Melupakan wajah, kata orang, lebih sulit ketimbang melalaikan nama. Sharbat Gula mungkin satu yang bisa dikenai cetusan itu.

Pada 1984, Steve McCurry, seorang jurnalis foto Amerika, menjepret wajah perempuan Afghanistan dimaksud di sebuah lokasi pengungsian di Pakistan. Usia sang gadis Phastun sekitar 12 tahun. Ia satu dari jutaan muhajir asal Afghanistan yang cari aman di Pakistan demi menghindarkan diri dari konflik domestik setelah adanya invasi pasukan Uni Soviet pada 1979.

Belum lewat setahun, foto Sharbat lantas muncul sebagai sampul majalah National Geographic edisi Juni 1985. Dunia pun lekas-lekas menyediakan ingatan bagi paras yang berkesan celemotan, tapi bermata tajam; sepasang mata hijau yang seolah menolak pejam.

Mata yang menghantui sekaligus dihantui.

Kini usia Sharbat kiranya sudah 40an. Dan ia berada di tahanan polisi. Sharbat disangka memalsukan kartu identitas diri.

Badan Penyelidik Federal Pakistan (FIA) kabarnya sudah menyigi gerak-gerik Sharbat sejak Februari 2015. Saat itu, ia dan dua pria yang diaku sebagai putra ketahuan memiliki KTP Pakistan. Quartz menulis bahwa Sharbat telah memasukkan data dan informasi bodong dengan memakai nama Sharbat Bibi bagi Otoritas Pencatatan Basis Data Nasional (NADRA).

Setelah dua tahun dalam daftar usut, Sharbat dibekuk.

Arshad Yusufzai, wartawan di Peshawar yang dekat dengan Sharbat sekaligus bekerja sebagai penerjemah untuk National Geographic, mengatakan bahwa "ada pakar yang bilang (Sharbat) mungkin bebas. Tapi, ada pula yang bilang dia bisa dipenjara selama tujuh hingga 12 tahun".

Seorang pejabat NADRA, Shahid Ilyas, menyebut bahwa ancaman denda untuk Sharbat, USD5.000 serta penjara hingga 14 tahun. Masih menurutnya, seperti diberitakan The Guardian, FIA pun sedang berupaya mencokok tiga pejabat NADRA yang diduga bertanggung jawab atas urusan KTP Sharbat.

Warta The Wall Street Journal mengungkap bahwa Sharbat termasuk seorang di antara ribuan pengungsi Afghanistan yang mengantongi dokumen gelap untuk kewarganegaraan Pakistan. Dokumen tersebut membuka sejumlah hak bagi pengungsi seperti kepemilikan properti dan usaha.

Selama bertahun-tahun, para pengungsi Afghanistan mengeluhkan pelecehan oleh polisi dan para tukang peras tersebab status mereka sebagai pengungsi.

Urusan KTP palsu jadi sorotan dalam beberapa tahun belakangan karena pemegangnya dianggap mengancam keamanan negara. Apalagi setelah pemimpin Taliban Afghanistan, Mullah Akhtar Mansour, punya kartu identitas dengan nama samaran dan bepergian membawa paspor Pakistan.

Ia tewas akibat serangan pesawat nirawak Amerika Serikat di Pakistan pada Mei.

Sementara itu, The New York Times memberitakan bahwa sekitar 1,5 juta orang Afghanistan di Pakistan telah memiliki bukti pencatatan. Dengan bukti itu, mereka akan selamat dari deportasi.

Sekitar sejuta lainnya yang tidak memiliki bukti termaksud terpaksa mengusahakan kartu identitas palsu.

Otoritas Pakistan bekerja keras mencabut atau memblokir ribuan kartu identitas yang diperoleh secara gelap oleh warga asing. Sharbat masuk dalam jaring pihak berwenang itu.

Afghanistan sendiri masih menjadi pemasok utama pengungsi bagi Pakistan. Pada 2015, 250 ribu pengungsi Afghanistan di Pakistan pulang ke kampung halamannya. Sebagian besar dari mereka baru kali pertama mengalami tempat asalnya. Tiga perempatnya lahir di Pakistan.

Pakistan masih terus mencoba untuk membujuk para pengungsi Afghanistan untuk kembali ke rumah masing-masing. Pihak berwenang pun berupaya melakukan pencatatan identitas pengungsi. Di tengah kebingungan, banyak pengungsi seperti Sharbat beroleh dokumen palsu.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...n-sharbat-gula

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Pengadilan Hong Kong putar rekaman pembunuhan perempuan Indonesia

- Forwot umumkan 5 kandidat sepeda motor terbaik 2016

- TVS perkenalkan motor konsepdan terbaru di IMOS 2016