- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
PUTIH [True Story]


TS
danteferno
PUTIH [True Story]
Sekolah.
Tahun 2008.
“Ello! Kamu ga sekolah mas hari ini? Bukannya udah masuk ya?” teriakan ibu membuatku kaget dan terbangun dari tidur. “Iya bu, sebentar” jawabku sembari menarik-narik rambut karena terbangun dengan kaget sehingga kepalaku agak pusing.
Libur 2 minggu karena kenaikan kelas hampir membuatku pagi ini terlambat masuk sekolah.
Oh iya, perkenalkan namaku Ello Sanjaya, ini adalah tahun ke-3 ku bersekolah di salah satu SMA swasta di Magelang. Nanti aku akan cerita tentang kota kecil ini, tapi sebelumnya aku mandi dulu, takut telat nih.
“Woi El! buruan sini” Suara Tarigan terdengar dari ujung kantin sekolah yang membuat seisi kantin melirik padanya. Aku lalu menghampiri Tarigan setelah memarkir motor terlebih dahulu. Tarigan adalah sahabatku sejak kelas 3 SD, selain Tarigan di kantin juga sudah ada Nico, Hoho dan Melvin yang kesemuanya adalah teman SD yang sampai detik ini, kami menginjak akhir masa SMA bersama di satu sekolah.
“Ada apaan sih?” tanyaku penasaran.
“Hari ini ospek terakhir anak kelas 1 leh, dan nanti siang bakalan ada pentas seni nih di aula!” saut Tarigan bersemangat. Aku masih bingung mendengar penjelasannya, “Lah emang ngapa kalo ada pentas seni? guest starnya Sheila On 7 apa gimana sih?” Aku bertanya sambil mengambil gorengan bu Indah yang tiap pagi digelar hangat di kantin.
“Ndasmu Sheila on 7!” Nico menimpali seketika obrolan kami.
“Lah terus?” tanyaku mulai sedikit penasaran.
“Nih ya, selama ospek kan kita ga bisa liat anak-anak baru bentukannya kayak gimana, nah ini bray saatnya buat aku memilah milah mana yang bisa diprospek” Tarigan menjelaskan secara detil keinginannya, yang sebenarnya initinya adalah, dia ingin tahu siapa cewek cantik dari anak kelas 1 yang baru masuk ke SMA kami.
Diantara teman-temanku, memang Tarigan yang paling mudah dekat dengan perempuan di sekolah, meskipun perawakannya gendut, dengan muka batak yang keras, namun dia yang paling mudah bergaul dengan senjata cerita-cerita lucu khas papua yang sering dia tonton di facebook dan dipraktekkan ke siswi perempuan di sekolah. And guess what? It’s work. Hahahha.
“Kriiiiiiiing!!!! Kriiiiing!!!!” Bunyi bel masuk tiba-tiba terdengar di area sekolah kami.
Murid-murid yang ada di kantin segera bergegas masuk ke ruang kelas mereka, sedangkan kami berlima? Ya kami juga ikutan masuk sih, dan kebetulan kami berlima ditakdirkan satu kelas tahun ini di IPS 3C, setelah sebelumnya di kelas 2 kami berpisah karena dinilai oleh wali kelas kami Pak Yoseph sebagai murid-murid yang paling ribut.
Di sekolahku, biasanya di hari pertama masuk setelah kenaikan kelas, tak akan ada pelajaran yang guru sampaikan, hanya perkenalan siapa wali kelas kami di kelas 3C ini. Sebelum calon wali kelas kami masuk, ada sebuah pengumuman yang terdengar dari megaphone yang terpasang di setiap sudut atas kelas.
“Bagi seluruh murid-murid, pukul sepuluh siang ini diharapkan berkumpul di Aula tengah untuk mengikuti acara pentas seni dan juga misa penyambutan siswa-siswi baru, kegiatan ini wajib, jangan ada yang bolos dan pulang ke rumah” sebut suara di ujung sana.
Aku langsung melirik ke Tarigan yang duduk di belakangku, dia hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri seolah berkata “Apa aku bilang!”.
Setelah pengumuman tersebut, tak berapa lama kemudian, wali kelas kami masuk, sayangnya wali kelas yang baru ini terkenal killer di sekolah.
Bukan, bukan karena beliau suka memarahi murid-muridnya, namun beliau yang bernama Pak Yulius ini senang sekali memberi hukuman bagi kami dengan hukuman yang aneh.
Pernah sekali waktu, saat aku kelas 1 dan Pak Yulius mengajar bahasa Inggris, ada satu anak di kelasku yang lupa membawa kamus, dan kamu tahu apa hukuman yang diberikan? Kami satu kelas disuruhnya berjalan jongkok mengitari setiap sudut di ruang kelas sebelah, dengan buku diatas kepala. Kesalahan satu orang yang harus ditanggung bersama. Kesal, takut, lucu, perasaan itu campur aduk saat aku menjalani hukumannya.
Bahkan sampai detik ini, aku tak mengerti apa maksud dibalik hukuman itu, namun akhirnya hal itu selalu menjadi lelucon bagiku saat mengingatnya dengan teman-teman.
Anyway, sudah ditentukan bahwa setahun kedepan pak Yulius lah yang akan menjadi wali kelas kami.
“Selamat pagi anak-anak, sudah siap berdarah-darah tahun ini?” Pak Yulius membuka perbincangan pagi itu di kelas.
Mendegar pertanyaannya, seisi kelasku seolah mengernyitkan dahi.
“Oke kalau begitu, sudah tahu kan ini adalah tahun terakhir kalian di SMA, jangan sia-siakan apa yang kalian sudah capai, tinggal sedikit lagi kalian lulus, jadi harus mati-matian ya mengejar semuanya, bapak tidak mau kalau ada murid bapak yang tidak lulus tahun ini, saya sudah taruhan sama Pak Mirad nih, wali kelas 3A, siapa yang paling banyak meluluskan muridnya.” ujar Pak Yulius sambil memasang muka serius.
Mendengar perkataan itu, seisi kelas kami pun tertawa tak bisa menahan geli, ya saya dan teman-teman tahu pak Yulius hanya bercanda soal taruhan itu, dan berharap kami semua serius dalam menjalani tahun terkhir kami ini.
“Nah, bapak kira segini saja ceramahnya, sekarang absen dulu trus kalian boleh langsung ke aula ya, bapak capek ngomong terus nih” ucap Pak Yulis yang langsung disambut riuh rendah seisi kelas, karena sebenarnya waktu masih menunjukkan pukul 08:15.
Setelah mengabsen satu persatu anak muridnya, beliau menyuruh kami untuk keluar kelas sembari menunggu jam misa dan pentas seni.
Aku sendiri memutuskan untuk berjalan jalan di sekitar lapangan basket, memasang headset di handphone Nokia N-Gage ku dan memutar lagu “The First of The gang to Die” milik Morrissey.
Banyak kulihat wajah baru di sekolah yang nampaknya sedang mempersiapkan diri untuk pentas seni nanti. Ada yang antusias sekali seperti ingin memberikan yang terbaik untuk kakak angkatan mereka, ada juga yang memasang muka “yaudahlahya selow aja, ga bakal dapet hadiah apa-apa juga kok” .
09:50.
“Diharapkan semua murid berkumpul di Aula sekarang untuk mengikuti misa dan juga pentas seni yang akan ditampilkan oleh siswa-siswi baru, terimakasih” mendengar pengumuman itu banyak anak kelas 1 yang teriak-teriak ketakutan, membuatku tersenyum dan mengingat saat-saat masuk SMA dulu juga merasakan hal yang sama.
Semua murid sudah masuk ke dalam aula, dan bersiap mengikuti acara yang sudah disiapkan. Sekolahku adalah sekolah swasta yayasan Katholik, jadi setiap ada perayaan besar yang akan dilakukan di sekolah, biasanya diawali dengan misa yang dipimpin oleh Romo yang didatangkan dari gereja yang letaknya tidak jauh dari sekolahku. Misa pun berjalan dengan khidmat, yah walaupun nampaknya ada satu dua anak yang tidur dan main hape ya.
Aku duduk di baris kedua dari depan dan disebelahku ada Tarigan, yang berurutan di sampingnya Hoho, Nico dan Melvin. Setelah misa selesai, acara yang ditunggu oleh Tarigan pun dimulai. Satu persatu kelompok murid-murid baru menampilkan pertunjukkan yang sudah mereka siapkan. Mulai dari yel-yel, menyanyi, berjoged dan ada juga yang melakukan lypsinc yang membuat tawa para penonton yang ada.
Disitu, Tarigan tak henti-hentinya berbisik kepadaku siapa saja murid baru yang menurutnya cantik dan tidak sabar untuk berkenalan nantinya. Dia juga mengajak “berdiskusi” Hoho, Melvin, Nico tentang perempuan yang ia sebutkan.
Aku sendiri tak melihat ada yang menarik dari pentas seni ini, ya selain hanya sebatas formalitas pengenalan bahwa kami angkatan tua memiliki adek angkatan baru di sekolah, sampai pada saat Melvin berkata padaku “Lihat ga?”
“Lihat apaan?” aku menyaut pertanyaannya.
Nico pun menambahkan “yakin ga lihat?”
“Hahahaha tai!, opo sih?! cewek di atas panggung? Ga ono sek ayu ah, pada ga niat ngono tampilnya” ujarku.
“Itu anjeeeng liat dulu, nomer tiga dari kiri, yang pake topi camping, pake papan nama tulisan Veve” sahut Melvin.
“Dia itu di SMP dulu terkenal cuk, yakin ga tahu? kan SMP nya bareng kita juga” Melvin menekankan lagi.
Aku menggelengkan kepala.
Pentas seni hari itu pun usai sekitar pukul 12:10, murid-murid dipersilahkan istirahat dan acara akan dilanjutkan lagi dengan siswa-siswa baru ditugaskan mencari 50 tanda tangan kakak angkatan mereka. Tradisi mencari tanda tangan ini sudah berlangsung lama di sekolahku, yang katanya agar murid baru bisa berkenalan dengan calon kakak kelas mereka.
“Pernah ga sih terpikir olehmu, kamu akan sangat bangga di depan temanmu-temanmu jika kamu bisa mendapatkan hal yang sedang ramai dibicarakan oleh mereka? Walaupun sebenarnya kamu ga terlalu tertarik dengan apa yang temanmu bicarakan, ya hanya sekedar untuk pembuktian aja sih.”
Itu. Yang. Sekarang. Sedang. Aku. Pikirkan.
Iya, aku ingin berkenalan dengan si Veve ini.
Aku ga tahu dia siapa, cuma ya karena anak-anak pada ngomong si Veve ini cakep dan terkenal, ya kenapa engga kan kalau bisa nambah teman? Hahaha.
Well, honestly aku menunggu waktu pencarian tanda tangan oleh anak kelas 1, siapa tahu bisa bertemu dengan si cewek yang katanya “terkenal” itu. Di kantin sebenarnya sudah banyak anak kelas 1 yang mulai mencuri waktu untuk meminta tanda tangan kami, namun aku sama sekali tidak melihat perempuan dengan papan nama “Veve” yang melintas di depanku, mana aku ga ingat wajahnya lagi.
“Gelisah banget El? Nungguin siapa sih?” pertanyaan Hoho mengagetkanku.
“Hahahha, ga ho, cuma males aja nih nunggu jam pulang lama banget” jawabku sekenanya.
“Halaaaah, di depan kita masih mau boong? Coba kasih tahu yang mana anaknya?” Hoho sepertinya tahu apa yang kupikirkan.
“Ga cuk, seloow” timpalku lagi.
“Eh El, Veve El!’ tiba-tba Melvin berteriak mengagetkanku.
Tanpa sadar aku memutar kepalaku ke kanan dan kiri mencari sosok yang disebutkan Melvin, dan seketika aku berkata “Anjiiiiing, mana sih?!” waaah kampret ye Vin.
“Mampus ketauan! Segala mau bohong ama kita sih!” Melvin tertawa sembari meledekku.
“Iya, iya, aku mau tau yang mana si Veve itu yang kalian bilang terkenal pas di SMP kita” jawabku menjelaskan.
“Seloooow El, kita kan punya Tarigan.” Nico mulai ikut angkat bicara.
“Yaaah tai, giliran begini aja aku yang kena jatah” Tarigan bersungut ketika tahu apa yang dimaksud sahabat-sahabatnya.
“Yaelah gan, cuma ngasih tau yang mana anaknya doang sih, aku lupa mukanya nih, bantuin lah” kataku pada Tarigan.
“Yaudah ntar gampang deh” Tarigan mengiyakan permintaanku.
13.30
Bel pulang sekolah berbunyi. Kami semua pun bergegas untuk berkemas dan bersiap untuk pulang ke rumah. Aku langsung menuju parkiran untuk mengambil motor. Tak berapa lama ada 3 orang siswi yang menghampiriku.
“Kak, boleh minta tanda tangannya ga? Kita masih kurang 1 orang lagi nih. Boleh ya?” kata seorang siswi yang maju paling depan.
“Ah yaudah mana sih, aku juga buru-buru mau pulang nih” jawabku sekenanya
“Iya kak, makasih ya!” kata siswi yang maju paling depan.
“Kok pada ga pake papan namanya sih?” tanyaku.
“Iya kak maap, soalnya udah mau pulang juga, jadi kami masukkan ke tas” jawab si perempuan di depan ini lagi.
“Buset kamu mulu yang jawab, yang lain diem aja nih, yaudah coba kenalin dulu namanya satu-satu siapa aja nih” aku mulai iseng bertanya.
Perempuan paling depan ini memperkenalkan dirinya bernama Indah, alu dianjutkan teman di belakng paling kiri
“Saya Viona”
“Saya Yenny kak”
“Saya Silvia”
“Oh, yayaya, disini kalian ada yang kenal sama Veve ga?” Tanpa sengaja aku mengeluarkan pertanyaan itu.
“Ini kak, Veve” Serentak ketiga anak yang aku tanya menujuk pada satu orang yang bernama Silvia yang daritadi hanya diam saja disitu.
Perempuan itu pun menatapku dan tersenyum kecil, lalu mengangguk.
.bersambung
Tahun 2008.
“Ello! Kamu ga sekolah mas hari ini? Bukannya udah masuk ya?” teriakan ibu membuatku kaget dan terbangun dari tidur. “Iya bu, sebentar” jawabku sembari menarik-narik rambut karena terbangun dengan kaget sehingga kepalaku agak pusing.
Libur 2 minggu karena kenaikan kelas hampir membuatku pagi ini terlambat masuk sekolah.
Oh iya, perkenalkan namaku Ello Sanjaya, ini adalah tahun ke-3 ku bersekolah di salah satu SMA swasta di Magelang. Nanti aku akan cerita tentang kota kecil ini, tapi sebelumnya aku mandi dulu, takut telat nih.
“Woi El! buruan sini” Suara Tarigan terdengar dari ujung kantin sekolah yang membuat seisi kantin melirik padanya. Aku lalu menghampiri Tarigan setelah memarkir motor terlebih dahulu. Tarigan adalah sahabatku sejak kelas 3 SD, selain Tarigan di kantin juga sudah ada Nico, Hoho dan Melvin yang kesemuanya adalah teman SD yang sampai detik ini, kami menginjak akhir masa SMA bersama di satu sekolah.
“Ada apaan sih?” tanyaku penasaran.
“Hari ini ospek terakhir anak kelas 1 leh, dan nanti siang bakalan ada pentas seni nih di aula!” saut Tarigan bersemangat. Aku masih bingung mendengar penjelasannya, “Lah emang ngapa kalo ada pentas seni? guest starnya Sheila On 7 apa gimana sih?” Aku bertanya sambil mengambil gorengan bu Indah yang tiap pagi digelar hangat di kantin.
“Ndasmu Sheila on 7!” Nico menimpali seketika obrolan kami.
“Lah terus?” tanyaku mulai sedikit penasaran.
“Nih ya, selama ospek kan kita ga bisa liat anak-anak baru bentukannya kayak gimana, nah ini bray saatnya buat aku memilah milah mana yang bisa diprospek” Tarigan menjelaskan secara detil keinginannya, yang sebenarnya initinya adalah, dia ingin tahu siapa cewek cantik dari anak kelas 1 yang baru masuk ke SMA kami.
Diantara teman-temanku, memang Tarigan yang paling mudah dekat dengan perempuan di sekolah, meskipun perawakannya gendut, dengan muka batak yang keras, namun dia yang paling mudah bergaul dengan senjata cerita-cerita lucu khas papua yang sering dia tonton di facebook dan dipraktekkan ke siswi perempuan di sekolah. And guess what? It’s work. Hahahha.
“Kriiiiiiiing!!!! Kriiiiing!!!!” Bunyi bel masuk tiba-tiba terdengar di area sekolah kami.
Murid-murid yang ada di kantin segera bergegas masuk ke ruang kelas mereka, sedangkan kami berlima? Ya kami juga ikutan masuk sih, dan kebetulan kami berlima ditakdirkan satu kelas tahun ini di IPS 3C, setelah sebelumnya di kelas 2 kami berpisah karena dinilai oleh wali kelas kami Pak Yoseph sebagai murid-murid yang paling ribut.
Di sekolahku, biasanya di hari pertama masuk setelah kenaikan kelas, tak akan ada pelajaran yang guru sampaikan, hanya perkenalan siapa wali kelas kami di kelas 3C ini. Sebelum calon wali kelas kami masuk, ada sebuah pengumuman yang terdengar dari megaphone yang terpasang di setiap sudut atas kelas.
“Bagi seluruh murid-murid, pukul sepuluh siang ini diharapkan berkumpul di Aula tengah untuk mengikuti acara pentas seni dan juga misa penyambutan siswa-siswi baru, kegiatan ini wajib, jangan ada yang bolos dan pulang ke rumah” sebut suara di ujung sana.
Aku langsung melirik ke Tarigan yang duduk di belakangku, dia hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri seolah berkata “Apa aku bilang!”.
Setelah pengumuman tersebut, tak berapa lama kemudian, wali kelas kami masuk, sayangnya wali kelas yang baru ini terkenal killer di sekolah.
Bukan, bukan karena beliau suka memarahi murid-muridnya, namun beliau yang bernama Pak Yulius ini senang sekali memberi hukuman bagi kami dengan hukuman yang aneh.
Pernah sekali waktu, saat aku kelas 1 dan Pak Yulius mengajar bahasa Inggris, ada satu anak di kelasku yang lupa membawa kamus, dan kamu tahu apa hukuman yang diberikan? Kami satu kelas disuruhnya berjalan jongkok mengitari setiap sudut di ruang kelas sebelah, dengan buku diatas kepala. Kesalahan satu orang yang harus ditanggung bersama. Kesal, takut, lucu, perasaan itu campur aduk saat aku menjalani hukumannya.
Bahkan sampai detik ini, aku tak mengerti apa maksud dibalik hukuman itu, namun akhirnya hal itu selalu menjadi lelucon bagiku saat mengingatnya dengan teman-teman.
Anyway, sudah ditentukan bahwa setahun kedepan pak Yulius lah yang akan menjadi wali kelas kami.
“Selamat pagi anak-anak, sudah siap berdarah-darah tahun ini?” Pak Yulius membuka perbincangan pagi itu di kelas.
Mendegar pertanyaannya, seisi kelasku seolah mengernyitkan dahi.
“Oke kalau begitu, sudah tahu kan ini adalah tahun terakhir kalian di SMA, jangan sia-siakan apa yang kalian sudah capai, tinggal sedikit lagi kalian lulus, jadi harus mati-matian ya mengejar semuanya, bapak tidak mau kalau ada murid bapak yang tidak lulus tahun ini, saya sudah taruhan sama Pak Mirad nih, wali kelas 3A, siapa yang paling banyak meluluskan muridnya.” ujar Pak Yulius sambil memasang muka serius.
Mendengar perkataan itu, seisi kelas kami pun tertawa tak bisa menahan geli, ya saya dan teman-teman tahu pak Yulius hanya bercanda soal taruhan itu, dan berharap kami semua serius dalam menjalani tahun terkhir kami ini.
“Nah, bapak kira segini saja ceramahnya, sekarang absen dulu trus kalian boleh langsung ke aula ya, bapak capek ngomong terus nih” ucap Pak Yulis yang langsung disambut riuh rendah seisi kelas, karena sebenarnya waktu masih menunjukkan pukul 08:15.
Setelah mengabsen satu persatu anak muridnya, beliau menyuruh kami untuk keluar kelas sembari menunggu jam misa dan pentas seni.
Aku sendiri memutuskan untuk berjalan jalan di sekitar lapangan basket, memasang headset di handphone Nokia N-Gage ku dan memutar lagu “The First of The gang to Die” milik Morrissey.
Banyak kulihat wajah baru di sekolah yang nampaknya sedang mempersiapkan diri untuk pentas seni nanti. Ada yang antusias sekali seperti ingin memberikan yang terbaik untuk kakak angkatan mereka, ada juga yang memasang muka “yaudahlahya selow aja, ga bakal dapet hadiah apa-apa juga kok” .
09:50.
“Diharapkan semua murid berkumpul di Aula sekarang untuk mengikuti misa dan juga pentas seni yang akan ditampilkan oleh siswa-siswi baru, terimakasih” mendengar pengumuman itu banyak anak kelas 1 yang teriak-teriak ketakutan, membuatku tersenyum dan mengingat saat-saat masuk SMA dulu juga merasakan hal yang sama.
Semua murid sudah masuk ke dalam aula, dan bersiap mengikuti acara yang sudah disiapkan. Sekolahku adalah sekolah swasta yayasan Katholik, jadi setiap ada perayaan besar yang akan dilakukan di sekolah, biasanya diawali dengan misa yang dipimpin oleh Romo yang didatangkan dari gereja yang letaknya tidak jauh dari sekolahku. Misa pun berjalan dengan khidmat, yah walaupun nampaknya ada satu dua anak yang tidur dan main hape ya.
Aku duduk di baris kedua dari depan dan disebelahku ada Tarigan, yang berurutan di sampingnya Hoho, Nico dan Melvin. Setelah misa selesai, acara yang ditunggu oleh Tarigan pun dimulai. Satu persatu kelompok murid-murid baru menampilkan pertunjukkan yang sudah mereka siapkan. Mulai dari yel-yel, menyanyi, berjoged dan ada juga yang melakukan lypsinc yang membuat tawa para penonton yang ada.
Disitu, Tarigan tak henti-hentinya berbisik kepadaku siapa saja murid baru yang menurutnya cantik dan tidak sabar untuk berkenalan nantinya. Dia juga mengajak “berdiskusi” Hoho, Melvin, Nico tentang perempuan yang ia sebutkan.
Aku sendiri tak melihat ada yang menarik dari pentas seni ini, ya selain hanya sebatas formalitas pengenalan bahwa kami angkatan tua memiliki adek angkatan baru di sekolah, sampai pada saat Melvin berkata padaku “Lihat ga?”
“Lihat apaan?” aku menyaut pertanyaannya.
Nico pun menambahkan “yakin ga lihat?”
“Hahahaha tai!, opo sih?! cewek di atas panggung? Ga ono sek ayu ah, pada ga niat ngono tampilnya” ujarku.
“Itu anjeeeng liat dulu, nomer tiga dari kiri, yang pake topi camping, pake papan nama tulisan Veve” sahut Melvin.
“Dia itu di SMP dulu terkenal cuk, yakin ga tahu? kan SMP nya bareng kita juga” Melvin menekankan lagi.
Aku menggelengkan kepala.
Pentas seni hari itu pun usai sekitar pukul 12:10, murid-murid dipersilahkan istirahat dan acara akan dilanjutkan lagi dengan siswa-siswa baru ditugaskan mencari 50 tanda tangan kakak angkatan mereka. Tradisi mencari tanda tangan ini sudah berlangsung lama di sekolahku, yang katanya agar murid baru bisa berkenalan dengan calon kakak kelas mereka.
“Pernah ga sih terpikir olehmu, kamu akan sangat bangga di depan temanmu-temanmu jika kamu bisa mendapatkan hal yang sedang ramai dibicarakan oleh mereka? Walaupun sebenarnya kamu ga terlalu tertarik dengan apa yang temanmu bicarakan, ya hanya sekedar untuk pembuktian aja sih.”
Itu. Yang. Sekarang. Sedang. Aku. Pikirkan.
Iya, aku ingin berkenalan dengan si Veve ini.
Aku ga tahu dia siapa, cuma ya karena anak-anak pada ngomong si Veve ini cakep dan terkenal, ya kenapa engga kan kalau bisa nambah teman? Hahaha.
Well, honestly aku menunggu waktu pencarian tanda tangan oleh anak kelas 1, siapa tahu bisa bertemu dengan si cewek yang katanya “terkenal” itu. Di kantin sebenarnya sudah banyak anak kelas 1 yang mulai mencuri waktu untuk meminta tanda tangan kami, namun aku sama sekali tidak melihat perempuan dengan papan nama “Veve” yang melintas di depanku, mana aku ga ingat wajahnya lagi.
“Gelisah banget El? Nungguin siapa sih?” pertanyaan Hoho mengagetkanku.
“Hahahha, ga ho, cuma males aja nih nunggu jam pulang lama banget” jawabku sekenanya.
“Halaaaah, di depan kita masih mau boong? Coba kasih tahu yang mana anaknya?” Hoho sepertinya tahu apa yang kupikirkan.
“Ga cuk, seloow” timpalku lagi.
“Eh El, Veve El!’ tiba-tba Melvin berteriak mengagetkanku.
Tanpa sadar aku memutar kepalaku ke kanan dan kiri mencari sosok yang disebutkan Melvin, dan seketika aku berkata “Anjiiiiing, mana sih?!” waaah kampret ye Vin.
“Mampus ketauan! Segala mau bohong ama kita sih!” Melvin tertawa sembari meledekku.
“Iya, iya, aku mau tau yang mana si Veve itu yang kalian bilang terkenal pas di SMP kita” jawabku menjelaskan.
“Seloooow El, kita kan punya Tarigan.” Nico mulai ikut angkat bicara.
“Yaaah tai, giliran begini aja aku yang kena jatah” Tarigan bersungut ketika tahu apa yang dimaksud sahabat-sahabatnya.
“Yaelah gan, cuma ngasih tau yang mana anaknya doang sih, aku lupa mukanya nih, bantuin lah” kataku pada Tarigan.
“Yaudah ntar gampang deh” Tarigan mengiyakan permintaanku.
13.30
Bel pulang sekolah berbunyi. Kami semua pun bergegas untuk berkemas dan bersiap untuk pulang ke rumah. Aku langsung menuju parkiran untuk mengambil motor. Tak berapa lama ada 3 orang siswi yang menghampiriku.
“Kak, boleh minta tanda tangannya ga? Kita masih kurang 1 orang lagi nih. Boleh ya?” kata seorang siswi yang maju paling depan.
“Ah yaudah mana sih, aku juga buru-buru mau pulang nih” jawabku sekenanya
“Iya kak, makasih ya!” kata siswi yang maju paling depan.
“Kok pada ga pake papan namanya sih?” tanyaku.
“Iya kak maap, soalnya udah mau pulang juga, jadi kami masukkan ke tas” jawab si perempuan di depan ini lagi.
“Buset kamu mulu yang jawab, yang lain diem aja nih, yaudah coba kenalin dulu namanya satu-satu siapa aja nih” aku mulai iseng bertanya.
Perempuan paling depan ini memperkenalkan dirinya bernama Indah, alu dianjutkan teman di belakng paling kiri
“Saya Viona”
“Saya Yenny kak”
“Saya Silvia”
“Oh, yayaya, disini kalian ada yang kenal sama Veve ga?” Tanpa sengaja aku mengeluarkan pertanyaan itu.
“Ini kak, Veve” Serentak ketiga anak yang aku tanya menujuk pada satu orang yang bernama Silvia yang daritadi hanya diam saja disitu.
Perempuan itu pun menatapku dan tersenyum kecil, lalu mengangguk.
.bersambung
Diubah oleh danteferno 17-10-2016 17:42


anasabila memberi reputasi
1
1.6K
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan