Jones81Avatar border
TS
Jones81
Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak
Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]

Tidak Tetap

Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.

Yang Wajib Dibiayai

Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, adalah:

  • Biaya jihad: Mulai dari pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan hingga pada level tinggi, menyiapkan persenjataan mutakhir, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sampai pada level yang membuat musuh takut, sehingga pasukan tersebut bisa mengalahkan musuh kita, membebaskan wilayah kita, mengenyahkan cengkaraman kaum Kafir penjajah dari negeri kaum Muslim, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Dalam hal ini Allah berfirman: “Infiru khifaf[an] wa tsiqal[an]..” [Berangkatlah berperang, baik dengan ringan maupun berat] [TQS at-Taubah: 41]. Nabi SAW dalam kondisi sulit pun tetap memberangkatkan Jaisy Usyrah ke Tabuk. Biayanya ditanggung bersama oleh kaum Muslim.

  • Biaya industri perang: Di dalamnya, termasuk industri dan pabrik yang dibutuhkan, agar bisa memproduksi alutsista yang diperlukan. Karena jihad membutuhkan pasukan. Pasukan tidak bisa berperang, jika tidak ada alat utama sistem pertahanan yang canggih dan memadai. Untuk itu, dibutuhkan industri perang. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: “Wa a’iddu lahum mastatha’tum min quwwat[in] wa min ribathi al-khaili turhibuna bihi ‘aduwwa-Llahi wa ‘aduwwakum, wa akharina min dunihim la ta’lamunahum, Allahu ya’lamuhum.” [Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.] [QS al-Anfal: 60].

  • Pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil. Ini termasuk ashnaf zakat, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum Muslim, melalui instrumen pajak dan bersifat insidental.

  • Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum Muslim. Jika dana di Baitul Mal juga tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim, melalui instrumen pajak ini.

  • Biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada kaum Muslim.

  • Biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya. Jika di Baitul Mal tidak ada dana, dan kaum Muslim tidak bahu membahu menanggulanginya, maka akan menyebabkan terjadinya dharar. Maka, instrumen pajak bisa digunakan untuk membiayai penanggulangan bencana alam, kecelakaan, dan sebagainya.


Inilah kewajiban dan pos yang wajib dibiayai oleh kaum Muslim, baik ketika ada maupun tidak ada dana di Baitul Mal. Maka, ini merupakan kewajiban dan pos yang bisa dibiayai melalui instrumen pajak, meski bersifat insidental.

Wajib Pajak

Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.

Bagaimana cara menghitungnya? Pertama, pendapatannya harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya. Kedua, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya. Ketiga, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Setelah dikurangi semuanya tadi masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Ibda’ bi nafsika fatashaddaqa ‘alaiha, fa in fudhula syai’[un] fa li ahlika.” (Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu) [HR Muslim dari Jabir]

Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.

Selain itu, khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.

Bandingkan dengan negara “dracula” seperti saat ini, yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir.

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 164


===============================================================================

Kebijakan Tax Amnesty Khianati Rakyat Miskin?



HTI Press, Semarang. Tax Amnesty dicurigai sebagai bentuk pengkhianatan besar kepada rakyat miskin yang notabene selalu diuber-uber untuk bayar pajak sedangkan pengusaha yang nakal malah diberi karpet merah untuk membawa harta mereka kembali dengan berbagai diskon dari pajak mereka dan penghapusan dari tuntutan pidana perpajakan. Itulah pernyataan Dr. Edy Sutanto sebagai pakar ekonomi dari STIE BPD Jateng dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh DPD II HTI Semarang pada Rabu (23/8) di Gd. Habibah Semarang. FGD kali ini juga dihadiri oleh peserta dari kalangan akademisi, pengusaha, serikat pekerja, insan media dan tak ketinggalan dari Kanwil Ditjen. Pajak Jawa Tengah I.

Husain Matla seorang penulis yang juga hadir dalam FGD itu mengatakan saat ini Pemerintah sekarang seperti pepatah jawa: celuthak nung ora galak. Pemerintah celuthak karena ganggu orang-orang kaya yang menyimpan duitnya di bank-bank asing, namun dengan tax amnesty, pemerintah menjadi tidak galak, karena sekotor apapun dan sejahat apapun uang yang dilarikan, pemerintah membiarkan saja (diampuni), yang penting uang kembali masuk ke indonesia.

Pak Maksum (pengusaha cina muslim) mengatakan: “Rumah saya seperti kebajiran dua kali. Banjir yang pertama banjir dari sungai kaligawe yang kotor sekali. Kedua, sebagai pengusaha, saya merasa kebanjiran uang dari luar negeri. Tapi sayangnya jauh lebih kotor dari banjir sungai kaligawe”.

Mengambil dari sudut pandang Islam Choirul Anam dari Lajnah Khusus Intelektual menyampaikan bahwa Islam itu diturunkan dari Zat Yang Maha Menciptakan untuk mengatur manusia tidak hanya dalam hal beribadah namun juga bagaimana negara mengatur perekonomiannya. Dalam Islam sumber pendapatan negara yang utama itu tidak boleh dari pajak. Islam mengajarkan bahwa salah satu sumber pendapatan utama negara itu bersumber dari kepemilikan umum (hutan, laut, tambang dll) yang dikelola dengan maksimal untuk kepentingan rakyat. Islam itu sudah membuat tatanan yang begitu bagus meskipun faktanya tidak diterapkan, disitulah Hizbut Tahrir teriak-teriak untuk mengajak kembali kepada syariah, bukan untuk menyalahkan pihak manapun.

Dalam acara yang berjalan dengan penuh keakraban itu KH. Ainul Yaqin dari Lajnah Khusus Ulama berujat bahwa HTI justru berjuang agar negeri ini jangan sampai hancur. Jika HTI tidak cinta negeri ini, HTI tidak akan capek-capek berjuang, biarkan saja negeri ini menuju kehancurannya. Itulah sebetulnya apa yang didakwahkan oleh HTI, untuk menjaga eksistensi Indonesia dengan kembali kepada syariah Allah dalam naungan Daulah Khilafah Islam yang akan membawa kesejahteraan kita di dunia dan di akhirat yakni di Surga-Nya Allah.

Mendapat pencerahan dari FGD ini perwakilan dari Kanwil Ditjen Pajak Jateng I menyatakan “Sesungguhnya yang bisa mengubah kondisi menjadi lebih baik itu adalah anda-anda dari HTI.” [] MI Semarang/aris

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2016/08/2...rakyat-miskin/
RifanX
RifanX memberi reputasi
1
6.4K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan