- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
KUPU-KUPU SETENGAH SAYAP


TS
savanaisblue
KUPU-KUPU SETENGAH SAYAP
Quote:
Hallo agan aganwati yang baik hati. 
Setelah 5 tahun saya menjadi silent reader, akhirnya saya tergerak juga untuk menuliskan sesuatu di sini. Saya bukan tipe orang yang bisa bercerita tentang hal yang paling dalam yang saya rasakan dan terjadi di kehidupan saya. Tapi, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memberanikan diri untuk bercerita di sini. Mungkin agan/aganwati bisa mengganggap kalau saya sedang mencurahkan isi hati..
Terima kasih juga untuk agan/aganwati yang sudah meluangkan waktunya...

Setelah 5 tahun saya menjadi silent reader, akhirnya saya tergerak juga untuk menuliskan sesuatu di sini. Saya bukan tipe orang yang bisa bercerita tentang hal yang paling dalam yang saya rasakan dan terjadi di kehidupan saya. Tapi, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memberanikan diri untuk bercerita di sini. Mungkin agan/aganwati bisa mengganggap kalau saya sedang mencurahkan isi hati..

Terima kasih juga untuk agan/aganwati yang sudah meluangkan waktunya...

KUPU-KUPU SETENGAH SAYAP
10 tahun cerita ini,
Tersimpan dengan rapi, tanpa diketahui.
Ketika kesetiaan, persahabatan, dan cinta diuji.
Mungkin memang sudah waktunya,
Ketika hati memilih untuk berbicara..
.Tersimpan dengan rapi, tanpa diketahui.
Ketika kesetiaan, persahabatan, dan cinta diuji.
Mungkin memang sudah waktunya,
Ketika hati memilih untuk berbicara..
PART 1
Quote:
Januari 2016
"ddrrrt ddrrrt"
Smartphone-ku bergetar ditengah obrolan dengan teman-temanku di kantor. Notifikasi di media sosialku muncul secara otomatis.
Alan: "Dek, lagi dimana?"
Sejenak, aku terkejut ketika mengetahui siapa yang menuliskan pesan ini untukku. Dia adalah teman yang tumbuh bersama. Usia kami terpaut dua tahun. Kami hidup bertetangga sejak jaman kami masih belum malu untuk mandi bersama.Rumah kami pun hanya selisih satu rumah saja.
Di kompleks kami ada 5 anak yang hampir seumuran. 4 laki-laki dan aku satu-satunya perempuan. Aku, Ega, Afif, Adit, dan Alan. Karena rumah kami yang saling berdekatan, kami bak lima sekawan. Tidak usah ditanya lagi, menonton kartun di minggu pagi (by the way, ini adalah motivasi generasi 90an mau bangun pagi di hari Minggu), bermain dan bersepeda hingga tak ada matahari, pergi ke surau untuk mengaji, comot makananan di sana dan di sini, berebut mainan yang itu atau ini, hingga berakhir dengan tangis penuh drama yang bikin geli, ahhh... itu sudah biasa. Ketika kami sekolah dasar, kami mengenyam pendidikan di sekolah yang sama, mau tidak mau, kami pun berangkat dan pulang bersama juga. Hidup dengan mereka aku diajari bagaimana menjadi perempuan yang perkasa. Haha...
Seiring dengan berjalannya waktu, kami tumbuh dan mulai remaja. Kami menjadi tahu akan prioritas kami. Beruntungnya, kami berada di sekolah-sekolah unggulan di kota. Berada di sekolah-sekolah itu mengharuskan kami melupakan sejenak kesenangan kami untuk bermain-main, karena yang ada dipikiran kami saat itu hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Mungkin ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan kami yang sebagian besar adalah keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan.
Intensitas kami bertemu pun semakin menurun. Hanya pertemuan sesekali yang kami lakukan. Itupun lebih sering aku dan Alan yang bertemu. Pertemuan ini semakin jarang terjadi, ketika mereka semua mulai berkuliah. Alan, Afif, dan Ega berkuliah di salah satu sekolah tinggi ikatan dinas di Jakarta yang konon terjamin atas kehidupan mapannya. Sedangkan, Adit berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di Jogja. Setahun kemudian baru aku menyusul Adit. Praktis! Semakin jaranglah kita bertemu. Kesibukan di perkuliahan dan kegiatan di luar membuat aku dan Adit yang berada di satu kota cukup sulit untuk saling menyapa.
Aku tersadar dari lamunanku ketika temanku, Dean, menepuk bahuku dan berkata, “Wanna get a coffee?”, aku menjawabnya dengan tersenyum, “Maybe later, thanks”. Sadar teman-temanku telah kembali ke meja mereka masing-masing, akupun segera membalas pesan yang Alan kirim dengan antusias.
Aku: “Hai! It has been sooo long... Apa kabar? Di jogla lah. Dimana lagi."
Alan: "Baik. Aku minggu depan ke Jogja nih"
Aku: "Really? Can't wait to see your baby boy.. Pingin aku cubit & aku makan! Hahahaha"
Alan: "Minta nomor hp.mu dong Sav"
Aku: "0856******"
Yap! Dua tahun yang lalu Alan menikah. Dua tahun itu juga, aku dan Alan tidak pernah saling sapa. Kami hanya saling follow di salah satu akun medsos kekinian yang sekarang lebih banyak digunakan untuk pamer dagangan daripada pamer kemesraan. Mungkin lucu, tapi itulah yang dinamakan kenyataan. Dulu kami begitu dekat, bak perekat. Tapi sekali lagi itu dulu. Waktu berubah. Teman dan kehidupan pun demikian. Jadi, menurutku tidak aneh jika ia kemudian menanyakan nomor hp-ku. Aku cukup maklum karenanya. Terakhir kali aku menyapa ya di kolom comment miliknya, ketika aku mengucapkan selamat dan beberapa kalimat untaian doa atas kelahiran bayi laki-lakinya. Sejak itu, aku hanya mengetahui kabarnya melalui dunia maya.
Hari ini, ia menghubungiku kembali. Sebagai teman dekat, aku pun berniat untuk menyambutnya. Sambil berjalan menuju coffee maker di sudut ruanganku, bayangan aku bertemu dengan keluarga kecilnya terlintas di benakku, dan itu membuatku tersenyum kecil.
"ddrrrt ddrrrt"
Smartphone-ku bergetar ditengah obrolan dengan teman-temanku di kantor. Notifikasi di media sosialku muncul secara otomatis.
Alan: "Dek, lagi dimana?"
Sejenak, aku terkejut ketika mengetahui siapa yang menuliskan pesan ini untukku. Dia adalah teman yang tumbuh bersama. Usia kami terpaut dua tahun. Kami hidup bertetangga sejak jaman kami masih belum malu untuk mandi bersama.Rumah kami pun hanya selisih satu rumah saja.
Di kompleks kami ada 5 anak yang hampir seumuran. 4 laki-laki dan aku satu-satunya perempuan. Aku, Ega, Afif, Adit, dan Alan. Karena rumah kami yang saling berdekatan, kami bak lima sekawan. Tidak usah ditanya lagi, menonton kartun di minggu pagi (by the way, ini adalah motivasi generasi 90an mau bangun pagi di hari Minggu), bermain dan bersepeda hingga tak ada matahari, pergi ke surau untuk mengaji, comot makananan di sana dan di sini, berebut mainan yang itu atau ini, hingga berakhir dengan tangis penuh drama yang bikin geli, ahhh... itu sudah biasa. Ketika kami sekolah dasar, kami mengenyam pendidikan di sekolah yang sama, mau tidak mau, kami pun berangkat dan pulang bersama juga. Hidup dengan mereka aku diajari bagaimana menjadi perempuan yang perkasa. Haha...
Seiring dengan berjalannya waktu, kami tumbuh dan mulai remaja. Kami menjadi tahu akan prioritas kami. Beruntungnya, kami berada di sekolah-sekolah unggulan di kota. Berada di sekolah-sekolah itu mengharuskan kami melupakan sejenak kesenangan kami untuk bermain-main, karena yang ada dipikiran kami saat itu hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Mungkin ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan kami yang sebagian besar adalah keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan.
Intensitas kami bertemu pun semakin menurun. Hanya pertemuan sesekali yang kami lakukan. Itupun lebih sering aku dan Alan yang bertemu. Pertemuan ini semakin jarang terjadi, ketika mereka semua mulai berkuliah. Alan, Afif, dan Ega berkuliah di salah satu sekolah tinggi ikatan dinas di Jakarta yang konon terjamin atas kehidupan mapannya. Sedangkan, Adit berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di Jogja. Setahun kemudian baru aku menyusul Adit. Praktis! Semakin jaranglah kita bertemu. Kesibukan di perkuliahan dan kegiatan di luar membuat aku dan Adit yang berada di satu kota cukup sulit untuk saling menyapa.
Aku tersadar dari lamunanku ketika temanku, Dean, menepuk bahuku dan berkata, “Wanna get a coffee?”, aku menjawabnya dengan tersenyum, “Maybe later, thanks”. Sadar teman-temanku telah kembali ke meja mereka masing-masing, akupun segera membalas pesan yang Alan kirim dengan antusias.
Aku: “Hai! It has been sooo long... Apa kabar? Di jogla lah. Dimana lagi."
Alan: "Baik. Aku minggu depan ke Jogja nih"
Aku: "Really? Can't wait to see your baby boy.. Pingin aku cubit & aku makan! Hahahaha"
Alan: "Minta nomor hp.mu dong Sav"
Aku: "0856******"
Yap! Dua tahun yang lalu Alan menikah. Dua tahun itu juga, aku dan Alan tidak pernah saling sapa. Kami hanya saling follow di salah satu akun medsos kekinian yang sekarang lebih banyak digunakan untuk pamer dagangan daripada pamer kemesraan. Mungkin lucu, tapi itulah yang dinamakan kenyataan. Dulu kami begitu dekat, bak perekat. Tapi sekali lagi itu dulu. Waktu berubah. Teman dan kehidupan pun demikian. Jadi, menurutku tidak aneh jika ia kemudian menanyakan nomor hp-ku. Aku cukup maklum karenanya. Terakhir kali aku menyapa ya di kolom comment miliknya, ketika aku mengucapkan selamat dan beberapa kalimat untaian doa atas kelahiran bayi laki-lakinya. Sejak itu, aku hanya mengetahui kabarnya melalui dunia maya.
Hari ini, ia menghubungiku kembali. Sebagai teman dekat, aku pun berniat untuk menyambutnya. Sambil berjalan menuju coffee maker di sudut ruanganku, bayangan aku bertemu dengan keluarga kecilnya terlintas di benakku, dan itu membuatku tersenyum kecil.
"Sepertinya, kamu sudah sangat bahagia"
***
Diubah oleh savanaisblue 08-12-2016 22:16


anasabila memberi reputasi
1
1.6K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan