Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Sisi gelap Facebook menangkan Donald Trump, benarkah?
Sisi gelap Facebook menangkan Donald Trump, benarkah?
Seorang perempuan berjalan dengan spanduk calon presiden, Hillary Clinton, dan Donald Trump, saat menonton acara pemilihan yang diselenggarakan Kedutaan Besar AS di Seoul, Korea Selatan.
Nyaris sepekan berlalu sejak Donald Trump memastikan kemenangan dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Protes masih bergulir, banyak orang meragukan kapasitas Trump, terlebih mengingat ide-ide kontroversial yang dia lontarkan kala kampanye.

Di balik kemenangan Trump, ada satu persoalan menarik, ihwal peran Facebook dalam memengaruhi hasil pilpres AS. Media sosial nomor wahid itu dianggap ikut mendongkrak keterpilihan Trump, melalui algoritme mereka.

Lantas, apa itu algoritme? Sederhananya, algoritme Facebook adalah satu prosedur sistematis (komputasi) yang memilih konten untuk pengguna. Konten-konten pilihan itu tersaji di "Kabar Berita" ("News Feed") atau "Beranda" ("Home") masing-masing pengguna.

Jadi algoritme lah yang menampilkan status-status kiriman pengguna lain di "Beranda" Anda.

Untuk menjalankan fungsi itu, algoritme mempertimbangkan banyak hal. Termasuk hitungan kuantitatif, macam seberapa banyak sebuah status mendapat tanda suka (like), atau dibagikan pengguna lain (share). Pun kedekatan Anda dengan pemilik status turut dipertimbangkan.

Cara kerja algoritme itu sering pula dikritik, karena punya kecenderungan menyajikan berita "yang ingin dibaca". Bukan berita "yang perlu dibaca".

Tak heran bila para pengkritiknya, menuding Facebook telah menciptakan "bilik gema" (echo chamber).

Lebih kurang, pengguna Facebook berpotensi menjadi "katak dalam tempurung", karena ada kecenderungan sekadar mengonsumsi konten yang mengakomodir (berkesesuaian) dengan pandangan mereka--dalam kasus pilpres AS tentu berkenaan sikap politik

Dengan model macam itu, algoritme pun dianggap memudahkan peredaran kabar bohong (hoax). Perihal Trump, kabar bohong soal dukungan Paus Fransiskus kepada kandidat Partai Republik itu, bisa jadi contoh.

Laporan BuzzFeed menunjukkan contoh yang lebih kompleks, dengan menyoroti satu kelompok pemuda yang berbasis di Makedonia.

Dari negara bekas Yugoslavia tersebut, sekumpulan pemuda memanfaatkan kelemahan Facebook untuk menyebar kabar bohong, yang menguntungkan Trump--termasuk menciptakan konten-konten negatif soal pesaing Trump, Hillary Clinton.

Mereka membuat situs, dan memproduksi konten untuk dibagikan di Facebook. "Memublikasikan konten sensasional dan bahkan salah (bohong) demi melayani pendukung Trump," demikian pengakuan penggerak situs itu.

Dilansir The Guardian, pengajar dari Indiana University, Fil Menczer, berpendapat bahwa algoritme dan penyebaran kabar bohong macam itu menguntungkan Trump, sekaligus memperuncing polarisasi wacana.

"Jika Anda mendukung Donald Trump dan membenci Hillary Clinton, mudah bagi Anda untuk percaya sepotong kabar bohong tentang hal-hal mengerikan yang dilakukan Hillary," kata Menczer, yang juga pengamat pola penyebaran kabar bohong itu.

Menczer pun menyimpulkan, para pengguna Facebook telah dimanipulasi oleh sistem (algoritme), yang mendukung penyebaran kabar bohong. "Anda juga (bisa) menjadi pelaku (penyebar) karena berbagi kepada teman yang mempercayai Anda, dan membuat 'wabah' itu menjalar," kata dia.

Singkat kata, Facebook turut menyebar kebohongan, dan berkontribusi dalam keberhasilan seorang tokoh kontroversial menduduki singgasana politik tertinggi AS.

Peneliti dari Tow Center for Digital Journalism, Claire Wardle, juga mengkritik Facebook, yang dianggap telah memasuki ranah kerja media--dengan menyeleksi berita bagi pengguna melalui algoritme. Bagi Wardle, "Facebook masuk ke bisnis berita (media) tanpa sistem, dan pedoman editorial."

Kritik-kritik itu bermuara pada harapan agar Facebook lebih punya tanggung jawab dalam menyeleksi konten untuk pengguna. Ada usulan agar Facebook memperbaiki algoritme, membuat kanal pengecekan fakta, atau mempekerjakan manusia dalam menyeleksi konten.
(function(d, s, id) { var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; if (d.getElementById(id)) return; js = d.createElement(s); js.id = id; js.src = "//connect.facebook.net/en_US/sdk.js#xfbml=1&version=v2.6&appId=1643543942554049"; fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs);}(document, 'script', 'facebook-jssdk'));Bantahan Facebook
Di sisi lain, pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Facebook, Mark Zuckerberg, berusaha menepis kritik yang ditujukan kepada layanannya.

Melalui sebuah kiriman di Facebook, Zuckerberg mengatakan, "Sangat tidak mungkin bila kabar bohong bisa mengubah (atau memengaruhi) hasil pemilu."

Zuckerberg juga berusaha meyakinkan publik bahwa pihaknya berusaha keras untuk memerangi kabar bohong. "Kami tidak ingin ada kabar bohong di Facebook. Tujuan kami adalah menunjukkan konten yang paling berarti kepada pengguna," tulisnya, sekaligus berusaha menjabarkan fungsi algoritme.

Pria berusia 32 tahun itu juga mengklaim bahwa lebih dari 99 persen konten yang ada di Facebook adalah berita yang autentik. Bukan kabar bohong.

Zuckerberg boleh saja meyakini bahwa kabar bohong tak serta merta mengubah hasil pemilu. Namun, pandangannya seolah menyampingkan fakta bahwa Facebook punya pengaruh luas dalam mengintervensi pola konsumsi konten di jagat internet.

Sebagai catatan, Facebook punya 1,79 miliar pengguna aktif bulanan. Bahkan, 1,18 miliar di antaranya mengakses Facebook saban hari. Mereka inilah yang sehari-hari dilayani oleh algoritme.

Penelitian Pew Research Center (Mei, 2016) ikut mendukung pernyataan di muka. Riset itu menunjukkan bahwa 62 persen warga AS mengonsumsi berita melalui media sosial. Pun 66 persen pengguna Facebook menempatkan layanan itu sebagai rujukan berita.

Merujuk riset itu, terkesan naif bila menyimak klaim Zuckerberg yang menyebut "sangat tidak mungkin" kabar bohong memengaruhi hasil pilpres AS. Pasalnya, statistik itu menunjukkan bahwa pengguna berpotensi memercayai kabar (bohong atau autentik) yang mereka lihat di Facebook.

Sekadar catatan, bercermin dari pilpres AS, bukan tidak mungkin sisi gelap algoritme Facebook bakal berdampak di Indonesia, yang punya sekitar 88 juta pengguna aktif bulanan.

Gejala itu lamat-lamat terlihat, misal lewat beredarnya aneka kabar bohong jelang Pilkada serentak di tanah air, yang akan digelar Februari 2017. Terutama, kabar-kabar bohong itu berkenaan dengan Pilkada DKI Jakarta, satu wilayah yang sering disebut sebagai "ibu kota media sosial".
Sisi gelap Facebook menangkan Donald Trump, benarkah?


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...trump-benarkah

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Sisi gelap Facebook menangkan Donald Trump, benarkah? Sejumlah suara dunia melunak setelah Trump terpilih Presiden

- Sisi gelap Facebook menangkan Donald Trump, benarkah? Elektabilitas parakandidat dan isu agama pada Pilkada DKI 2017

- Sisi gelap Facebook menangkan Donald Trump, benarkah? Jadi tersangka pun, Ahok tetap bisa selesaikan tahapan Pilkada

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
8.6K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan