Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Tak ada alasan untuk melakukan intimidasi
Tak ada alasan untuk melakukan intimidasi
Setiap warga negara berhak mendapatkan kepastian hukum
Apakah kita sedang mengalami deja vu?

Rabu 23 Desember 2015, serombongan anggota Front Pembela Islam (FPI) mendatangi mal-mal di Surabaya. Mereka mengimbau pengelola mal agar tidak memaksakan karyawannya menggunakan atribut Natal. Dasarnya, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Tahun ini, hari Minggu 18 Desember, hal serupa terjadi juga. Rombongan FPI mendatangi mal-mal di Surabaya. Mereka menyebut tindakannya sebagai kegiatan sosialisasi fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016.

Empat hari sebelumnya MUI memang mengeluarkan fatwa bernomor 56 tentang hukum menggunakan atribut non-muslim. Fatwa tersebut menyatakan bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim dan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

Seperti tahun lalu, aksi FPI tahun ini pun dikawal oleh polisi. Bedanya dengan tahun lalu, pada tahun ini ada sejumlah peristiwa lain terjadi sebelumnya.

Di media sosial beredar kabar sejumlah anggota FPI Bekasi mendatangi sebuah dealer mobil. Mereka meminta pengelola dealer tersebut untuk membuat surat pernyataan tidak akan memaksa karyawannya yang beragama Islam untuk menggunakan atribut Natal. Secara kebetulan, pada hari yang sama, 14 Desember 2016, MUI mengeluarkan fatwa bernomor 56 tentang hukum menggunakan atribut non-muslim itu.

Sehari kemudian Kapolres Bekasi, Kombes Umar Surya Fana, membuat surat edaran bernomor B/4240/XII/2016. Surat edaran itu mengimbau para pemimpin perusahaan di wilayah Kota Bekasi agar tidak memaksa karyawan muslim untuk menggunakan atribut non-muslim. Salah satu rujukan surat edaran itu adalah fatwa MUI nomor 56 tersebut.

Hal serupa juga terjadi di Polres Kulonprogo. Berbeda dengan Polres Bekasi, Kapolres Kulonprogo baru melakukannya dalam bentuk lisan dan koordinasi dengan polsek-polsek lewat aplikasi WhatsApp.

Rentetan kejadian ini membuat geram masyarakat. Di media sosial, tampak sekali kemarahan netizen atas kejadian-kejadian itu.

Meski disebut-sebut sebagai kegiatan sosialisasi, masyarakat menganggap aksi FPI di Surabaya sebagai aksi yang seharusnya dicegah. Masyarakat menganggap kedatangan mereka secara berbondong-bondong sambil meminta pengelola mal untuk menandatangani surat pernyataan itu sebagai sebuah tindakan intimidasi. Lagi pula FPI bukanlah kepanjangan tangan MUI, yang bertugas untuk mensosialisasikan fatwa.

Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, polisi mengawal tindakan FPI tersebut. Polisi seolah merestui tindakan yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

Pada kasus surat edaran Kapolres Bekasi Kota, polisi pun seperti kehilangan orientasi hukum. Agak susah dimengerti bahwa, sebagai penegak hukum, polisi menjadikan fatwa MUI sebagai rujukan. Fatwa MUI bukanlah bagian dari hukum positif yang bisa dijadikan rujukan dalam penegakan hukum.

Netizen benar-benar gerah dengan peristiwa-peritiwa tersebut. Netizen memajang tagar #JokowiTakutFPI di media sosial. Tagar itu menjadi topik tren pada 19 Desember 2016.

Apakah Presiden Joko Widodo merespons kegeraman masyarakat ini? Ya. "Itu, Pak Kapolri kan lagi dipanggil," kata Menteri Pramono Anung pada hari yang sama.

Di tempat berbeda Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan bahwa fatwa MUI itu bukan hukum positif sehingga tidak bisa dipakai sebagai dasar suatu tindakan hukum. Oleh karena itu Kapolri menegur Kapolres Bekasi Kota dan Kapolres Kulonprogo. "Saya suruh cabut surat edaran itu," ujar Tito.

Jenderal Tito tidak berhenti di situ. Ia memerintahkan jajarannya untuk menangkap dan menjalankan proses hukum kepada siapapun yang melakukan sweeping terkait fatwa MUI tersebut. "Tidak boleh ada ormas yang bertindak sendiri sehingga mengganggu hak azasi masyarakat atas nama menegakkan fatwa MUI," kata Tito seperti dikutip Tempo.co.

Langkah hebat Tito perihal fatwa MUI No. 56/2016 itu adalah menemui Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, pada Selasa (20/12/2016) sore. Pertemuan kedua tokoh itu menghasilkan pernyataan dan penjelasan yang lugas dan jernih, bukan saja perihal penggunaan atribut agama, namun juga perihal kedudukan fatwa MUI bagi warga negara.

Sehabis pertemuan itu, di depan Ketua MUI, Jenderal Tito menegaskan akan membubarkan ormas yang melakukan sosialisasi fatwa dengan kekerasan. Tito mengingatkan, lingkup fatwa MUI tersebut adalah seputar larangan memaksa karyawan muslim menggunakan atribut non-muslim. Jika terjadi pemaksaan, karyawan bisa melaporkannya kepada polisi.

Kita bisa menangkap dengan jernih pesan Kapolri itu: fatwa MUI itu tak bisa dijadikan alasan oleh siapapun untuk melakukan intimidasi kepada pihak lain.

Dalam kesempatan yang sama KH Ma'ruf Amin mempertegas, "Bagi mereka yang menggunakan atribut karena terpaksa itu menjadi tanggung jawab pribadinya. Kalau bahasa agamanya, dia menanggung dosanya sendiri. Karena sudah ada fatwa yang mengatur."

Pesan Ketua MUI itu pun jernih: fatwa MUI lebih terkait dengan tanggung jawab pribadi masing-masing atas keyakinannya.

Pernyataan dan penjelasan ini mungkin bisa lebih menentramkan kita. Lebih dari itu kita akan selalu menagih polisi untuk menjalankan penegakan hukum dan ketertiban secara lugas dan tegas. Tanpa sungkan. Apalagi takut-takut.

Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan kepastian hukum?
Tak ada alasan untuk melakukan intimidasi


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...kan-intimidasi

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Tak ada alasan untuk melakukan intimidasi Melawan kabar bohong dan informasi yang menyesatkan

- Tak ada alasan untuk melakukan intimidasi Berharap Alutsista baru benar-benar tersedia tahun depan

- Tak ada alasan untuk melakukan intimidasi Surat dari Jatibaru: Situs mini Pilkada DKI Jakarta

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
9.1K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan