acap jumawa di hadapan lawan-lawannya terkait perekonomian. Namun Trumpism bergelora lebih banyak oleh isu-isu nonekonomi. Sentimen terhadap “the establishment” di kalangan pendukung Trump memang kuat, akan tetapi itu didominasi oleh hal-hal yang terkait perasaan sehingga hal yang substansial mengendap tak dijamah publik.
Riset Gallup tadi juga menegaskan argumen bahwa Trumpism lebih dari sekadar gejala sosial prematur dan bersifat spontan. Lebih lanjut, ditulis bahwa ‘suporter Trump mungkin saja tidak mengalami tekanan ekonomi yang akut, tetapi mereka tinggal di tempat-tempat yang kesempatan ekonominya kurang terjamin bagi generasi selanjutnya.’ Profil demografi responden adalah mereka – pekerja kerah biru – yang terimbas dari peralihan besar-besaran struktur ketenagakerjaan AS dari industri atau manufaktur ke sektor jasa. Mereka pekerja kerah biru, namun bukan di industri manufaktur yang menyediakan jaminan ekonomi – lewat rendahnya kualifikasi pendidikan pekerja dan keberadaan serikat pekerja – melainkan bekerja di sektor konstruksi, reparasi, serta transportasi.
Quote:



0
779
Kutip
2
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan