Kaskus

News

coilingAvatar border
TS
coiling
Panduan Alquran untuk Memilih Pemimpin
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/10/15/of2r6g313-panduan-alquran-untuk-memilih-pemimpin

JAKARTA -- Masih ada keraguan dari beberapa kalangan umat Islam untuk memedomani petunjuk Tuhan dalam memilih pemimpin. Beberapa kalangan menyebut Alquran bebas tafsir sehingga kata auliya dalam surah al-Maidah ayat 51 bukan berarti pemimpin.

Sebagian lainnya memilih menyimpan ayat itu di dalam lemari, karena merasa tidak sesuai dengan demokrasi modern masa kini. Lantas, bagaimana Alquran memandu Muslim untuk memilih pemimpin?

QS al-Maidah ayat 51 berisi panduan untuk memilih auliya. Ayat itu berbunyi, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali(mu); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS al-Maidah: 51)

Sebenarnya, panduan senada ada di dalam ayat-ayat lain yang bertebaran dalam Alquran. Pada surah Ali Imran ayat 28 misalnya, yang juga melarang orang mukmin mengambil wali dari orang kafir. "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka."

Selain ayat tersebut, beberapa ayat lain yang senada ada dalam surah an-Nisa ayat 144, al-Maidah ayat 57, hingga at-Taubah ayat 23. Kebanyakan ayat ini pun menggunakan bahasa yang sama, yakni auliya. Sebagian besar ulama mengartikan auliya sebagai pemimpin.

Dalam keterangan persnya pada 11 Oktober 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat lima pernyataan sikap keagamaan dan lima rekomendasi terkait kasus penistaan agama tersebut. Dalam siaran pers tersebut, MUI menafsirkan bahwa kata auliya merupakan pemimpin.

"Alquran surah al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin.

Tafsir Al Misbah karangan Prof Quraish Shihab menjelaskan, makna bahasa dari kata auliya. Kata ini adalah bentuk jamak dari waliy yang bermakna dekat. Dari makna ini, berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain.

Quraish Shihab pun dalam hal ini tidak mengecualikan pemimpin sebagai makna dari waliy
. "Demikian juga pemimpin karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dia yang pertama mendengar panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang membantunya."

Quraish pun menukil surah al-Mumtahanah ayat 9 untuk menjelaskan lebih jauh tentang tafsir ayat 51. "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuh kamu sebagai auliya, kamu menyampaikan kepada mereka (berita-berita Nabi Muhammad) karena rasa cinta kasih. Padahal, sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu."

Dalam ayat ini, Quraish memaknai auliya sebagai pemimpin.
Dia menyebutkan, larangan menjadikan non-Muslim sebagai auliya dikemukakan dengan sekian pengukuhan, yakni larangan tegas yang menyatakan janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin. Kedua, penegasan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Terakhir, ancaman bagi mereka yang mengangkat sebagai pemimpin.

Meski demikian, Quraish Shihab berpendapat, larangan tersebut tidak mutlak kepada semua auliya yang dimaknai sebagai 'dekat'. "Larangan tersebut tidaklah mutlak sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung kata auliya," tulis dia.

Dia pun menukil pendapat Muhammad Sayyid Thanthawi yang mengemukakan, non-Muslim bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang tinggal bersama kaum Muslim dan hidup damai bersama mereka. Tidak juga melakukan kegiatan untuk kepentingan melawan Islam. Ini sesuai dengan surah al-Mumtahanah ayat 8.

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik/memberikan sebagian dari harta kamu dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu."

Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum Muslimin dengan berbagai cara. Dengan mereka, tidak boleh ada jalinan hubungan harmonis dan tidak pula boleh didekati.

Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum Muslimin, tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum Muslimin, tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Kepada mereka, Allah memerintahkan kaum beriman bersikap hati-hati.

Quraish Shihab pun melanjutkan bahwa surah al-Maidah ayat 51 memiliki ayat pendukung lainnya, yakni ayat 55 dan 57. Dalam ayat 55 dijelaskan bahwa "Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka rukuk. Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman menjadi wali, maka sesungguhnya kelompok pengikut Allah itulah pemenangnya."

Sementara, ayat 57 sangat sesuai jika dikontekskan dalam kasus penistaan agama di Kepulauan Seribu. Ayat tersebut berbunyi. "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menjadikan auliya, orang-orang yang membuat agama kamu bahan ejekan dan permainan. (Yaitu) Di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu, dan orang-orang kafir."

Guru besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Prof Muhammad Baharun, menjelaskan, seorang Muslim wajib menjadikan agama sebagai landasan memilih pemimpin pada era demokrasi saat ini. Tak hanya diatur dalam Alquran, Baharun menjelaskan, hal tersebut sesuai dengan Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Nilai-nilai Pancasila kompatibel dengan agama dan tidak bertentangan. Jadi, wajarlah mengedepankan nilai-nilai agama lebih dahulu," kata Baharun saat berbincang dengan Republika, Rabu (12/10).

Menurut dia, Muslim harus bertakwa kepada Allah SWT dan memiliki konsekuensi untuk tunduk kepada ajaran di dalam kitab sucinya. Makna takwa sendiri, kata dia, adalah harus melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI ini membantah jika menyampaikan ajaran Alquran tentang kepemimpinan, termasuk kategori suku, antargolongan, ras, dan agama (Sara). Menurut dia, sangat wajar jika seorang Muslim mendukung Muslim lainnya untuk menjadi pemimpin.

Demikian pula jika orang memberikan suaranya atas dasar kesukuan dan golongan. "Yang tidak boleh itu dipertentangkan. Dijadikan alat untuk menghina golongan," katanya.


Karena itu, Baharun pun mengajak umat Islam untuk kembali kepada agama dan kitab sucinya. Dia berharap, kasus dugaan penistaan agama di Kepulauan Seribu dapat menjadi momentum umat Islam untuk bangkit dan mendekatkan diri kepada agama.

"Jangan kita terpengaruh paham liberal," katanya menjelaskan.


Nusron Purnomo saat kecil

Nus: pak kenapa nilai ujian trigonometri saya dapat nol besar?
Guru: jawabanmu salah semua gitu..
Nus: lho bapak tahu maksud jawaban saya?
Guru:Saya kan guru matematika...
Nus: Jangan mau pak di bohongin pake teori pitagoras. Bapak ga tau kan maksud saya, jawaban saya itu hanya saya yang tahu pak, pak guru harusnya tabbayun kesaya.. jangan langsung di salahkan jawaban saya.. guru guoblok..
Guru: #@#$@#&@& astagfirullahhaladzim...

(Nusron purnomo melotot, pak gurunya bunuh diri)
0
4.6K
21
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan