- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Problem para pengungsi di negeri asing


TS
BeritagarID
Problem para pengungsi di negeri asing

Para pengungsi di Yunani saat mengantre untuk menerima ransum 20 April 2016.
Perahu terbalik di perairan Mediterania pada 20 April lalu. Isinya para pengungsi dari Afrika dan Timur Tengah. Kantor Perserikatan Bangsa Bangsa yang mengurusi masalah pengungsi, UNHCR, bahkan menyebutkan bahwa peristiwa itu menjadi salah satu yang terburuk dalam 12 bulan terakhir.
Kisah singkat mengenai kejadian itu dituturkan para penyintas. Menurut mereka, seperti dilansir laman resmi UNHCR, insiden bermula dari pemindahan sekitar 100-200 pengungsi dari sebuah perahu berukuran 30 meter milik para penyelundup ke perahu lebih besar. Kapal lebih kecil telah melalui pelayaran selama beberapa jam. Ketika upaya pemindahan dilakukan, bahtera besar--yang telah kadung kelebihan muatan--menyungsang.
The New York Times menulis korban yang tewas kemungkinan besar mencapai 500 orang. Namun, masalahnya, masih belum diketahui angka pasti korban kecelakaan. "Saya lihat sendiri kapal yang lebih besar tenggelam," ujar seorang penyintas dikutip The New York Times. "Di perahu lebih kecil yang kami tumpangi, kami berlari ke arah para pengungsi yang berenang sekuat tenaga ke arah (perahu kami). Hanya empat orang yang berhasil kami selamatkan."
Aral yang mengadang para pengungsi tidak saja berserak pada saat berada di perjalanan, tapi juga di lokasi yang dituju. Problem taksaja mampir pada golongan yang memutuskan untuk hengkang karena mengelak dari kehancuran seperti perang, bencana alam, atau ketidakstabilan politik. Tapi juga singgah pada golongan yang meninggalkan negerinya untuk menggapai penghidupan lebih baik.
Tantangan itu begitu banyak dan beragam. Ada pengungsi atau pencari suaka yang mesti menghabiskan waktu bertahun-tahun tinggal di lokasi pengungsian atau penahanan. Tidak sedikit yang mendapatkan akses ke layanan kesehatan, baik di negeri asal atau negeri tujuan. Bahkan, mereka pun harus kehilangan posisi di masyarakat, rumah, penghasilan, pekerjaan, norma budaya, atau kebiasaan keagamaan.
Lebih jauh, berikut sejumlah kesulitan yang lazim dihadapi para pendatang atau pengungsi seperti dirangkum laman Global Citizen.
Masalah Bahasa
Negara yang didatangi oleh para pengungsi belum tentu memakai bahasa yang telah dikuasai oleh mereka. Jadi, bisa dibayangkan orang-orang dengan lidah asing itu harus mendapatkan pekerjaan, menjalin perkawanan, atau bahkan melakukan tugas sehari-hari seperti membeli kebutuhan pokok atau mengisi formulir.
Untuk menyiasati keterbatasan bahasa, mereka dapat mengambil kursus. Namun, masalahnya, sulit mengatur pembagian waktu antara kerja dan mengasuh anak.
Membesarkan anak dan mendorongnya untuk berhasil di sekolah
Membesarkan anak di lingkungan baru jadi hambatan besar. Para orang tua kemudian acap berhadapan dengan anak-anak yang dengan cepat mengadaptasi kultur setempat. Biasanya, anak akan lebih cepat menguasai bahasa di negeri tujuan.
Dalam hubungannya dengan seolah, para orang tua kerap kecewa demi mengetahui bahwa anak-anaknya sulit bersaing di sekolah. Pun, perbedaan budaya dapat berujung perisakan (bully) atau diskriminasi. Anak-anak biasa dinilai berdasar usianya, bukan kecakapannya. Bagi yang tidak menguasai bahasa di negeri tujuan, tentu sulit mengimbangi sejawatnya.
Menapaki jenjang karier
Di negeri asing, mencari pekerjaan dan menapaki karier teramat sulit. Para pengungsi dan pendatang yang berpendidikan dan memiliki posisi pekerjaan bagus di tempat asalnya belum tentu mendapatkan kemudahan di lokasi tujuan.
Selain itu, mereka biasanya mudah menjadi korban diskriminasi dan eksploitasi di tempat kerja. Beberapa perusahaan dapat menangkap hasrat mereka untuk tetap bekerja. Ini membuat posisi yang diberikan kepada mereka tidak menanggung risiko tinggi.
Rumah
Di mana-mana, harga rumah tidak murah. Bayangkan jika hal yang mahal itu harus didapatkan lewat gaji rendah. Untuk alasan itu, keluarga besar acap memilih untuk tinggal bersama. Tapi, ruwetnya, lingkungan demikian tidaklah kondusif untuk belajar atau beristirahat.
Pun, para pengungsi dan pendatang dapat merasakan eksploitasi dari induk semangnya. Setidaknya jika mengambil contoh di Amerika Serikat. Salah satu kasus, pengungsi dari Myanmar yang terpaksa tinggal di apartemen berkepinding. Sang induk semang tahu fakta itu. Ketika si kepinding terdeteksi, si induk semang malah ambil kesempatan untuk meminta uang pembasmian kutu busuk itu.
Akses terhadap layanan
Para imigran gelap sangat sulit untuk mengakses layanan. Alasan terbesar, mereka takut dideportasi. Alhasil, mereka bakal menghindari dokter dan layanan lain yang tengah dibutuhkan.
Bahkan, tiba secara resmi pun belum tentu mendapatkan kelancaran. Kendala bahasa, sulit libur, dan transportasi terbatas jadi masalah nyata.
Jika menghadapi masalah kejiwaan, acap kali para pengungsi dan pendatang yang terpapar kekerasan, pemerkosaan, bahkan penyiksaan, sulit mendapatkan layanan tersebut. Bahkan, mereka yang telah berhasil pun membagi pengalaman negatif. Lagi-lagi, masalahnya adalah bahasa.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...i-negeri-asing
---


anasabila memberi reputasi
1
1.1K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan