Kaskus

Story

kakhadiAvatar border
TS
kakhadi
MEMORI UNTUK IBU
SINOPSIS



Memecah karang di kala semburat jingga belum sempat menua dan menjadi janda hingga berubah menjadi biru muda yang cerah merona. Menahan aliran ngarai yang besar dan deras dengan sekuat tenaga. Mengumpulkan sisa-sisa dari puing-puing asa agar senyum ibunda bisa merekah.

Itulah Hamid Abqari, seorang santri yang harus tabah dengan tamparan dunia. Tanpa kasih sayang ayah dan bunda. Berjuang di muka bumi yang fana ini dan dibebani oleh seorang kakak penyandang disabilitas, lalu bersama-sama mewujudkan mimpi ibunda tercinta. Mimpi yang mulia. Mimpi yang tiada terkira.


W-A-H-I-D


CUACA menyenangkan. Langit redup. Nampaknya tugas matahari hampir selesai. Pepohonan seolah menari-nari diterpa angin sore. Jalan setapak berwarna hitam pekat dihiasi genangan air yang bening sehingga menampakkan dasarnya terdapat di beberapa titik. Semak belukar sepinggang menjadi pagar jalan. Rumah-rumah penduduk di kanan-kiri dengan atap anyaman daun kelapa warna coklat membuat suasana kampung menjadi damai. Terlihat beberapa penduduk mengenakan caping sedang berkebun membersihkan gulma.

Aku berjalan kaki hendak pulang membawa kantong plastik hitam dari warung, membeli keperluan ibu sambil melantunkan ayat suci. Memurojaah hafalan Al-Qur'anku. Seketika telingaku menangkap ada seseorang yang memanggil-manggil namaku. Suara itu terdengar dari arah belakang.

"Hamid, woy..."

Kuhentikan langkahku. Kubalikkan tubuhku ke arah belakang. Aku memusatkan pandanganku menerawang siapakah yang memanggil-manggil itu. Anak remaja lelaki dengan sepeda tua yang ketinggian untuknya itu ternyata dapat dengan mudah kukenali. Beberapa saat kemudian anak itu telah sampai di hadapanku.

"Oh Kamu, Ki. Dari mana kau sore-sore seperti ini?" tanyaku seraya memandanginya. Riki bertubuh kecil dan sekarang ia lebih hitam. Di belakang sepeda Riki terdapat dua ember bekas cat berukuran sedang yang aromanya membuat muntah.

"Aku dari menyadap karet di kampung atas. Ini baru pulang. Oiya, gimana sekolahmu di pesantren?" sahut Riki.

"Jadi kamu udah enggak sekolah lagi juga, sama seperti Dino, Malik, Deden?" kejarku cepat.

"Iya. Lantas apa untungnya sih sekolah?" balasnya santai.

Aku tersentak mendengar jawaban dari mulut sahabat karibku itu. Di kampung memang banyak sekali anak-anak yang putus sekolah. Ini semua karena orang tua mereka menganggap sekolah tidak penting dan tidak bermanfaat. Bagi orang tua mereka lebih baik bekerja dan mendapatkan uang daripada sekolah yang hanya menghabiskan uang dan waktu percuma.

Aku mengajak Riki menepi ke bawah pohon rindang di pinggir jalan itu.

"Ada apa ini, Ki? Apa ada masalah? Mengapa Kamu sampai berhenti sekolah? Setidaknya jika Kamu tidak mau melanjutkan ke jenjang SMA, Kamu seharusnya selesaikan dulu SMP-mu. Tidak lama lagi kan kita akan lulus dan kita akan mendapatkan ijazah." tegasku padanya.

"Sudahlah, Mid. Orang tuaku bilang sekolah itu cuma merepotkan saja. Kau lihatlah penduduk kampung kita ini, banyak yang tidak lulus SMP. Bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali tetapi masih bisa hidup dengan tenang. Aku suka dengan uang, Mid. Kau harus akui, Kau bisa sekolah di pesantren sana karena mahalnya harga karet di sini. Dan seharus-nya kau berhenti saja sekolah. Apa Kau tidak kasihan sama ibumu yang bekerja sendirian dari pagi hingga petang hanya untuk menyekolahkanmu dan kakakmu? Kalau aku jadi Kau, aku akan malu! Aku tidak akan menyusahkannya, malahan aku akan membantunya mencari uang seperti sekarang ini."

Aku pulang setelah berbincang dengan teman SD-ku itu. Sepanjang perjalanan pulang aku memikirkan perkataan Riki yang terus terngiang-ngiang di kepala. Aku menyukai sekolah dan senang belajar. Aku ingin jadi orang sukses dan membahagiakan ibu. Tapi perkataan Riki itu ada benarnya. Semenjak ayah pergi merantau entah kemana ibulah yang banting tulang mencari nafkah seorang diri.

Udara dingin mencengkram tulang seperti biasa menyelimuti malam. Sinar lentera temaram di pojok dinding. Nyala tua itu membuatnya cemong. Hitam tak beraturan. Cahayanya cukup bisa diandalkan,selalu berpendar-pendar menerangi malam-malam kami yang panjang. Nyaring suara jangkrik telah terdengar. Gonggongan anjing-anjing liar terdengar senyap dari kejauhan. Ibu, kak Thariq, dan aku menikmati makan malam dengan duduk bersila. Aku duduk di pojok menyandar ke dinding tepat di bawah jendela. Sedangkan kak Thariq duduk dekat ibu di tengah. Kami bertiga makan nasi goreng sederhana buatan ibu. Kak Thariq dan aku menggunakan piring plastik hijau, sementara ibu menggunakan piring dari seng warna kuning tua.

Rumah kami dibangun oleh bapak dulu dengan bercagak kayu beratapkan anyaman daun kelapa. Hanya ada dua ruangan, satu untuk dapur dan satunya lagi untuk tempat tidur. Ruang yang digunakan untuk tidur sebenarnya bukan hanya digunakan untuk tidur semata, melainkan di sana lah juga tempat untuk menerima tamu, meletakkan pakaian, meletakkan bantal-bantal dan buku-buku, dan tempat untuk menyantap makanan.

Malam ini aku begitu gelisah. Sejak sore tadi aku terus memikirkan perkataan Riki. Aku memandangi wajah ibu. Usia ibu sudah berkepala empat.Wajahnya hitam terbakar sinar matahari. Ibu tak pernah mengeluh walau terkadang di malam hari ia meringis kesakitan kaki. Dulu perawakan ibu cukup besar sebelum ditinggal pergi oleh bapak, meskipun tak sebesar perawakan emak-emak pada umumnya. Tetapi ibu selalu bersemangat dalam bekerja. Kian hari tubuh ibu kian menyusut. Makin menipis. Mungkin karena pekerjaannya yang menuntut fisik sehingga merontokkan lemak-lemak jahat. Aku tidak tega dengan semua ini.


Aku tidak memakan nasi gorengku melainkan cuma kuaduk-aduk saja, padahal nasi goreng buatan ibu adalah favoritku dan tiada duanya. Nasi goreng ibu dan kak Thariq nampaknya sudah hampir habis. Walaupun ragu aku memberanikan diri mengutarakan niatku yang sudah sangat menyesaki pikiranku.

"Bu, ada yang ingin Hamid katakan." gumamku.

"Katakan saja, Nak." Pelan ibu.

"Besok, Hamid tidak mau pergi ke pesantren lagi. Hamid ingin berhenti saja." kataku dengan satu nafas sambil menundukkan wajah.

Ibu sedang menyuap nasi terakhirnya, seketika sendok yang ia pegang terlepas dari genggamannya begitu saja. Bunyi nyaring terdengar akibat jatuhnya sendok ke piring seng ibu. Nasinya berhamburan. Berbeda dengan orang tua lainya di kampung kami, ibuku adalah orang tua yang sangat mementingkan pendidikan. Bapak mempunyai keinginan agar kami bisa sekolah setinggi-tingginya, karena dirinya dulu tidak bisa sekolah karena ekonomi.

Untuk itulah bapak merantau mencari uang entah kemana dan tiada pernah pulang-pulang sedari aku kelas empat SD. Keinginan bapak itu bagaikan perintah bagi ibu. Ia rela melakukan apa saja demi kamiagar bisa terus bersekolah. Mendengar apa yang baru saja kukatakan seolah membuat hati ibu teriris. Ibu sangat sedih mendengarnya.

"Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan itu, Hamid!" napas ibu naik turun dengan amarah tertahan.

"Demi menyekolahkan kalian Ibu rela bekerja dari pagi hingga petang. Ibu ingin kalian jadi orang pintar, Ibu ingin kalian sukses. Bukan seperti penduduk kampung di sini. Apa yang ada di pikiranmu itu, Hamid!"

Aku terkejut bukan kepalang. Aku tiada mengira sama sekali jika ibu akan marah seperti itu. Bagaimana tidak, ibuku adalah wanita yang sabar dan sangat jarang marah. Aku diam ketakutan. Aku berpikir apakah yang aku katakan tadi salah. Padahal sesungguhnyaa niatku baik. Aku ingin membantu ibu bekerja seperti Riki dan teman-teman lainnya.

"Ibu salah paham. Maksudku baik, Bu." aku tergagap.

"Maksud baik macam apa itu, heh?!" ibu menghentakkan tangannya ke lantai.

"Hamid ingin membantu ibu mencari uang. Sama seperti teman-teman Hamid lainnya. Hamid tidak tega melihat ibu bekerja sendirian membanting tulang."

"Tidak! Bukan seperti itu caranya. Agar kita bisa keluar dari jerat kemiskinan, satu-satunya jalan keluar ialah pendidikan. Dan pendidikan harus ditempuh dengan segala daya dan upaya!" ibu mengeras.

"Tapi, Bu..."

"Tidur sekarang, Hamid! Besok pagi-pagi sekali kalian sudah harus pulang ke pesantren."

Kak Thariq hanya diam menunduk. Ia sedih. Tak terasa matanya mengalirkan air. Ia seolah ingin berkata kalau ia juga mau menolong ibu mencari uang, tetapi dirinya saja tidak normal seperti anak-anak lain pada umumnya lantas bagaimana ia bisa menolong ibu.

Aku masih menunduk dengan mata merah berkaca-kaca. Kak Thariq berdiri mengambili piring ibu dan piringku yang masih penuh untuk ditaruh di dapur. Ibu langsung membentang purun dan tidur tanpa memedulikanku.

Aku menuruti kata ibu untuk segera tidur tetapi aku tidak bisa. Aku sangat gelisah dan tidak bisa tidur. Di pojok kiri juga demikian. Di sebelah kak Thariq yang sedang tertidur pulas, aku mendengar ibu menangis. Ibu menyembunyikan kesedihannya dengan posisi tidur menghadap dinding. Angin riuh di luar menciptakan suasana malam ini makin sepi seolah mau mengolok-olok. Fajar menjemput dengan terburu-buru. Setelah shalat subuh aku dan kak Thariq telah siap untuk kembali ke pesantren. Ibu mengantar kami berdua ke jalan raya untuk menunggu bus.

"Hamid, Thariq, Kalian sayang tidak sama Ibu?" ucap ibu setengah berteriak melawan deru mobil yang berlalu lalang.

"Tentu, Bu." lirihku dengan tatapan sayang layaknya seorang anak kepada ibundanya.

"Iya, Bu. Mengapa bertanya?" kak Thariq ikut menjawab dengan ciri khasnya yang agak susah ngomong dan lama karena penyakitnya.

"Kalau begitu ibu punya satu permintaan pada kalian. Tolong rajin-rajinlah kalian sekolah. Jadilah anak yang membanggakan. Anak yang pintar. Selesaikanlah hafalan Al-Qur'an kalian agar ibu bisa mendapatkan jubah kemuliaan di akhirat kelak."

"Insha Allah, Bu."

Ibu memeluk kami sambil menitikan air mata. Sebentar sekali. Ibu terpaksa melepaskan pelukannya, bus menuju kota sudah datang. Tidak tahu ada apa, tidak seperti biasanya ibu seperti ini. Ibu selaksa tidak mau melepaskan pelukannya. Ia nampak tak mau jauh-jauh dari kami. Aku menuntun kak Thariq naik bus dengan sangat hati-hati.

Ibu berdiri menunggui kami di tepian jalan sampai bus kami benar-benar pergi dan menghilang dari penglihatannya sambil melambaikan tangan. Mata ibu hanya sedikit mengeluarkan air. Namun, hati kecilnya seolah menjerit meneriakan asma-asma kami.

***

DONT FORGET TO LEAVE A COMMENT, YA! THANKUUUU
BERSAMBUNG KE BAB 2 DI THREAD BARU YA! SEARCH AJA!

MEMORI UNTUK IBU



Diubah oleh kakhadi 23-11-2016 14:25
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
3.1K
27
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan