- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Hukuman berat untuk perusak alam


TS
BeritagarID
Hukuman berat untuk perusak alam

Perambah lolos dari hukum pidana, tapi terjerat denda Rp16 triliun dalam gugat perdata.
Akhirnya terbit juga keputusan hukuman berat terhadap perusak lingkungan. Mahkamah Agung (MA), menghukum PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL) harus membayar kerugian kepada negara. Besarnya tak tanggung-tanggung, Rp16,24 triliun.
Putusan Majelis Hakim yang diketuai oleh Prof Dr Takdir Rahmadi, itu adalah keputusan sengketa perdata yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) terhadap PT MPL.
PT MPL pada 2008 menjadi salah satu perusahaan yang dilaporkan KLHK atas 14 kasus pembalakan di Riau. Namun, Polda Riau menghentikan penyidikannya (SP3) karena dinilai tidak cukup bukti.
Gagal di kepolisian untuk tindak pidana, KLHK melayangkan gugatan perdata dan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus korupsinya. KPK masih memproses laporan tersebut.
Pada 26 September 2013, KLHK mengajukan gugatan perdata. KLHK menyebut, PT MPL telah melakukan pembalakan liar. Ini terjadi sepanjang 2004, 2005, dan 2006 di Pelalawan, Riau.
Pemegang konsesi hutan seluas 5.970 Hektare, ini dituding merusak lingkungan dan menebang hutan alam tak sesuai aturan. Antara lain menebang hutan lindung dan membangun hutan tanaman industri.
Gugatan tersebut nyaris kandas. Sidang tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, Maret 2014, majelis hakim yang diketuai Reno Listowo menolak gugatan ini. Kementerian LHK, mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Riau. Tujuh bulan kemudian, majelis banding menguatkan putusan Pengadilan Negeri.
Di tingkat kasasi, majelis hakim membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan tinggi. PT MPL dinyatakan kalah. Perusahaan itu harus membayar kerugian negara atas kerusakan yang ditimbulkan di dua areal.
Pertama, di dalam areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) seluas 5.590 hektare. Kedua, di luar areal IUPHHK-HT seluas 1.873 hektare.
Untuk kerugian negara akibat kerusakan lingkungan di areal pertama, PT MPL diwajibkan membayar denda Rp12,167 triliun. Sedang untuk kerusakan hutan di areal kedua, diwajibkan membayar denda Rp4,076 triliun.
Keputusan MA kali ini merupakan kemenangan terbesar KLHK dalam sengketa perdata melawan perusahaan perusak lingkungan. Beberapa kali KLHK menang dalam gugat perdata, namun nilai ganti kerugian negara dan dendanya tidak terlalu besar.
September 2015, misalnya MA menolak permohonan kasasi perusahaan pembakar hutan PT Kallista Alam. Perkebunan kelapa sawit itu diharuskan membayar denda dan kerugian negara sebesar Rp366 miliar. Kallista Alam digugat secara perdata oleh KLHK karena telah merusak lingkungan hidup. Yaitu membakar sekitar seribu hektare hutan yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada pertengahan 2012.
Agustus lalu gugatan perdata KLHK terhadap PT National Sago Prima (NSP) juga dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp319 miliar dan membayar biaya pemulihan Rp753 miliar, serta uang denda keterlambatan Rp50 juta per hari.
Keputusan Majelis Hakim MA, yang menghukum PT MPL dengan denda dan ganti rugi negara sebesar Rp16,24 triliun tentu saja patut diapresiasi. Keputusan ini akan membuat perusahaan jeri untuk terlibat dalam perusakan lingkungan, terutama pembalakan liar dan pembakaran hutan dan lahan.
Keputusan MA kali ini juga menjadi tonggak penting bagi penegakan hukum lingkungan. Selama lebih sepuluh tahun terakhir, Indonesia selalu dicemooh dunia internasional lantaran mengekspor asap ke berbagai negara akibat kebakaran hutan dan lahan.
Menegakkan hukum melalui upaya pemidanaan terhadap para terduga pelaku pembakaran hutan dan lahan, tidaklah mudah. Provinsi Riau, menjadi wilayah terparah pada kebakaran hutan dan lahan 2015. Saat itu polisi menetapkan 25 orang tersangka dan 15 perusahaan yang diduga sengaja melakukan pembakaran area konsesianya.
Sebanyak 25 orang (individu) yang disangka terlibat pembakaran, dibawa sampai ke pengadilan. Namun 15 perusahaan akhirnya mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Polda Riau.
Ada berbagai alasan diterbitkannya SP3. Namun yang paling kunci, penyidik tidak menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian korporasi dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Semua perusahaan dinilai sudah berupaya melakukan pemadaman, serta memiliki sarana pemadam.
Banyak yang menilai dalih polisi mengeluarkan SP3 sangat lemah. DPR pun mengecam dan berjanji untuk meminta penjelasan soal tersebut. Namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda penyidikan terhadap keterlibatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan tersebut dilanjutkan kembali.
KLHK akhirnya memilih melakukan gugat perdata terhadap korporasi yang diduga terlibat pembakaran hutan. Selain itu juga meminta KPK untuk mengusut unsur korupsinya bila ditemukan.
Gugatan perdata, memang membuahkan hasil yang menggembirakan, meskipun prosesnya sangat panjang. Sementara KPK memiliki keterbatasan dalam mengusut kasus ini. Sebab, aturan soal penindakan korupsi korporasi sangat minim.
MA saat ini tengah merancang Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang pemidanaan korporasi, termasuk korupsi. Perma itu diharapkan dapat mengisi kekosongan landasan hukum dalam kasus yang melibatkan korporasi.
Bila Perma tersebut terbit, semestinya KPK bisa lebih cepat mengusut unsur korupsi pada perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan dan lahan. Ibaratnya bila pelanggaran hukum lingkungan hidup bisa menjerat korporasi, semestinya pelanggaran terhadap hukum pidana korupsi pun harus bisa menjerat korporasi.
Keberanian hakim MA menghukum berat perusahaan pelaku perusakan alam, rasanya tak cukup hanya dipuji. Namun semestinya bisa menginspirasi KPK dan Polri untuk lebih tajam dalam melakukan penindakan terhadap korporasi pelaku pembakaran hutan.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang berulang, merupakan peristiwa yang menyedot perhatian dunia. Menurut catatan Bank Dunia, kerugian ekonomi Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015 mencapai 16 miliar dolar AS. Sementara, perusahaan yang diduga pelaku, terbebas dari hukuman.
Banyak sindiran yang menuding hukum di negara ini kalah dengan perusahaan perusak lingkungan. Akibatnya negara dan rakyatlah yang paling dirugikan dalam rutinitas kebakaran hutan dan lahan ini.
Mulai saat ini semestinya tidak lagi, hukum lingkungan sudah seharusnya berjalan di relnya. MA telah memulai memberikan hukuman berat terhadap perusahaan alam dalam perkara perdata. Sekaranglah saatnya, penegak hukum lain mengikuti keberanian MA.
Hukum pidana pembalakan dan pembakaran hutan tidak boleh tumpul.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...k-perusak-alam
---
Baca juga dari kategori EDITORIAL :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
3.8K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan