Kalimat pamungkas ini sering dipake segilintir orang yang ogah banget kalo ngomongin agama, yang notabennya ga akan habis dibahas semalam suntuk. Tapi buat segilintir orang lainnya, topik ini jadi topik emas, apalagi untuk kaum yang gue sebut kaum agamais dan moralis "garis keras". Mereka inilah orang-orang yang umumnya "menggiring" opini yang dianggep berseberangan secara agamawi. Tapi apakah semua orang termasuk kaum agamais? Emm, kayanya ga deh. Akhlak sendiri menurut gue dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, ada yang jor-joran, ada juga yang adem-ayem tapi pas, ada juga yang kolaborasi dari keduanya. Menurut gue gaada yang salah dengan cara-cara itu asalkan realistis dengan topik apa yang mereka hadapi.



Beberapa saat yang lalu contohnya, ibukota "diributkan" dengan demo besar-besaran. Yap, demo aksi damai 4 November silam dengan tuntutan mendesak pemerintah mempenjarakan seorang yang mereka anggap "cina kafir" tidak pantas mempimpin ibukota dengan dugaan penistaan agama yang beliau lakukan. Apakah salah dengan aktivitas demo ini? Gak salah menurut gue, ini sah2 aja untuk sebuah negara demokrasi yang sudah bereformasi. Tapi realistis-kah untuk sebuah negara hukum dengan menuntut sang terduga untuk segera dipenjarakan tanpa memandang proses hukum yang berlaku? Tentu ga, karena kita juga harus menghargai dan menjunjung tinggi proses hukum yang sudah berjalan. Bukan proses hukum yang mau gue bahas, bukan juga mana yang lebih benar dan mana yang salah yang mau gue bahas. Tapi kesehatan akal kita dalam menanggapi sebuah problematika yang terjadi belakangan ini. Lo harus lebih cerdas dalam memilah mana doktrin yang baik dan logis, serta mana doktrin yang menurut lo ga masuk akal. Dewasa ini, masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk memilih pemimpin yang nampaknya arif dengan balutan doktrin agama tetapi penuh dengan segala kepentingan busuk didalamnya atau pemimpin yang di-kafir-kan oleh segelintir orang tetapi banyak aksi nyata yang dapat kita nilai dan kita lihat sekarang.

Udah cukup banyak bumbu-bumbu politik yang beraroma SARA yang digunakan serta-merta dalam proses berdemokrasi yang umumnya berujung sebuah distorsi sosial. Kita dituntut lebih cerdas untuk mengkritisinya, karena kita, bangsa Indonesia. Tidak ada Indonesia tanpa Islam, tidak ada Indonesia tanpa Kristen, tidak ada Indonesia tanpa suku Jawa, tidak ada Indonesia tanpa suku Papua. Tidak ada kita tanpa aku dan kamu, eaaaa....