- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Dilema Penghayat Kepercayaan


TS
dewaagni
Dilema Penghayat Kepercayaan
Dilema Penghayat Kepercayaan
Ariwan K Perdana
29 Sep 2016
641 Views
1
Shares

Kalau kita pergi ke Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, kita akan menemui orang-orang Marapu yang hidup dalam konsep kehidupan yang bagi orang-orang urban masa kini akan terasa tidak kekinian. Konsep hidup orang-orang modern yang menyandarkan segalanya pada pengakuan diri tidak hinggap dalam pemahaman orang-orang Marapu.
Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun orang Marapu hidup seperti dalam pengasingan di negeri sendiri, menerima status keberadaan mereka dalam area antara ada dan tiada. Dari tahun ke tahun semakin terkikis jumlahnya oleh sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik yang menutup hampir segala kemungkinan bagi mereka untuk dapat bertahan sebagai sebuah entitas yang membentuk masyarakat.
Bagi mereka, pilihannya hanya ada dua: mengikuti arus sistem yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk mempertahankan keberadaannya sebagai orang Marapu, atau bertahan sebagai orang Marapu dengan resiko tidak mendapatkan akses pelayanan terhadap hak-haknya. Dua-duanya sama-sama tidak enak.
Anak-anak Marapu untuk dapat bersekolah harus menggunakan identitas agama lain yang artinya mereka akan mendapatkan pendidikan yang sama sekali tidak menyentuh substansi kedalaman pemahaman sebagai orang Marapu. Di sisi lain, para orang tua atau sesepuh Marapu tentu tidak bisa hidup selamanya untuk terus mempertahankan kepercayaan warisan leluhurnya.
Kemudian berkat kilau pesona gaya kehidupan modern yang masif menerpa, para remaja Marapu kini juga tak lagi terlalu peduli atas orisinalitas asal-usul mereka sebagai orang Marapu. Kalau sudah begini, mau mencoba bertahan dengan cara bagaimana lagi?
Kehidupan yang jauh dari pengakuan itu tak hanya menjadi milik orang Marapu. Sebagai wujud komunitas penghayat kepercayaan, Marapu hanya satu dari sekian banyak komunitas penghayat kepercayaan yang tersebar di penjuru Nusantara.
Apa yang mereka alami sama. Ada semacam kegelapan spiritual atau kegelapan teologis yang melemparkan mereka ke pinggiran dan kemudian berdampak pada kegelapan sosial yang semakin memarjinalkan mereka dari kehidupan masyarakat negeri ini.
Kebahagiaan Semu
Jika tingkat kebahagiaan rakyat sebuah negara diukur dari seberapa mampu negara itu memenuhi kebutuhan rakyatnya, para penganut kepercayaan ini tentu tidak masuk dalam kategori bahagia. Menjadi semakin rumit ketika tingkat kebahagiaan kemudian dikaitkan dengan tingkat kemajuan negara, sementara indikator kemajuan itu sendiri belum pernah disepakati antara negara dengan rakyatnya.
Tidak diketahui-–misalnya---kemajuan dan kebahagiaan macam apa yang sebenarnya pas buat negara Indonesia.
Ukuran yang sama-sama diamini kemudian adalah ukuran yang meletakkan kemajuan dan kebahagiaan melulu pada takaran ekonomi. Dan ini bersifat horizontal. Sementara seringkali yang bersifat horizontal tidak pernah nyambung dengan yang vertikal.
Mengeluarkan uang atau harta untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya adalah sebuah kebahagiaan pada garis horizontal sementara mengeluarkan uang tanpa memikirkan jasa imbalan balik atau something in return adalah kebahagiaan vertikal.
Sementara bagi mereka penghayat kepercayaan, akan sulit mengukur tingkat kebahagiaan meskipun sudah menggunakan kedua tolok ukur vertikal-horizontal jika mereka tetap bertahan dengan keyakinannya. Secara vertikal atau spiritual mereka dianggap tidak ada. Secara horizontal atau sosial, mereka dikucilkan.
Meskipun ada yang kemudian memilih menggunakan identitas spiritual lain semata-mata demi memudahkan hidupnya di negara ini, itu hanya memberikan kelegaan secara horizontal. Yang penting bisa sekolah, bisa mendapatkan pekerjaan, bisa mendapat layanan kesehatan dan sebagainya. Artinya mereka tetap harus sembunyi.
Soal sembunyi ini juga tidak hanya untuk memudahkan hidup mereka dalam soal mengakses layanan dan hak, tapi juga untuk menghindarkan mereka dari kemungkinan-kemungkinan menerima prasangka buruk dan mengalami tindakan diskriminatif.
Pada kondisi ini, kebingungan para penganut kepercayaan lokal terhadap fungsi negara dalam mengakomodir dan menjamin kebebasan dalam berkeyakinan selalu mengemuka. Dalam hubungannya dengan kebutuhan kedaulatan diri, mereka juga tak punya ruang untuk berdaulat, memutuskan dan menentukan pilihan atas diri mereka sendiri karena terbentur tembok birokrasi yang tidak memungkinkan mereka untuk berdiri sebagai suatu kaum yang diterima.
Keadilan dan Keharmonisan
Negara kerap dimaknai sebagai wadah untuk mengadakan keadilan. Maka keadilan memang menjadi kunci utama untuk membuka pintu keharmonisan hidup bermasyarakat. Kalau pemerintahnya mampu mewujudkan tata kelola yang pas dan adil bagi keberlangsungan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat, maka dengan adanya banyak agama atau kepercayaan di negeri ini, niscaya itu semua akan menjadi proses yang diyakini dan dijalani bersama dalam jejak langkah menuju peradaban yang manusiawi.
Ada baiknya juga jika mulai sekarang kita sendiri menghitung seberapa banyak software psikis maupun hardware fisik dalam diri kita yang bisa dikonversikan menjadi elemen-elemen sistem kebersamaan atau persaudaraan dalam interaksi kehidupan.
Karena dengan misalnya menggunakan asumsi dasar bahwa setiap orang membutuhkan ketenangan dalam hidupnya, maka makna kebahagiaan sebenarnya terletak pada bagaimana bisa membuat sesama kita merasa menjadi manusia dengan diri kita sendiri terlebih dahulu harus menjadi manusia.
Kalaupun kemudian mengelola kompleksitas keragaman spiritual yang maha banyak di jajaran pulau Nusantara ini terasa tidak mudah, justru di situlah tantangannya. Karena jika kondisi itu bisa dikelola dengan pantas dan indah, sangat mungkin negara Indonesia dan bangsa-bangsa yang terkandung di dalamnya bisa menjadi pemimpin dunia berkat keunggulannya dalam menampung entitas-entitas spiritual yang beragam.
Ini tentunya selaras dengan tujuan dari didirikannya negara yang bertuhan dan mengakui agama. Karena agama sebenarnya adalah cara yang bisa digunakan manusia untuk menemukan Tuhan.
Jadi jangan sampai muncul satu pertanyaan di benak komunitas penghayat kepercayaan di negeri ini yang meletakkan mereka pada posisi yang serba salah alias bingung yaitu, negara bertuhan itu yang kayak gimana sih?
#LombaEsaiKemanusiaan
http://www.qureta.com/post/dilema-pe...at-kepercayaan
Ariwan K Perdana
29 Sep 2016
641 Views
1
Shares

Kalau kita pergi ke Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, kita akan menemui orang-orang Marapu yang hidup dalam konsep kehidupan yang bagi orang-orang urban masa kini akan terasa tidak kekinian. Konsep hidup orang-orang modern yang menyandarkan segalanya pada pengakuan diri tidak hinggap dalam pemahaman orang-orang Marapu.
Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun orang Marapu hidup seperti dalam pengasingan di negeri sendiri, menerima status keberadaan mereka dalam area antara ada dan tiada. Dari tahun ke tahun semakin terkikis jumlahnya oleh sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik yang menutup hampir segala kemungkinan bagi mereka untuk dapat bertahan sebagai sebuah entitas yang membentuk masyarakat.
Bagi mereka, pilihannya hanya ada dua: mengikuti arus sistem yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk mempertahankan keberadaannya sebagai orang Marapu, atau bertahan sebagai orang Marapu dengan resiko tidak mendapatkan akses pelayanan terhadap hak-haknya. Dua-duanya sama-sama tidak enak.
Anak-anak Marapu untuk dapat bersekolah harus menggunakan identitas agama lain yang artinya mereka akan mendapatkan pendidikan yang sama sekali tidak menyentuh substansi kedalaman pemahaman sebagai orang Marapu. Di sisi lain, para orang tua atau sesepuh Marapu tentu tidak bisa hidup selamanya untuk terus mempertahankan kepercayaan warisan leluhurnya.
Kemudian berkat kilau pesona gaya kehidupan modern yang masif menerpa, para remaja Marapu kini juga tak lagi terlalu peduli atas orisinalitas asal-usul mereka sebagai orang Marapu. Kalau sudah begini, mau mencoba bertahan dengan cara bagaimana lagi?
Kehidupan yang jauh dari pengakuan itu tak hanya menjadi milik orang Marapu. Sebagai wujud komunitas penghayat kepercayaan, Marapu hanya satu dari sekian banyak komunitas penghayat kepercayaan yang tersebar di penjuru Nusantara.
Apa yang mereka alami sama. Ada semacam kegelapan spiritual atau kegelapan teologis yang melemparkan mereka ke pinggiran dan kemudian berdampak pada kegelapan sosial yang semakin memarjinalkan mereka dari kehidupan masyarakat negeri ini.
Kebahagiaan Semu
Jika tingkat kebahagiaan rakyat sebuah negara diukur dari seberapa mampu negara itu memenuhi kebutuhan rakyatnya, para penganut kepercayaan ini tentu tidak masuk dalam kategori bahagia. Menjadi semakin rumit ketika tingkat kebahagiaan kemudian dikaitkan dengan tingkat kemajuan negara, sementara indikator kemajuan itu sendiri belum pernah disepakati antara negara dengan rakyatnya.
Tidak diketahui-–misalnya---kemajuan dan kebahagiaan macam apa yang sebenarnya pas buat negara Indonesia.
Ukuran yang sama-sama diamini kemudian adalah ukuran yang meletakkan kemajuan dan kebahagiaan melulu pada takaran ekonomi. Dan ini bersifat horizontal. Sementara seringkali yang bersifat horizontal tidak pernah nyambung dengan yang vertikal.
Mengeluarkan uang atau harta untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya adalah sebuah kebahagiaan pada garis horizontal sementara mengeluarkan uang tanpa memikirkan jasa imbalan balik atau something in return adalah kebahagiaan vertikal.
Sementara bagi mereka penghayat kepercayaan, akan sulit mengukur tingkat kebahagiaan meskipun sudah menggunakan kedua tolok ukur vertikal-horizontal jika mereka tetap bertahan dengan keyakinannya. Secara vertikal atau spiritual mereka dianggap tidak ada. Secara horizontal atau sosial, mereka dikucilkan.
Meskipun ada yang kemudian memilih menggunakan identitas spiritual lain semata-mata demi memudahkan hidupnya di negara ini, itu hanya memberikan kelegaan secara horizontal. Yang penting bisa sekolah, bisa mendapatkan pekerjaan, bisa mendapat layanan kesehatan dan sebagainya. Artinya mereka tetap harus sembunyi.
Soal sembunyi ini juga tidak hanya untuk memudahkan hidup mereka dalam soal mengakses layanan dan hak, tapi juga untuk menghindarkan mereka dari kemungkinan-kemungkinan menerima prasangka buruk dan mengalami tindakan diskriminatif.
Pada kondisi ini, kebingungan para penganut kepercayaan lokal terhadap fungsi negara dalam mengakomodir dan menjamin kebebasan dalam berkeyakinan selalu mengemuka. Dalam hubungannya dengan kebutuhan kedaulatan diri, mereka juga tak punya ruang untuk berdaulat, memutuskan dan menentukan pilihan atas diri mereka sendiri karena terbentur tembok birokrasi yang tidak memungkinkan mereka untuk berdiri sebagai suatu kaum yang diterima.
Keadilan dan Keharmonisan
Negara kerap dimaknai sebagai wadah untuk mengadakan keadilan. Maka keadilan memang menjadi kunci utama untuk membuka pintu keharmonisan hidup bermasyarakat. Kalau pemerintahnya mampu mewujudkan tata kelola yang pas dan adil bagi keberlangsungan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat, maka dengan adanya banyak agama atau kepercayaan di negeri ini, niscaya itu semua akan menjadi proses yang diyakini dan dijalani bersama dalam jejak langkah menuju peradaban yang manusiawi.
Ada baiknya juga jika mulai sekarang kita sendiri menghitung seberapa banyak software psikis maupun hardware fisik dalam diri kita yang bisa dikonversikan menjadi elemen-elemen sistem kebersamaan atau persaudaraan dalam interaksi kehidupan.
Karena dengan misalnya menggunakan asumsi dasar bahwa setiap orang membutuhkan ketenangan dalam hidupnya, maka makna kebahagiaan sebenarnya terletak pada bagaimana bisa membuat sesama kita merasa menjadi manusia dengan diri kita sendiri terlebih dahulu harus menjadi manusia.
Kalaupun kemudian mengelola kompleksitas keragaman spiritual yang maha banyak di jajaran pulau Nusantara ini terasa tidak mudah, justru di situlah tantangannya. Karena jika kondisi itu bisa dikelola dengan pantas dan indah, sangat mungkin negara Indonesia dan bangsa-bangsa yang terkandung di dalamnya bisa menjadi pemimpin dunia berkat keunggulannya dalam menampung entitas-entitas spiritual yang beragam.
Ini tentunya selaras dengan tujuan dari didirikannya negara yang bertuhan dan mengakui agama. Karena agama sebenarnya adalah cara yang bisa digunakan manusia untuk menemukan Tuhan.
Jadi jangan sampai muncul satu pertanyaan di benak komunitas penghayat kepercayaan di negeri ini yang meletakkan mereka pada posisi yang serba salah alias bingung yaitu, negara bertuhan itu yang kayak gimana sih?
#LombaEsaiKemanusiaan
http://www.qureta.com/post/dilema-pe...at-kepercayaan
0
2.3K
29
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan