- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Wajah Lain MUI Hadapi Kasus Ahok


TS
joshluciver
Wajah Lain MUI Hadapi Kasus Ahok
sumber
Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan resmi yang menyatakan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menistakan agama. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid menegaskan, pendapat dan sikap keagamaan MUI ini lebih tinggi kedudukannya dari fatwa.
Keputusan MUI keluar terkait dengan ucapan Ahok, Rabu (27/9), menyitir surat Al Maidah ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu pada September lalu. Ucapan Ahok itu kemudian diunggah oleh Buni Yani pada 5 dan 6 Oktober di Facebook. Video itu menjadi viral.
Menurut Ketua Front Anti Aliran Sesat (FAAS) Ahmad Al Kaff dalam acara bincang-bincang Indonesia Lawyers Club beberapa waktu lalu, banyak umat muslim yang merasa terhina, terusik karena ucapan Ahok dan siap melakukan aksi. Sebelum melakukan aksi, organisasi itu meminta MUI untuk mengeluarkan sikap lebih dahulu.
"Waktu itu belum ada fatwa dari MUI. Saya menganjurkan tanggal 9 (Oktober) ini harus cepet keluar fatwa dari MUI dan bagaimana orang Islam berbuat, jangan masing-masing," katanya.
Dua hari kemudian, keluar fatwa MUI. Menurut Ahmad, fatwa itu membuat terarah, dan tak salah tafsir.
Fatwa tersebut mendorong dibentuknya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) yang salah satunya diinisiasi oleh Imam Besar Front Pembela Islam Rizieq Shihab.
Gerakan ini aktif dalam melakukan aksi demonstrasi pada 14 Oktober, 4 November, dan rencananya 2 Desember mendatang. Puluhan ribu orang turun ke jalan menuntut Ahok dihukum.
Polisi pun melakukan gelar perkara semi terbuka dengan melibatkan pelapor, terlapor, pengawas internal dan eksternal, seperti Ombudsman, dan DPR. Akhirnya, polisi menetapkan Ahok bersalah. Sekarang kasus itu berada di ranah hukum.
Apakah masalah selesai? Tidak. MUI mengeluarkan pernyataan baru. MUI meminta Ahok ditahan. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Muhammad Zaitun Rasmin menilai, Ahok mesti ditahan karena penegakan hukum harus berjalan maksimal.
Pro Kontra
Fatwa yang dikeluarkan MUI menimbulkan pertentangan di sebagian kalangan ulama. Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menilai Ahok tidak melakukan penistaan agama.
Ahok, ujar Syafii, hanya mengkritik pihak-pihak yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih Ahok.
Syafii juga mengkritik fatwa MUI soal Ahok. Semestinya sebagai lembaga yang kredibel, MUI harus mempertimbangkan fatwa-fatwa demi menjaga keutuhan bangsa.
Mantan Rois Syuriah Nahdhlatul Ulama (NU) KH Mustofa Bisri atau dikenal Gus Mus bahkan menyebut, hujatan dan kecaman atas nama umat Islam kepada Ahok berkaitan dengan perebutan kekuasaan dalam Pilkada DKI Jakarta.
Gus Mus pun tak luput mengkritik MUI yang statusnya tidak jelas dan membingungkan apakah termasuk organisasi masyarakat, partai politik, atau institusi pemerintah. Bahkan, MUI mendapat anggaran dari pemerintah atau negara.
Gus Mus juga mengatakan, tidak semua orang yang ada di MUI itu ulama tapi menyebut dirinya ulama. Sehingga, menurut Gus Mus, banyak umat Islam yang menganggap MUI sebagai penentu fatwa yang wajib diikuti.
"Asal jadi pengurus MUI terus kok disebut ulama. Juru tulis atau juru ketik seakan ulama, terus mudah mengeluarkan fatwa dan lucunya banyak umat Islam yang mengikuti. Halal dan haram mudah dikeluarkannya," sindir Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotul Tholibin Rembang itu.
Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama Imam Aziz menilai, MUI harus segera direformasi. Pasalnya sejumlah masalah keagamaan yang muncul belakangan ini justru berasal dari MUI.
"MUI harus direformasi baik secara kelembagaan maupun fatwa yang dikeluarkan," ujar Imam.
Salah satunya adalah fatwa MUI soal Ahok. Menurut Imam, fatwa tersebut mestinya tak jadi acuan dalam memproses hukum kasus Ahok. Sebab, fatwa hanya menjadi pedoman bagi masyarakat tertentu dan bukan menjadi produk hukum formal.
"Fatwa ini sebenarnya tidak ada kedudukannya di konstitusi. Tapi kadang jadi acuan aparat," katanya.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch (HRW) yang berjudul 'In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia', MUI sebagian didanai lewat Kementerian Agama atau melalui anggaran pemerintah provinsi maupun daerah, dan tidak pernah diaudit oleh lembaga audit negara.
TNI, menurut HRW, yang justru mendirikan majelis ulama pertama kali di Jawa Barat pada Juli 1958. Tujuannya untuk menstabilkan Jawa Barat dari kegiatan Darul Islam. Majelis ulama itu segera disalin oleh daerah lain dengan gerakan yang sama, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Kedudukan Hukum Fatwa MUI
Muncul pertanyaan, bagaimana posisi fatwa MUI dalam hukum positif Indonesia? Dan apakah MUI berwenang mendesak aparat penegak hukum menahan seorang tersangka?
MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 26 Juli 1975 di Jakarta.
MUI memiliki lima fungsi dan peran utama, yaitu sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, sebagai pemberi fatwa, sebagai pembimbing dan pelayan umat, sebagai gerakan Islah wa al Tajdid, dan sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar.
Fatwa adalah sebuah istilah tentang pendapat atau tafsiran suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah nasihat, petuah, jawaban atau pendapat.
Menurut pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf, fatwa MUI merupakan rujukan bagi umat Islam dalam menjalankan hidup.
Namun, fatwa tidak berlaku dalam hukum positif Indonesia. Tidak ada satu pun aturan Indonesia memasukkan posisi fatwa.
"Memang tidak dikenal fatwa dalam hukum positif kita. Itu hanya dikenal untuk umat dan ranah keagamaan. Artinya, fatwa hanya bisa dijadikan dasar kepolisian sebagai keterangan ahli untuk dipakai di pengadilan," katanya.
Menurut Asep, fatwa tidak diatur dalam undang-undang Indonesia sebagai instrumen hukum yang mengikat.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, fatwa adalah pendapat kumpulan ulama dalam MUI yang ditujukan untuk umat Islam. Fatwa memiliki ragam, mulai dari fatwa penodaan agama, fatwa haram dan halal, hingga fatwa ekonomi syariah yang mengatur pelaksanaan ekonomi.
"Dalam konteks penodaan agama, fatwa MUI dipakai sebagai acuan. Fatwa MUI dipakai merujuk apakah ada penodaan agama Islam atau tidak karena mereka (MUI) yang tahu apakah agama itu dinodai atau tidak, mereka punya kompentensi itu," katanya.
Sedang pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakkir menilai fatwa MUI sebagai interpretasi. Merujuk pada dugaan penghinaan agama Islam, fatwa MUI berperan sebagai tafsir terhadap dugaan terjadinya penyesatan agama.
"MUI katakan sesuatu haram, lantas jangan pemerintah buat produk hukum yang diputus haram itu. Harus harmonisasi antara aturan agama dengan hukum positif. Fatwa jadi dasar bahan materil pembentukan hukum positif," katanya.
udzakkir menambahkan, fatwa bisa menjadi barang bukti bagi penegak hukum dalam menafsirkan adanya penghinaan agama atau tidak. "Jangan polisi rujukannya majelis yang lain, bahaya nanti, fatwanya beda-beda. Makanya agak aneh pemerintah menegasikan fatwa MUI," katanya.
Dalam konteks ini, MUI menjalankan tugas sesuai kewenangannya, yaitu mengeluarkan fatwa. Lalu, permintaan untuk menahan Ahok, bagaimana posisi MUI?
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) Pasal 21 Ayat (1), penahanan seorang tersangka berdasarkan alasan subyektif maupun alasan obyektif.
Alasan subyektif tentang penahanan ada tiga, yaitu adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti, dan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.
Alasan obyektif sesorang ditahan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih.
Artinya, menurut Asep Warlan dan Abdul Fickar Hadjar, penahanan seseorang merupakan kewenangan penuh aparat penegak hukum. Penahanan seseorang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, dari presiden hingga masyarakat.
Dalam hal ini, MUI maupun GNPF MUI pun tidak bisa mencampuri proses hukum yang tengah dilakukan kepolisian. Termasuk soal penahanan Ahok.
di baca gan agak panjang semoga tercerahkan
Quote:
Spoiler for GPFMUI:

Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan resmi yang menyatakan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menistakan agama. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid menegaskan, pendapat dan sikap keagamaan MUI ini lebih tinggi kedudukannya dari fatwa.
Keputusan MUI keluar terkait dengan ucapan Ahok, Rabu (27/9), menyitir surat Al Maidah ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu pada September lalu. Ucapan Ahok itu kemudian diunggah oleh Buni Yani pada 5 dan 6 Oktober di Facebook. Video itu menjadi viral.
Menurut Ketua Front Anti Aliran Sesat (FAAS) Ahmad Al Kaff dalam acara bincang-bincang Indonesia Lawyers Club beberapa waktu lalu, banyak umat muslim yang merasa terhina, terusik karena ucapan Ahok dan siap melakukan aksi. Sebelum melakukan aksi, organisasi itu meminta MUI untuk mengeluarkan sikap lebih dahulu.
"Waktu itu belum ada fatwa dari MUI. Saya menganjurkan tanggal 9 (Oktober) ini harus cepet keluar fatwa dari MUI dan bagaimana orang Islam berbuat, jangan masing-masing," katanya.
Dua hari kemudian, keluar fatwa MUI. Menurut Ahmad, fatwa itu membuat terarah, dan tak salah tafsir.
Fatwa tersebut mendorong dibentuknya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) yang salah satunya diinisiasi oleh Imam Besar Front Pembela Islam Rizieq Shihab.
Gerakan ini aktif dalam melakukan aksi demonstrasi pada 14 Oktober, 4 November, dan rencananya 2 Desember mendatang. Puluhan ribu orang turun ke jalan menuntut Ahok dihukum.
Polisi pun melakukan gelar perkara semi terbuka dengan melibatkan pelapor, terlapor, pengawas internal dan eksternal, seperti Ombudsman, dan DPR. Akhirnya, polisi menetapkan Ahok bersalah. Sekarang kasus itu berada di ranah hukum.
Apakah masalah selesai? Tidak. MUI mengeluarkan pernyataan baru. MUI meminta Ahok ditahan. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Muhammad Zaitun Rasmin menilai, Ahok mesti ditahan karena penegakan hukum harus berjalan maksimal.
Pro Kontra
Spoiler for Ahmad Syafi'i Maarif:

Fatwa yang dikeluarkan MUI menimbulkan pertentangan di sebagian kalangan ulama. Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menilai Ahok tidak melakukan penistaan agama.
Ahok, ujar Syafii, hanya mengkritik pihak-pihak yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih Ahok.
Syafii juga mengkritik fatwa MUI soal Ahok. Semestinya sebagai lembaga yang kredibel, MUI harus mempertimbangkan fatwa-fatwa demi menjaga keutuhan bangsa.
Mantan Rois Syuriah Nahdhlatul Ulama (NU) KH Mustofa Bisri atau dikenal Gus Mus bahkan menyebut, hujatan dan kecaman atas nama umat Islam kepada Ahok berkaitan dengan perebutan kekuasaan dalam Pilkada DKI Jakarta.
Gus Mus pun tak luput mengkritik MUI yang statusnya tidak jelas dan membingungkan apakah termasuk organisasi masyarakat, partai politik, atau institusi pemerintah. Bahkan, MUI mendapat anggaran dari pemerintah atau negara.
Gus Mus juga mengatakan, tidak semua orang yang ada di MUI itu ulama tapi menyebut dirinya ulama. Sehingga, menurut Gus Mus, banyak umat Islam yang menganggap MUI sebagai penentu fatwa yang wajib diikuti.
"Asal jadi pengurus MUI terus kok disebut ulama. Juru tulis atau juru ketik seakan ulama, terus mudah mengeluarkan fatwa dan lucunya banyak umat Islam yang mengikuti. Halal dan haram mudah dikeluarkannya," sindir Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotul Tholibin Rembang itu.
Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama Imam Aziz menilai, MUI harus segera direformasi. Pasalnya sejumlah masalah keagamaan yang muncul belakangan ini justru berasal dari MUI.
"MUI harus direformasi baik secara kelembagaan maupun fatwa yang dikeluarkan," ujar Imam.
Salah satunya adalah fatwa MUI soal Ahok. Menurut Imam, fatwa tersebut mestinya tak jadi acuan dalam memproses hukum kasus Ahok. Sebab, fatwa hanya menjadi pedoman bagi masyarakat tertentu dan bukan menjadi produk hukum formal.
"Fatwa ini sebenarnya tidak ada kedudukannya di konstitusi. Tapi kadang jadi acuan aparat," katanya.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch (HRW) yang berjudul 'In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia', MUI sebagian didanai lewat Kementerian Agama atau melalui anggaran pemerintah provinsi maupun daerah, dan tidak pernah diaudit oleh lembaga audit negara.
TNI, menurut HRW, yang justru mendirikan majelis ulama pertama kali di Jawa Barat pada Juli 1958. Tujuannya untuk menstabilkan Jawa Barat dari kegiatan Darul Islam. Majelis ulama itu segera disalin oleh daerah lain dengan gerakan yang sama, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Spoiler for Gus Mus:

Kedudukan Hukum Fatwa MUI
Muncul pertanyaan, bagaimana posisi fatwa MUI dalam hukum positif Indonesia? Dan apakah MUI berwenang mendesak aparat penegak hukum menahan seorang tersangka?
MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 26 Juli 1975 di Jakarta.
MUI memiliki lima fungsi dan peran utama, yaitu sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, sebagai pemberi fatwa, sebagai pembimbing dan pelayan umat, sebagai gerakan Islah wa al Tajdid, dan sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar.
Fatwa adalah sebuah istilah tentang pendapat atau tafsiran suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah nasihat, petuah, jawaban atau pendapat.
Menurut pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf, fatwa MUI merupakan rujukan bagi umat Islam dalam menjalankan hidup.
Namun, fatwa tidak berlaku dalam hukum positif Indonesia. Tidak ada satu pun aturan Indonesia memasukkan posisi fatwa.
"Memang tidak dikenal fatwa dalam hukum positif kita. Itu hanya dikenal untuk umat dan ranah keagamaan. Artinya, fatwa hanya bisa dijadikan dasar kepolisian sebagai keterangan ahli untuk dipakai di pengadilan," katanya.
Menurut Asep, fatwa tidak diatur dalam undang-undang Indonesia sebagai instrumen hukum yang mengikat.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, fatwa adalah pendapat kumpulan ulama dalam MUI yang ditujukan untuk umat Islam. Fatwa memiliki ragam, mulai dari fatwa penodaan agama, fatwa haram dan halal, hingga fatwa ekonomi syariah yang mengatur pelaksanaan ekonomi.
"Dalam konteks penodaan agama, fatwa MUI dipakai sebagai acuan. Fatwa MUI dipakai merujuk apakah ada penodaan agama Islam atau tidak karena mereka (MUI) yang tahu apakah agama itu dinodai atau tidak, mereka punya kompentensi itu," katanya.
Sedang pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakkir menilai fatwa MUI sebagai interpretasi. Merujuk pada dugaan penghinaan agama Islam, fatwa MUI berperan sebagai tafsir terhadap dugaan terjadinya penyesatan agama.
"MUI katakan sesuatu haram, lantas jangan pemerintah buat produk hukum yang diputus haram itu. Harus harmonisasi antara aturan agama dengan hukum positif. Fatwa jadi dasar bahan materil pembentukan hukum positif," katanya.
udzakkir menambahkan, fatwa bisa menjadi barang bukti bagi penegak hukum dalam menafsirkan adanya penghinaan agama atau tidak. "Jangan polisi rujukannya majelis yang lain, bahaya nanti, fatwanya beda-beda. Makanya agak aneh pemerintah menegasikan fatwa MUI," katanya.
Dalam konteks ini, MUI menjalankan tugas sesuai kewenangannya, yaitu mengeluarkan fatwa. Lalu, permintaan untuk menahan Ahok, bagaimana posisi MUI?
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) Pasal 21 Ayat (1), penahanan seorang tersangka berdasarkan alasan subyektif maupun alasan obyektif.
Alasan subyektif tentang penahanan ada tiga, yaitu adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti, dan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.
Alasan obyektif sesorang ditahan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih.
Artinya, menurut Asep Warlan dan Abdul Fickar Hadjar, penahanan seseorang merupakan kewenangan penuh aparat penegak hukum. Penahanan seseorang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, dari presiden hingga masyarakat.
Spoiler for GPFMUI lagi :

Dalam hal ini, MUI maupun GNPF MUI pun tidak bisa mencampuri proses hukum yang tengah dilakukan kepolisian. Termasuk soal penahanan Ahok.
di baca gan agak panjang semoga tercerahkan

0
5.8K
Kutip
50
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan