Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
TNI profesional tanpa hak politik
TNI profesional tanpa hak politik
Yang masih meminta hak politik TNI berarti melanggar Undang-Undang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) seolah-olah ingin mendapatkan hak politik. Hak yang sama dengan warga sipil, untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Kesan itu muncul akibat pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo.

"Mungkin suatu saat hak politik TNI sama dengan masyarakat lain, seperti negara lain," begitu kata Panglima TNI saat berbincang di Kompas TV, Senin (3/10/2016) malam.

Tentara, menurut Gatot pada saat ini secara psikologis, layaknya warga asing di Indonesia. Mereka tidak memiliki hak politik untuk ikut memberikan suaranya dalam pemilu.

Malah, bila ingin mendaftar menjadi peserta pemilu, seorang tentara harus melepas jabatan militernya dan tidak boleh kembali ke dinas TNI.

Memang Gatot tidak mengharapkan hak politik anggota TNI tersebut diberikan pada saat pilkada 2017 atau pilpres 2019. Tapi ke depan, dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.

Bila dilakukan saat ini, menurut Gatot, bukan TNI yang belum siap, tapi perlu proses kematangan demokrasi. Dalam hal ini termasuk para pihak yang ikut dalam proses pemilu. Karena tidak tertutup kemungkinan ego masing-masing yang mengikuti proses politik akan memanfaatkan TNI.

Wacana yang disampaikan Panglima TNI ini pun menjadi polemik. Beberapa forum diskusi membahas hak politik tentara tersebut. Sebagian bisa menerima pikiran Gatot.

Dalam diskusi di PARA Syndicate, misalnya, muncul pendapat hak TNI untuk memilih bisa diberikan. Caranya pun sangat mudah. Tidak perlu mengubah undang-undang. Cukup hanya mengubah aturan dari panglima. Para pihak tinggal menyepakati, mau diberlakukan pada 2019, misalnya, persiapan ke arah itu harus dilakukan mulai sekarang.

Meski begitu, dalam diskusi tersebut juga ada pendapat yang tidak menginginkan TNI diberi hak politik, untuk memilih sekali pun. Alasannya militer adalah organisasi komando. Pilihan komandan akan kuat memengaruhi pilihan anak buahnya. Padahal asas hak politik, semua individu mendapatkan kebebasan untuk memilih.

Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, pun akhirnya membuat pernyataan. Ia tidak setuju dengan usulan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, soal pemberian hak politik bagi anggotanya.

Ryamizard berpendapat, demokrasi saat ini belum cukup matang untuk mewadahi anggota TNI berpartisipasi dalam politik. Bahkan ia khawatir akan terjadi perpecahan, jika anggota TNI terjun di dunia politik. Apalagi kondisi tiap partai politik di Indonesia belum solid.

Polemik soal hak pilih TNI ini pun kemudian mengundang komentar Menteri Sekretaris Negara, Pratikno. Ringkasnya, istana tidak menginginkan wacana permintaan hak politik TNI ini semakin berkembang.

Pratikno mengingatkan, netralitas TNI dalam politik harus dijalankan sesuai dengan aturan main yang sudah ditetapkan pemerintah. Perundangan di Indonesia, sudah menggariskan TNI tidak diperbolehkan memilih dan dipilih. Jadi, bila masih ada yang meminta hak politik TNI, itu sama artinya dengan melanggar Undang Undang.

Pro kontra tentang hak politik TNI muncul dan tenggelam hampir setiap kali menjelang pemilu. Pada pemilihan presiden 2014, soal hak politik TNI muncul, bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan uji materi UU Pilpres.

MK dalam keputusan uji materi tersebut menegaskan bahwa TNI dan POLRI tetap tidak boleh menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres pada 9 Juli 2014.

Keinginan TNI mendapatkan hak politik, tentu mengingatkan kita pada peran TNI di masa Orde Baru. Peran sosial politik TNI ketika itu dikemas dalam istilah Dwifungsi ABRI. Selain memiliki peran menjaga kedaulatan negara, tentara juga diberikan fungsi sosial politik. Istilah yang populer ketika itu adalah fungsi ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan.

Praktiknya, TNI dan Polri, diberikan kursi baik di DPR maupun DPRD di tingkat provinsi sampai kabupaten dan kota. Jumlah Fraksi ABRI di lembaga legislatif, cukup signifikan, 20 persen dari kursi DPR/DPRD.

Dengan fungsi tersebut, ABRI di masa Orde Baru, sangat superior. Di legislatif, Fraksi ABRI selalu tandem dengan Golkar sebagai partai penguasa, sehingga suara parpol di lembaga tersebut nyaris tak terdengar. Apa pun kebijakan pemerintah akan lolos dari pengawasan DPR.

ABRI pun oleh penguasa diberikan jabatan-jabatan sipil yang strategis. Gubernur di seluruh wilayah Jawa misalnya, semuanya dijabat tentara berpangkat Jenderal. Begitu pun wali kota dan bupati di wilayah strategis.

Alasan HAM juga sering menjadi landasan untuk meminta hak politik militer. Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol), memang menjamin: "Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk..."

Apalagi ada referensi yang merujuk Kovenan Hak Sipol, yaitu Belanda. Negeri Kincir Angin ini menjadi salah satu negara yang membolehkan hak politik tentara, bahkan melakukan demonstrasi di suatu instalasi militer. Meski pun hak itu dilaksanakan dengan prasyarat tertentu.

Yang perlu diperhatikan, Belanda adalah negara yang sistem demokrasi dan penghargaan HAM nya sudah mapan. Personel militernya bisa memainkan secara baik pemisahan peran sebagai militer dan peran sosialnya sebagai anggota warga negara.

Meski begitu, Komite HAM, badan otoritas Kovenan Hak Sipol, juga membolehkan pembatasan hak memilih dalam suatu pemilu bagi suatu kelompok tertentu, termasuk anggota militer.

Pembatasan ini bisa diterima sejauh terkait kebutuhan mencegah terjadinya konflik kepentingan atau menjaga netralitas politik. Selain itu, juga mempertimbangkan konteks sejarah politik militer dalam masyarakat.

Nah bagaimana dengan Indonesia? Sesungguhnya soal hak politik TNI ini memang sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, sepanjang UU TNI belum diubah. Pasal 2, huruf (d) UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, jelas menyebutkan:

Jati diri Tentara Nasional Indonesia adalah: Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Pasal tersebut bisa diartikan bahwa politik TNI adalah politik negara. Sementara negara menghendaki tentara yang profesional. Dan TNI profesional adalah tentara yang tanpa hak politik. Kembali ke barak dan tak perlu muncul di panggung politik.
TNI profesional tanpa hak politik


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...pa-hak-politik

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- TNI profesional tanpa hak politik Dokumen kematian Munir lenyap, siapa yang bertanggung jawab?

- TNI profesional tanpa hak politik Ahok minta maaf kepada umat muslim, apa kata netizen?

- TNI profesional tanpa hak politik 'Simsalabim' Dimas Kanjeng

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2.9K
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan