Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Kemerdekaan paripurna tanpa korupsi
Kemerdekaan paripurna tanpa korupsi
Lawan penjajahan korupsi
Hari ini, 17 Agustus 2016, kita memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke-71, negeri tercinta Republik Indonesia. Tujuh puluh satu sesungguhnya hanyalah hitungan bilangan angka, yang otomatis bertambah seiring waktu.

Tapi memenuhi cita-cita kemerdekaan seperti yang disampaikan para pendiri bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak ada otomatisasinya. Cita-cita itu akan tercapai bila rakyat terutama para pemimpin memiliki komitmen bersama.

Korupsi, menjadi salah satu penyakit yang menghambat pencapaian cita-cita tersebut. Keadilan sosial tidak akan tercapai bila virus korupsi terus hidup dalam kehidupan bernegara. Karenanya, negara meletakkan korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus diperangi bersama.

Korupsi di Indonesai memang tdak datang sejak kemarin, dia hadir bersama dengan perjalanan sejarah bangsa ini. Pada tahun 1970, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai penasihat presiden, menuturkan, korupsi di Indonesia sudah membudaya. Saat itu pro-kontra pun muncul. Yang kontra menganggap ungkapan Bung Hatta hiperbolis.

Namun sekarang, 46 tahun berselang, ungkapan Bung Hatta susah untuk dibantah. Korupsi terjadi di mana-mana, dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010-2015 ditemukan 3.042 kasus korupsi dalam penyidikan oleh kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kerugian negara mencapai Rp33,3 triliun dan nilai suap sebesar Rp999,6 miliar. Sementara jumlah tersangka yang terseret seluruh kasus ini mencapai 6.733 orang.

Data lebih detail mengenai peta kasus korupsi, yang ditangani KPK saja, menunjukkan korupsi sudah bisa disebut sampai pada titik membahayakan kehidupan demokrasi dalam negara. Pelakunya dari para penjaga pilar demokrasi, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Profesi lain pun tak kalis dari korupsi, ada pengacara, aparat keamanan sampai kalangan swasta.

Sepanjang 2004 hingga 2016 (Juni), pelaku korupsi dari kalangan eksekutif jumlahnya paling banyak: Kepala Lembaga/Kementerian 24 orang, Gubernur 17 orang, Walikota/Bupati dan wakil 50 orang, Pejabat EselonI-III 129 orang.

Sedang dari eksekutif sebanyak 119 orang (dari DPRD sampai DPR). Sementara dari yudikatif, ada 14 hakim. Dari kalangan swasta pun, jumlahnya cuku besar 142 orang.

Sementara penyebaran korupsi, juga sudah merambah hampir ke seluruh wilayah. Pemerintah pusat, kasus korupsinya paling menonjol, dengan 217 kasus. Sebanyak 20 dari 34 provinsi di Indonesia terjangkiti kasus korupsi. Provinsi Banten menjadi pemegang rekor tertinggi jumlah korupsi di daerah dengan 44 perkara. Disusul Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 32 perkara, Lampung 28 perkara dan Sumatera Utara dengan 26 perkara.

Keterikatan jaringan korupsi sangat beragam modelnya. Yang jamak terjadi adalah berjamaah antara eksekutif, legislatif dan swasta. Namun pada kasus korupsi yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, yang terlibat semakin variatif. Dari eksekutif, anggota DPR, hakim, sampai pengacara.

Modus korupsi mulai berevolusi dari area gelap ke area terang. Pada umumnya korupsi dilakukan individu bersama inidividu. Misalnya secara gelap anggota DPR dan pejabat Kementerian main mata. Keduanya barengan menjadi calo proyek pemerintah, lalu minta fee kepada pengusaha yang mendapat proyek tersebut.

Namun sekarang pejabat kementerian bersama elite Komisi V DPR, dalam rapat formal, meskipun dilakukan secara tertutup, terang-terangan meminta kompensasi atas persetujuan APBN. Itulah yang terungkap dalam sidang korupsi mantan anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti.

Jatah kompensasi yang berupa anggaran proyek tersebut, kemudian dibagi kepada 54 anggota Komisi V. Pembagiannya menurut pengakuan Damayanti, Rp50 miliar untuk anggota komisi, Rp100 miliar untuk kapoksi, dan Rp400 miliar-Rp450 miliar untuk pimpinan komisi.

Korupsi, juga sudah tidak mengenal nilai sosial. Pencetakan Al-Quran pun dikorupsi, begitu pula dana haji. Nilai keluarga pun dilunturkan oleh korupsi. Pelaku korupsi dilakukan oleh anggota keluarga, yaitu suami bersama istri, bahkan juga melibatkan anak, terjadi lebih dari 5 kasus.

Apa boleh buat praktik korupsi saat ini tidak sekadar ancaman bagi kehidupan demokrasi, tapi juga ancaman bagi nilai sosial dan keluarga. Dan dengan berat hati kita harus bisa menerima pernyataan Bung Hatta, bahwa korupsi telah membudaya.

Namun kita tidak boleh diam, betapa pun susahnya, kejahatan korupsi harus dilawan dengan membangun budaya antikorupsi. Korupsi meski telah membudaya, tidak boleh terus tumbuh menjadi budaya.

Bung Hatta telah mengajarkan budaya antikorupsi sejak awal Indonesia berdiri. Dalam buku "Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan" (1981) yang ditulis Josie Darik, kisah itu tersimpan. Suatu hari Bung Hatta sangat merindukan, sang ibu, Siti Saleha atau Mak Tuo, kala itu tahun 1950.

Saat tu, Mak Tuo tinggal di Sumedang bersama anak-menantunya, Sanusi Galib. Hasjim Ning, sahabat Bung Hatta mengusulkan agar ibunda dijemput menggunakan mobil dinas Bung Hatta, untuk dibawa ke Jakarta. Namun Wakil Presiden itu menolak usulan Hasjim Ning tersebut.

Bila pun Mak Tuo dijemput dengan mobil dinas Wakil Presiden, mungkin tidak ada orang mencibir, atau pun membuat meme yang diposting di media sosial, karena saat itu memang belum ada media sosial.

Namun penolakan Bung Hatta, tak ada hubungannya dengan aneka kemungkinan cibiran. Penolakan itu karena sebuah nilai antikorupsi. Sebuah prinsip tidak mau menggunakan fasilitas dan kekuasaan untuk keperluan selain keperluan negara.

Puluhan tahun lalu Bung Hatta telah memberikan contoh membangun budaya antikorupsi. Budaya itulah yang harus disemai dalam diri seluruh bangsa ini. Bila itu yang terjadi, kemerdekaan seperti yang diungkapkan Bung Karno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) akan lebih kelihatan bentuknya.

Yaitu, kemerdekaan yang diibaratkan sebagai jembatan emas untuk menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.

Syarat mutlak mewujudkan kemerdekaan seperti itu, adalah pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien. Hanya pemerintah seperti itulah yang punya kekuatan untuk memerangi berbagi macam praktik korupsi, dan menjalankan amanatnya dengan baik.

Pada saat itulah kesempurnaan makna kemerdekaan akan terasa, merdeka dari penjajahan korupsi.
Kemerdekaan paripurna tanpa korupsi


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...-tanpa-korupsi

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
3.1K
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan