- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kenapa Masalah Banjir Tidak Pernah Usai? Inilah Penjelasannya


TS
madpool
Kenapa Masalah Banjir Tidak Pernah Usai? Inilah Penjelasannya
Quote:

Quote:
Spoiler for satu:
Quote:
Agak berlebihan memang judul yang gue gunakan. Banjir gue kaitkan dengan kata "ritus" yang dalam arti KBBI berarti: upacara keagamaan. Lebih berlebihan lagi saat gue menggunakan frase "Orang Urban" yang agak tidak lazim. Mengapa gue menggunakan judul tersebut dalam tulisan ini? Yup, gue juga bakalan bingun menjawab pertanyaan demikian Tapi percayalah, saat lo selesai membaca tulisan ini, lo bakalan tahu apa yang gue maksud.
Van Gennep melihat seorang manusia dari hidupnya tak akan lepas dari pengaruh orang-orang di sekitarnya. Upacara peralihan merupakan salah satu proses daur hidup yang mesti dilalui seseorang guna mencapai kemajuan tingkatan dalam hidup seseorang. Ia namai "Rites de Passage" sebagai suatu ritus yang menggiring setiap perubahan tempat, keadaan, status, dan lain hal ke dalam tiga tahapan. Ketiga tahapan tersebut yakni perpisahan, margin, dan aggregation. Kurang lebih hal demikian juga diamini oleh Victor Turner dalam melihat siklus daur hidup manusia saat menengok upacara peralihan. Turner mendefinisikan tahapannya dalam tiga langkah: seperation, liminal, dan reintegration.
Van Gennep melihat seorang manusia dari hidupnya tak akan lepas dari pengaruh orang-orang di sekitarnya. Upacara peralihan merupakan salah satu proses daur hidup yang mesti dilalui seseorang guna mencapai kemajuan tingkatan dalam hidup seseorang. Ia namai "Rites de Passage" sebagai suatu ritus yang menggiring setiap perubahan tempat, keadaan, status, dan lain hal ke dalam tiga tahapan. Ketiga tahapan tersebut yakni perpisahan, margin, dan aggregation. Kurang lebih hal demikian juga diamini oleh Victor Turner dalam melihat siklus daur hidup manusia saat menengok upacara peralihan. Turner mendefinisikan tahapannya dalam tiga langkah: seperation, liminal, dan reintegration.
Spoiler for dua:
Quote:
Spoiler for tiga:
Quote:
Secara sederhana, saat manusia akan memasuki tahapan selanjutnya dalam proses hidup atau ber-inisiasi, ia akan melalui tiga tahapan. Pertama ia akan "dihilangkan" status terdahulunya, diberi "wejangan-wejangan" tentang hak dan kewajiban dan beberapa petunjuk ritual inti, dan terakhir ia secara resmi dianggap terlahir kembali menjadi manusia yang baru dan lepas dari masa lalunya.
Orang urban dalam tulisan ini ialah mereka yang melalukan urbanisasi dari desa ke kota. Tujuannya jelas, merantau untuk mencari nafkah. Bagi gue, orang-orang inilah yang juga telah melakukan proses inisiasi atau peralihan dalam hidupnya. Seseorang tersebut yang dalam tahapannya telah melalui tiga tahapan: 1. Meninggalkan kehidupannya di desa, 2. Pergi ke Jakarta sebagai orang baru dan berusaha keras memperoleh pekerjaan, dan 3. Maka jadilah orang urban. Sebagai pelengkap cap orang urban, di akhir pekan manusia demikian akan berlibur ke puncak Bogor atau ke Bandung sekedar belanja-belanja dan menghilangkan penat.
Seperti kita ingat, dalam proses daur hidup tersebut orang-orang yang telah melalui tahapan-tahapan peralihan akan kehilangan apa yang ia miliki sebelum proses daur hidup dilakukan. Seorang inisian akan menjadi individu baru dan memiliki seperangkat hak dan kewajiban yang baru. Nah, bagi gue hal itu tak pernah dan mungkin tak akan terjadi pada apa yang gue sebut orang urban. Mengapa? Jawabannya: Mudik.
Mudik sudah kadung menjadi tradisi di Indonesia. Saat hari raya, orang-orang dari kota kembali ke asal mereka untuk berkumpul bersama merayakan hari suci keagamaan. Betul bahwa mudik tak melulu terjadi di Indonesia, mudik pula dimiliki masyarakat Filippina yang juga pulang kampung saat hari raya keagamaan mereka. Beberapa negara pun melakukannya. Memang tak bisa dibandingkan dengan Indonesia atau Filippina dari hal kuantitas manusia-manusia yang ikut acara ini.
Mudik, sejatinya memberikan jembatan tegas antara kota dan desa. Kota melulu dikatakan sebagai "culture" yang lebih menekankan aspek manusia sebagai penggeraknya, dan desa dikatakan "nature" karena lebih digerakkan oleh kekuatan-kekuatan alam. Maka, lahirlah pandangan umum bahwa di desa pasti kita akan melihat pemandangan sawah yang indah, hutan-hutan yang lebat, dan pegunungan yang menjulang. Sementara di kota, bangunan-bangunan beton, jalan layang, dan mungkin kereta bawah tanah menjadi pandangan alamiah kita.
Secara hermeneutik, mudik adalah proses mengembalikan diri ke arah kebeningan hati, kedamaian sikap, dan kepedulian terhadap sesama. Mengapa? Tentu jawabannya karena saat seseorang berada di kota, ia cenderung mengutamakan kepentingan-kepentingan keduniawian, seperti mencari materi misalnya. Sikap hati cenderung panas dalam persaingan, orang urban memiliki kecenderungan tak peduli terhadap sesama. Baginya, memberi recehan bagi para gelandangan sudah merupakan kepedulian hidup. Tak perlu tahu menahu apa sebenarnya penderitaan hidup manusia-manusia yang kurang beruntung.
Dan oleh karenanya, manusia kota atau orang urban adalah, ---meminjam istilah Kuntowijoyo--- manusia yang melulu "I Only Work Here." Maka dengan demikian, prosesi mudik ialah prosesi ---apa yang Umar kayan katakan--- sebagai ritual tradisi berziarah. Mengenang yang lalu-lalu sambil merefleksikan apa yang telah kita peroleh di perkotaan. Tak heran, dengan sikap demikian, saat mudik, bisa saja dikatakan sebagai proses "balik ke rumah" meskipun orang-orang yang mudik kebanyakan memiliki rumah juga di perkotaan. Toh rumah di kota ia anggap hanya sebagai payung besar untuk berteduh, bukan rumah yang menentramkan selayaknya rumah di kampung halaman.
Lalu, apa hubungannya dengan banjir? Dengan adanya mudik yang merusak proses ritus peralihan seperti yang gue jelaskan di atas membuat orang urban bukan merupakan manusia-manusia kota seutuhnya. Orang urban hanyalah mereka manusia-manusia desa yang menumpang hidup di kota, hanya untuk mencari nafkah atau materi semata. Sama dengan asal kata mudik, yakni udik yang berarti kampung/desa. Manusia yang mudik dikatakan kembali ke desa, kembali ke tempat mereka masing-masing. Atau bisa dikatakan mereka kembali ke rumah. Kota, seperti Jakarta bukan merupakan rumah mereka. Jakarta hanyalah sebuah tempat penampungan raksasa tempat mereka menginap sekedar melepas lelah.
Maka, ungkapan "kan banjir udah biasa" menjadikan sebuah statment kunci melihat fenomena banjir. Biasa karena memang Jakarta bukan rumah untuk ditinggali, ia hanya sekedar tempat untuk memungut rejeki. Kotor, rusak, sampah, dan banjir akan dianggap angin lalu saja. Toh ini bukan rumah! Sikap demikian menjadi antipati terhadap masalah-masalah banjir yang saban tahun terjadi, bukan dianggap sebagai bencana yang musti segera dicarikan jalan keluar permasalahannya.
Proses inisiasi yang diamini Victor Turner dan Van Gennep tak akan dan tak pernah terjadi dalam diri manusia-manusia urban. Orang urban tak bisa melampaui tiga tahapan prosesi inisiasi. Karena mudik mementalkan mereka kembali menjadi manusia-manusia "udik." Jadi jangan heran, tak pernah ada orang kota di Jakarta. Mereka cuma sekumpulan orang desa yang numpang cari makan di hamparan beton-beton ibu kota.
Orang urban dalam tulisan ini ialah mereka yang melalukan urbanisasi dari desa ke kota. Tujuannya jelas, merantau untuk mencari nafkah. Bagi gue, orang-orang inilah yang juga telah melakukan proses inisiasi atau peralihan dalam hidupnya. Seseorang tersebut yang dalam tahapannya telah melalui tiga tahapan: 1. Meninggalkan kehidupannya di desa, 2. Pergi ke Jakarta sebagai orang baru dan berusaha keras memperoleh pekerjaan, dan 3. Maka jadilah orang urban. Sebagai pelengkap cap orang urban, di akhir pekan manusia demikian akan berlibur ke puncak Bogor atau ke Bandung sekedar belanja-belanja dan menghilangkan penat.
Seperti kita ingat, dalam proses daur hidup tersebut orang-orang yang telah melalui tahapan-tahapan peralihan akan kehilangan apa yang ia miliki sebelum proses daur hidup dilakukan. Seorang inisian akan menjadi individu baru dan memiliki seperangkat hak dan kewajiban yang baru. Nah, bagi gue hal itu tak pernah dan mungkin tak akan terjadi pada apa yang gue sebut orang urban. Mengapa? Jawabannya: Mudik.
Mudik sudah kadung menjadi tradisi di Indonesia. Saat hari raya, orang-orang dari kota kembali ke asal mereka untuk berkumpul bersama merayakan hari suci keagamaan. Betul bahwa mudik tak melulu terjadi di Indonesia, mudik pula dimiliki masyarakat Filippina yang juga pulang kampung saat hari raya keagamaan mereka. Beberapa negara pun melakukannya. Memang tak bisa dibandingkan dengan Indonesia atau Filippina dari hal kuantitas manusia-manusia yang ikut acara ini.
Mudik, sejatinya memberikan jembatan tegas antara kota dan desa. Kota melulu dikatakan sebagai "culture" yang lebih menekankan aspek manusia sebagai penggeraknya, dan desa dikatakan "nature" karena lebih digerakkan oleh kekuatan-kekuatan alam. Maka, lahirlah pandangan umum bahwa di desa pasti kita akan melihat pemandangan sawah yang indah, hutan-hutan yang lebat, dan pegunungan yang menjulang. Sementara di kota, bangunan-bangunan beton, jalan layang, dan mungkin kereta bawah tanah menjadi pandangan alamiah kita.
Secara hermeneutik, mudik adalah proses mengembalikan diri ke arah kebeningan hati, kedamaian sikap, dan kepedulian terhadap sesama. Mengapa? Tentu jawabannya karena saat seseorang berada di kota, ia cenderung mengutamakan kepentingan-kepentingan keduniawian, seperti mencari materi misalnya. Sikap hati cenderung panas dalam persaingan, orang urban memiliki kecenderungan tak peduli terhadap sesama. Baginya, memberi recehan bagi para gelandangan sudah merupakan kepedulian hidup. Tak perlu tahu menahu apa sebenarnya penderitaan hidup manusia-manusia yang kurang beruntung.
Dan oleh karenanya, manusia kota atau orang urban adalah, ---meminjam istilah Kuntowijoyo--- manusia yang melulu "I Only Work Here." Maka dengan demikian, prosesi mudik ialah prosesi ---apa yang Umar kayan katakan--- sebagai ritual tradisi berziarah. Mengenang yang lalu-lalu sambil merefleksikan apa yang telah kita peroleh di perkotaan. Tak heran, dengan sikap demikian, saat mudik, bisa saja dikatakan sebagai proses "balik ke rumah" meskipun orang-orang yang mudik kebanyakan memiliki rumah juga di perkotaan. Toh rumah di kota ia anggap hanya sebagai payung besar untuk berteduh, bukan rumah yang menentramkan selayaknya rumah di kampung halaman.
Lalu, apa hubungannya dengan banjir? Dengan adanya mudik yang merusak proses ritus peralihan seperti yang gue jelaskan di atas membuat orang urban bukan merupakan manusia-manusia kota seutuhnya. Orang urban hanyalah mereka manusia-manusia desa yang menumpang hidup di kota, hanya untuk mencari nafkah atau materi semata. Sama dengan asal kata mudik, yakni udik yang berarti kampung/desa. Manusia yang mudik dikatakan kembali ke desa, kembali ke tempat mereka masing-masing. Atau bisa dikatakan mereka kembali ke rumah. Kota, seperti Jakarta bukan merupakan rumah mereka. Jakarta hanyalah sebuah tempat penampungan raksasa tempat mereka menginap sekedar melepas lelah.
Maka, ungkapan "kan banjir udah biasa" menjadikan sebuah statment kunci melihat fenomena banjir. Biasa karena memang Jakarta bukan rumah untuk ditinggali, ia hanya sekedar tempat untuk memungut rejeki. Kotor, rusak, sampah, dan banjir akan dianggap angin lalu saja. Toh ini bukan rumah! Sikap demikian menjadi antipati terhadap masalah-masalah banjir yang saban tahun terjadi, bukan dianggap sebagai bencana yang musti segera dicarikan jalan keluar permasalahannya.
Proses inisiasi yang diamini Victor Turner dan Van Gennep tak akan dan tak pernah terjadi dalam diri manusia-manusia urban. Orang urban tak bisa melampaui tiga tahapan prosesi inisiasi. Karena mudik mementalkan mereka kembali menjadi manusia-manusia "udik." Jadi jangan heran, tak pernah ada orang kota di Jakarta. Mereka cuma sekumpulan orang desa yang numpang cari makan di hamparan beton-beton ibu kota.
Quote:
Sumber: Madzae.com
Gimana gan, agan kebanjiran ngga?
tetep keren meskipun kebanjiran gan

0
2.5K
Kutip
25
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan