

TS
metrotvnews.com
Rupa-rupa Wartawan ala Mahbub Djunaidi

Metrotvnews.com, Jakarta: Anda yang kerap berhubungan dengan media massa, pasti tidak asing dengan stilah "kuli tinta" dan "nyamuk pers". Tapi tahukah Anda apa maksud sebenarnya dan siapa pula memperkenalkan dua istilah tersebut?
Jawaban dari pertanyaan ke dua adalah wartawan senior Mahbub Djunaidi (1933-1995). Dia adalah Ketua Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 1955-1970. Putra asli Betawi ini tokoh dalam berbagai organisasi kemasyarakatan, di antaranya PMII dan PBNU.
Semasa hidupnya Mahbub Djunaidi dikenal sebagai jurnalis yang kritis. Kritiknya tidak hanya ditujukan kepada penguasa dan segala macam yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan umum, tapi juga kalangan wartawan. Niatnya adalah menjaga kemerdekaan dan kedaulatan pers nasional.
Sedangkan "kuli tinta" dan "nyamuk pers" diperkenalkan Mahbub Djunaidi dalam tulisan-tulisan kolomnya di Harian KOMPAS. Rangkaian tulisan kolomnya yang kritis dan bernas itu kemudian dibukukan dalam buku berjudul "Kolom demi Kolom" (Gunung Agung. 1989) dan "Asal Usul" (KOMPAS, 1996).

"Sebutan 'kuli tinta' biasa dikenakan kepada wartawan yang amat dekat hubungannya dengan humas. Seperti dekatnya menantu dengan mertua, sehingga orang sulit membedakan mana yang wartawan dan mana Humas," tulis Mahbub dalam sebuah kolom berjudul Sebutan (Kompas, 1987).
Maka jelas sudah bahwa "kuli tinta" sebenarnya adalah kritik -bahkan ejekan- kepada wartawan yang menjadi kepanjangan mulut dari humas instansi atau perusahaan. Tidak ada pertanyaan kritis yang diajukan si "kuli tinta" kepada nara sumbernya, hanya menelan mentah-mentah.
"Sebutan 'nyamuk pers' biasanya dialamatkan kepada wartawan yang tak bisa duduk diam di belakang meja. Dia senantiasa dalam keadaan 'gatal' dan kepingin mengubah dunia dengan sekali kibas, sementara dia sendiri tidak mengalami perubahan fisik yang berarti," tulis Mahbub.
Mahbub juga mengkritik keras media-media massa yang menggunakan judul-judul provokatif tanpa memasukkan misi membangun optimisme di masyarakat pembaca. “Ada beberapa koran Indonesia yang ngeri saya baca. Soalnya, isinya membuat hati saya deg-gedan, was-was, dan kecut, seakan-akan saya ini hidup di sebuah negeri penuh bandit.Dunia rasanya gelap, seakan-akan sebentar sore saya bisa mati tanpa sebab yang jelas. Malam hari takut digarong, siang hari takut kena muntaber. Pokoknya ngeri! Apa enaknya hidup dicekam rasa macam-macam seperti itu,” papar Mahbub dalam kolom berjudul Dagangan (1993).
Otokritik yang Mahbub sampaikan 23 tahun silam, selaras dengan amanat Presiden Joko Widodo pada puncak perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/2/2016). Jokowi mengeluhkan judul-judul pemberitaan yang dinilainya justru memadamkan harapan masyarakat.
Seperti berita berjudul: Indonesia Diprediksi Hancur, Aksi Teror tidak Akan Habis Sampai Kiamat pun, Kabut Asap tidak Teratasi Riau Terancam Merdeka, Indonesia Akan Bangkrut, Rupiah Bakal Tembus Rp15 Ribu, Jokowi-JK Akan Ambruk. Walau isi beritanya menggambarkan situasi di lapangan, namun menurut Jokowi seharusnya media massa tetap mengobarkan semangat masyarakat.
“Kalau judul seperti ini diteruskan dalam era kompetisi, yang muncul pesimistis, etos kerja tidak terbangun dengan baik. Padahal itu hanya asumsi," kata Presiden.
Presiden mengatakan, membangun kepercayaan salah satu aspek penting untuk bisa bersaing dengan negara lain. Investasi akan mengalir ke dalam negeri bila ada kepercayaan. Media sangat berperan membangun kepercayaan melalui pemberitaan.
Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/201...ahbub-djunaidi
---
Kumpulan Berita Terkait PERS :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
1.2K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan