Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution (kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyampaikan laporan pencapaian dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla bidang ekonomi di Gedung Bina Graha, Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Pencapaian program amnesti pajak periode pertama ternyata belum mampu mengangkat peringkat pembayaran pajak di Indonesia.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebut penerimaan pajak Indonesia baru mencapai 10,7 persen dari produk domestik bruto (PDB), turun dari 11,4 persen pada tahun 2012.

Rendahnya penerimaan tersebut akhirnya menyeret Indonesia ke posisi 148 dalam peringkat penerimaan pajak suatu negara, jauh di bawah Malaysia, Thailand, Filipina, dan Tiongkok. Indonesia hanya lebih baik dari India dan Vietnam yang masing-masingnya berada di posisi 157 dan 168.

Dalam surveinya yang bertajuk OECD Economic Surveys Indonesia 2016, diketahui bahwa dari 260 juta jiwa penduduk hanya ada 27 juta wajib pajak terdaftar dan 900.000 di antaranya yang benar-benar membayar pajak mereka.

OECD mengatakan penerimaan pajak yang lebih besar sangat krusial bagi pemerintah untuk memainkan peran yang lebih besar dalam berbagai hal seperti pengamanan sosial, pembangunan infrastruktur, dan memperbaiki daya saing warga.

Meski mengakui program pengampunan pajak bisa mendorong penerimaan, OECD memperingatkan pemerintah soal potensi penggelapan pajak pascaprogram ini selesai. Sebab, mengacu pada pengalaman di beberapa negara, program ini bisa mendorong terjadinya penggelapan pajak di masa mendatang.

Sekretaris Jenderal OECD, Angle Gurria, dalam Katadata, menyarankan pemerintah agar mengingatkan masyarakat tentang kebijakan pertukaran informasi secara otomatis, atau yang dikenal dengan automatic exchange of information (AEOI).

"Pemerintah bisa menerapkan penalti penuh jika menemukan ada harta yang disembunyikan," ujarnya.

Pemerintah pun disarankan untuk meningkatkan utang guna memenuhi pendanaan infrastruktur. Menurut Gurria, pinjaman pemerintah yang baru mencapai 27 persen terhadap PDB masih tergolong kecil dibandingkan beberapa negara lain yang utangnya nyaris menyentuh 100 persen dari PDB.

Menambah utang, kata dia, bukanlah hal krusial sepanjang pemerintah menggunakannya untuk hal produktif dan mengelolanya dengan baik. Apalagi, proyek yang dibangun berpotensi memiliki potensi fiskal yang besar.

Menanggapi ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengaku telah menyiapkan lima strategi fiskal untuk mendorong penerimaan pajak. Pertama, mendorong dana repatriasi amnesti pajak. "Saya sedang menganalisis agar dana repatriasi menjadi sumber pembiayaan pembangunan," sebut Sri Mulyani, Senin (24/10/2016).

Kedua, memantau kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapatkan dana Penyertaan Modal Negara (PMN). Ketiga, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu akan meninjau kembali Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk kalangan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Keempat, kebijakan fiskal juga akan dipakai untuk memangkas kesenjangan perekonomian antardaerah. Sebab, di era harga komoditas yang rendah, beberapa daerah yang bergantung dengan usaha di bidang komoditas mengalami perlambatan ekonomi.

Kelima, pemerintah akan mengandalkan penyerapan anggaran belanja--yang diyakini Sri Mulyani bisa mencapai 95 hingga 100 persen--kementerian dan lembaga agar menjadi stimulus perekonomian.

Menambahkan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, menyebut cara lain yang juga bisa dilakukan adalah memangkas subsidi besar-besaran. "Itu awal titik ini. Kemudian pengeluaran didorong infrastruktur, kedua didorong ke pendidikan dan kesehatan, tiga itu reformasi fiskal kita," jelas Darmin.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...u-jadi-andalan

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Tudingan Jessica pada pembelaan terakhirnya

- Temulawak dan tolak angin RI-1

- Desainer Barli Asmara: Presiden butuh konsultan fashion