- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Daya Saing Jabar Rapuh, Tenaga Kerja Didominasi Lulusan SD


TS
false.saviour
Daya Saing Jabar Rapuh, Tenaga Kerja Didominasi Lulusan SD
Quote:

Pendidikan rendah masih menjadi persoalan tenaga kerja di Jawa Barat. Hal tersebut tampak dari komposisi jumlah penduduk yang bekerja yang masih didominasi lulusan SD ke bawah. Kondisi tersebut sangat riskan mengingat pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), spesifikasi pendidikan yang khusus menjadi salah satu hal yang dibutuhkan pekerja untuk bisa bersaing.
Pengamat ekonomi Jabar Ina Primiana mengatakan, dengan berbagai perkembangan yang terjadi, para pekerja Jabar harus berdaya saing. Pasalnya, selain harus bersaing dengan pekerja dari provinsi lain, juga harus bersaing dengan pekerja dari negara lain yang memiliki pendidikan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan sektor ekonomi yang berkembang.
”Jika tetap seperti ini, bakal tidak akan terpakai. Memang harus perubahan pola pikir untuk menyesuaikan dengan potensi yang ada di daerah agar para pekerja kita tetap bisa masuk ke sektor yang berkembang pada masa yang akan datang,” ujarnya di Bandung, Senin 28 November 2016.
Upaya yang bisa dilakukan, menurut dia, adalah dengan melakukan ujian persamaan bagi para pekerja untuk meningkatkan pendidikan formalnya. Selain itu, juga memperkuat para pekerja tersebut dengan suatu keahlian yang sesuai dengan potensi di daerahnya.
Ia mencontohkan, di daerah penghasil padi-padian, masyarakat bisa didorong untuk membuat industri yang memiliki nilai tambah. Adapun para pekerja di wilayah tersebut dibekali dengan pelatihan atau pendidikan agar dapat menghasilkan padi dengan kualitas yang baik dan mampu melakukan pengembangan produk.
”Kita menciptakan para ahli sehingga pekerja tersebut bisa masuk ke industri menengah besar dengan keahlian yang dimiliki tersebut. Namun, memang harus diedukasi agar para pekerja mau meningkatkan keahliannya,” ucap Ina.
Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bandung Koordinator Jawa Barat Acuviarta Kartabi mengatakan, kondisi tersebut terjadi karena sektor yang berkembang selama beberapa waktu terakhir adalah sektor yang membutuhkan tenaga kerja kasar dan berkembang di daerah perdesaan sehingga tidak membutuhkan tingkat pendidikan.
Ditambah lagi, tidak menutup kemungkinan biaya pendidikan yang semakin tinggi juga semakin sulit untuk dicapai oleh sebagian besar masyarakat.
Meskipun demikian, Acuviarta menilai kondisi tersebut tak bisa dibiarkan terus-menerus. Jika melihat perkembangan sektor ekonomi ke depan seperti sektor telekomunikasi dan informasi serta sektor industri keuangan, yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang memiliki spesifikasi pendidikan khusus. Hal tersebut akan sulit dipenuhi pekerja lokal yang justru masih didominasi lululsan SD ke bawah.
”Artinya, jika melihat perkembangan ekonomi ke depan, dukungan kualitas pendidikan harus semakin baik. Apalagi pada era MEA saat ini, bukan tidak mungkin pos tersebut akan diisi oleh tenaga kerja dari luar jika tenaga kerja lokal kita tidak dilengkapi dengan kualitas pendidikan tersebut,” ujarnya.
Ia menegaskan, berdasarkan berbagai perkembangan yang terjadi, Jabar tidak bisa lagi hanya mengandalkan sektor pertanian dengan pendidikan formal yang terbatas untuk menyerap tenaga kerja.
Harus ada upaya lebih jauh untuk meningkatkan kualitas pendidikan tenaga kerja. Ditambah lagi dengan upah yang semakin besar tentunya akan semakin menuntut pendidikan yang lebih baik dan kualitas pekerja yang semakin tinggi.
”Pekerja kita harus dibekali dengan pendidikan formal yang lebih baik dan tentunya didukung dengan pendidikan skill dan soft skill yang dibutuhkan sektor ekonomi agar pekerja lokal mampu bersaing,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jabar pada Agustus 2016, persentase penduduk yang bekerja formal mencapai 51,36 persen dan yang bekerja informal mencapai 48,64 persen. Persentase pekerja formal meningkat jika dibandingkan dengan Agustus 2015 yang sebesar 49,61 persen.
Dari penduduk yang bekerja formal tersebut, mayoritas jumlahnya adalah mereka yang berpendidikan SD ke bawah atau mencapai 41,52% persen dari angka total. Proporsi terbesar kedua adalah mereka yang memiliki pendidikan sekolah menengah atas baik umum maupun kejuruan, sekitar 27,60 persen . Penduduk yang bekerja dengan pendidikan perguruan tinggi hanya sekitar 13,20 persen dari total pekerja.
Adapun tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang tinggi terjadi pada penduduk yang berpendidikan SMP dan SMA. Untuk TPT SMP mencapai 10,52 persen sedangkan TPT SMA umum sebesar 11,40 persen dan SMA kejuruan sebesar 16,51 persen. TPT untuk tamatan SD ke bawah hanya 5,87 persen.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, TPT pada tingkat SD ke bawah dan diploma I, II, III meningkat, sedangkan pada tingkat pendidikan lainnya mengalami penurunan.
Berdasarkan jumlah jam kerja, pada Agustus 2016 sebanyak 15.439.106 orang atau setara dengan 80,40 persn adalah pekerja penuh waktu (jumlah jam kerja di atas 35 jam per minggu). Sementara yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu mencapai 760.742 orang (3,96 persen).
Jumlah jam kerja di atas 35 jam per minggu mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan setahun sebelumnya sebanyak 14.437.374 orang (76,83 persen). Akan tetapi, jumlah pekerja kurang dari 15 jam per minggu mengalami penurunan jika dibandingkan dengan setahun sebelumnya sebanyak 789.097 orang (4,20 persen).***
http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-b...usan-sd-386254
0
6.8K
Kutip
93
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan