Kaskus

Story

kakhadiAvatar border
TS
kakhadi
DUKA ADITYA
ANGINberhembus lemah, membelai daun-daun mungil kembang-kembang taman belakang rumah. Angin-angin seperti membawa nyanyian sepi dari lembah desa sebelah. Syair nyanyian itu seolah mengolok-olok. Mengolok-mengolok aku yang sepi. Diundangnya gelap menyedihkan. Awan-awan kelabu. Berubah sudah, cerah telah menjadi layu. Cuaca tak lagi ceriwis, tak lagi tegar. Sama seperti aku, saat ini.

Aku duduk di ayunan belakang rumah. Memandangi langit yang selalu kukagumi karena birunya yang manawan hati. Tapi, mengapa sore ini langit menjadi gelap, padahal langit yang kukenal adalah langit yang warnanya cerah, yang bisa mengubah galau menjadi semangat karena memandanginya. Ia seperti mengimitasi perasaanku sore ini, perasaan gundah gulana tak tahu arah.

Tercipta sungai kecil di pipiku. Setetes demi setetes air mataku tumpah. Di saat yang bersamaan air langit pun turun. Tebalnya awan tak cukup kuat untuk membendungnya. Aku belum beranjak sedikit pun dan hujan kian menderas. Tubuhku kuyup, sekuyup hatiku.

***

Setelah mandi aku istirahat di kamar. Namun, sesak ini tak juga reda. Rasanya bak mencekik dinding-dinding hati.

“Ya Tuhan, cobaan macam apa ini … ”

Aku baru saja mereguk indahnya hidup ini, baru seujung kuku. Aku rasanya tidak sanggup.

“Baru saja kau hadirkan bidadarimu itu untukku, Tuhan, mengapa sudah kau ambil lagi?”

“Astagfirullah … astagfirullah … ”

Usia pernikahanku baru satu minggu, bahkan aura pengantin baru belum hilang dari rumah ini. Semua terjadi seperti begitu saja. Hidup ini sangat tidak bisa ditebak, baru kemarin aku merasakan kebahagian yang luar biasa. Dan saat ini aku merasakan kesedihan atau bahkan kefrustasian.

“Astagfirullahaladzim … Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un … “

Aku terisak dalam kesendirian, dalam kesepian. Suara hujan di luar memenuhi sepenjuru rumahku, menutupi erangan keputusasaanku. Secara perlahan irama hujan membawaku kepada kenangan masa lalu. Aku terbayang kala aku ta’aruf-an dengannya, kala aku menonton bioskop bersama kakaknya dan adikku, kala aku melamarnya dengan wajah yang pucat pasi, kala aku mempersuntingnya dengan bibir yang bergetar. Aku rindu! Aku rindu semua kenanganku itu.

“Dian … secepat ini kau pergi … ”

Aku memandangi cincin perak di jari manisku. Kukecup. Kuresapi. Air mataku tak tertahankan. Sedih ini menyesakkan sekali. Paru-paruku bahkan seperti tak dapat berfungsi. Kepada siapa aku hendak berbagi kesedihan ini, bagaimana aku meredakannya.

***

Hari terus berlalu. Kehidupanku berjalan dengan tersepoh-sepoh. Kukuatkan otot kaki untuk berangkat kerja, meski pikiran berlari ke mana-mana. Sudah empat bulan istriku pergi tapi aku masih dirundung kesedihan. Ini kemelut terhebat sepanjang hidupku. Makanku selalu tak habis, tidur selalu larut, kerjaan carut-marut. Aku tak terkendali lagi, hidupku seolah sirna. Matahariku telah pergi, bagaimana bisa aku hidup. Kalau bisa, aku ingin pergi juga bersama istriku tercinta. Cita-citaku adalah menikah muda dan sekali seumur hidup. Hanya itu, sederhana sekali. Seperti apa yang diajarkan nabiku, Muhammad SAW. Tapi musibah ini melenyapkan segalanya.

Setiap hari aku selalu pergi ke makam istriku. Aku bercerita, aku berkeluh kesah, aku membawakannya air agar dia tidak kepanasan di bawah sana. Aku cuma ingin dia. Cintaku hanya untuk Dian seorang. Semua doa kupanjatkan untuknya agar ia diberikan tempat yang indah di sana.

Sore ini aku datang kembali ke makamnya. Kusempatkan membeli mawar merah untuknya. Harum sekali. Aku datang dengan bersemangat seperti pria yang ingin menemui pacarnya. Duhai, Dian, kaulah cinta sejatiku.

“Assalamualaikum bidadariku … ” sapaku setiba di makamnya.

Kuletakkan setangkai mawar merah hati itu di kening makamnya. Kuusap-usap makamnya yang sudah ditumbuhi rumput-rumput Gajah Mini.

“Apa kabar, Sayang?” tanyaku dengan senyum dipaksakan. “Apa kabar dirimu di sana?” Suaraku tercekat, seolah susah sekali mengucapkan kata per kata.

Aku bercerita kepadanya tentang kemarin yang bangun kesiangan karena kerja lembur. Aku bangun sampai pukul setengah tujuh pagi, bahkan shalat subuh pun tertinggal. Aku bercerita kepadanya kalau aku berangkat ke kantor dengan pakaian yang tidak disetrika, tidak wangi, lusuh sekali.

“Dian, sampai kapan pun Mas akan mencintaimu … Bahkan sampai Mas mati!”

Hari sudah gelap. Kulihat jam ditanganku sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga menit. Aku pulang. Kuberikan salam perpisahan kepadanya, istri dunia dan akhirat.

“Mas pulang dulu, ya, Sayang… Mas janji, besok pasti ke sini lagi.” kukecup bibir nisannya.

Sesampai di rumah aku melihat ada ayah dan ibuku duduk di teras. Di sebelah mereka berdiri dua koper berukuran sedang. Paras mereka tampak lelah.

“Eh, ibu, bapak, kok ke sini engga ngabarin Ditya lagi?” tanyaku heran.

“Emangnya engga boleh Ibu sama Bapak datang ke sini?”

“Eh, bukan gitu maksud Ditya Bu. Yaudah ayo masuk, Bu, Pak. Ayo istirahat.” ajakku seraya mengangkat dua koper mereka.

***

Selesai makan malam kutemui mereka yang sedang istirahat sambil menonton televisi. Kupandagi wajah-wajah mereka. Tampak sendu sekali, sudah sangat tua. Usia bapak sudah 70 tahun dan ibu 67 tahun.

“Nonton apa, Bu?” Kusapa mereka tanda ikut nimbrung.

“Ini, biasa, dangdut. Cuma ini kesukaan ibu.”

Aku mencoba membuka Facebook-ku, melihat berita teman-teman. Hanya sekadar untuk bertegur sapa atau untuk mengetahui kabar mereka saja.

“Ditya, anakku, sebenarnya kami jauh-jauh datang ke sini ada yang ingin kami sampaikan …”

Aku bingung. Perihal apa yang ingin ibu bicarakan. “Soal apa, Bu, Pak?”

“Pak, ngomong, Pak!”

“Aditya, kami tahu kamu sudah besar. Sudah berusia 23 tahun. Bukannya Bapak dan Ibu ingin ikut campur urusanmu tapi kamu harus bangkit!”

“Maksudnya? Bangkit apa, Pak?”

“Kamu harus menikah lagi! Kamu masih muda, kamu punya masa depan yang cerah!”

“Apa? Menikah?”

“Ditya sudah menikah, Pak, Bu …”

“Untuk apa menikah dua kali? Prinsipku adalah menikah sekali seumur hidup! Titik!” Lanjutku sedikit mengeras.

“Begini, Sayang. Kamu harus ada yang menemani, kamu harus ada yang mengurusi.” Seloroh ibu menimpali.

“Ditya bisa mengurus hidup Ditya sendiri, Bu. Ditya santai-santai saja dengan hidup Ditya yang seperti ini. Ditya bahagia, kok.”

Aku tidak habis pikir, mengapa mereka sampai hati menyuruhku untuk menikah lagi. Padahal, mereka tahu betul kalau aku sangat mencintai istriku, Dian.

“Ditya, kamu sudah ditinggal istrimu meninggal cukup lama. Sebagai umatnya Muhammad kita sepatutnya mengikuti sunahnya. Dan menikah adalah salah satu sunah yang sangat dianjurkan olehnya. Barang siapa yang tidak menyukai sunahku maka ia bukan bagian dari umatku! Ingat engga hadits itu?”

“Tidak baik seorang laki-laki berlama-lama hidup sendiri, nanti jadi fitnah!”

Entahlah. Aku bersicepat masuk ke kamarku. Perasaanku bergejolak hebat. Aku ingin mantap dengan prinsipku: MENIKAH SEKALI SEUMUR HIDUP! Tapi, ini adalah permintaan orangtuaku. Terlebih lagi ibu, ibunda tercinta. Durhakalah aku jikalau mauku bukanlah maunya, kebahagiaanku bukanlah kebahagiaannya.

Lagi-lagi air mataku turun. Aku teringat istriku, Dian. Aku mengatakan kepadanya kalau ia adalah cinta sejatiku, bagaimana mungkin aku harus mengkhianatinya dengan menikah lagi.

“Dian … ” seruku memanggilnya dalam hati terdalam.

***

Pagi-pagi sekali aku datang ke makam Dian. Aku ingin meminta maaf kepadanya karena keputusanku ini. Setelah semalam melakukan shalat Istikharah aku seperti mantap dengan keputusanku.

“Sayang, maaf Mas datang pagi-pagi sekali.”

“Sebelumnya, Mas ingin minta maaf padamu. Bukan maksud Mas untuk mengkhianatimu, Sayang, bukan. Mas tidak mungkin menolak permintaan kedua orangtua Mas. Mas akan jadi anak durhaka kalau menentang mereka. Tapi, cinta Mas hanya untukmu. Kaulah cinta sejati Mas, Dian. Izinkanlah Mas untuk menikah lagi. Maafkan Mas. Dian harus ingat, bahwa Mas mencintai Dian, dunia dan akhirat!”

***


*Kupersembahkan cerpen ini untuknya, Dian yang sesungguhnya.
*Baca tulisan-tulisanku lainnya di kakhadii.wordpress.comDUKA ADITYA
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
668
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan