Jakarta, HanTer - Direktur Kajian Hukum Indonesia Development Monitoring (IDM), Dewinta Pringgodani mengatakan, menjelang aksi unjuk rasa besar-besaran pada 4 November mendatang, semua pihak agar bisa menahan diri untuk tidak terprovokasi isu-isu yang tidak bertanggungjawab.

Aksi unjuk rasa itu sendiri dipicu ketidakpuasan sejumlah elemen organisasi keagamaan atas permintaan maaf Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diduga telah melecehkan agama dan menghina ulama.

"Harus disikapi dengan kepala dingin," kata Dewinta melalui siaran persnya, Senin (31/10/2016).

Di sisi lain, Dewinta mengapresiasi tahapan Pilgub DKI 2017 yang sudah memasuki tahapan kampanye dengan mulus.

Namun sayangnya langkah hajatan demokrasi Jakarta yang sudah maju kedepan tidak diiringi dengan hilangnya isu SARA, yang mewarnai Pilgub DKI kali ini.

Tidak heran sorotan media seolah terfokus di ibukota, padahal Pilkada 2017 dilakukan serentak di 101 daerah. Bukan hanya kamera media yang seolah tersentral ke Jakarta, namun juga puluhan jutaan pasang mata warga seluruh Indonesia tetuju ke ibukota. Hal itu dikarenakan isu SARA yang tidak henti-hentinya diproduksi di Jakarta.

Kondisi ini makin dipanaskan dengan rencana aksi massa pada 4 November. Rencana aksi massa itu merupakan kegiatan lanjutan dari aksi massa dua minggu lalu.

Bahkan beredar kabar melalui media sosial yang menyatakan aksi massa 4 November akan membawa massa yang lebih banyak dari sebelumnya. Dibalik isu tersebut, terendus pula kabar akan adanya massa yang anarkis yang akan membuat aksi menjadi chaos.

Menyikapi hal tersebut, Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan menyatakan kesiapan untuk menjaga keamanan Jakarta pada 4 November.

Namun pernyataan Kapolda Metro Jaya tersebut dipelintir oleh oknum tidak bertanggungjawab. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya isu akan adanya kebijakan tembak ditempat bagi massa yang melakukan tindakan anarkis.

Tidak sampai di situ, beredar isu bahwa Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga telah menetapkan status siaga. Sederetan informasi yang demikian menjadikan institusi Polri sebagai kambing hitam dan sangat merugikan Korps Bhayangkara.

"Saya menilai seluruh informasi itu hoax. Informasi itu sengaja dibuat untuk menjatuhkan citra Polri. Tidak mungkin Polri yang bertugas menciptakan keamanan akan memicu kerusuhan dengan melakukan tembak di tempat," tegas Dewinta.

Dikatakan Dewinta, sikap humanis Kapolda terlihat saat terjun mengamankan demo pada dua pekan lalu. "Waktu demo dua minggu lalu, Kapolda bahkan tanpa canggung dapat langsung berorasi di atas mobil pick up bersams para pendemo," cetus Dewinta.


Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono, juga telah mengklarifikasi pemberitaan di beberapa media yang menyebutkan bahwa Kapolda memerintahkan anggotanya untuk menembak di tempat pelaku demo anarkis.

"Tidak ada perintah untuk menembak di tempat dalam pelaksanaan pengamanan demo. Justru Polri dilarang membawa senjata api saat pengamanan demo atau unjuk rasa tersebut, apalagi menembak di tempat," tegas Awi, Minggu (30/10/2016).


Terkait hal itu, Dewinta menyakini Kapolri pun tidak ingin adanya perang saudara.
"Saya paham sekali Pak Tito tidak akan pernah menginginkan perang saudara. Kalau Polri melakukan tembak ditempat, maka Tragedi 98 bisa terulang dan Pak Tito tidak suka," lanjut Dewinta.

Dewinta menambahkan, semua pihak juga tidak menginginkan Tragedi 98 terjadi lagi di ibukota.

"Semua pihak pasti tidak ada yang ingin 98 terjadi lagi, perang saudara dimana-mana. Maka saya yakin semua pihak termasuk yang akan melakukan demo harus bersikap aksi damai seperti yang diharapkan masyarakat. Karena kita semua menginginkan kondisi yang kondusif, agar ekonomi dapat makin baik," pungkas Dewinta.

http://nasional.harianterbit.com/nas...-Bisa-Terulang

rencana PLAY VICTIM lagi kayaknya, buat kaum ...[gak bisa disebut namanya,tar dibanned]
nanti biar dapet simpati internasional...standar banget....oooh Terguncang