- Beranda
- Komunitas
- Hobby
- Spiritual
Ayo Mengenal Sekilas Apa Itu "METTA" (buddhist term for universal love)
TS
shambhala
Ayo Mengenal Sekilas Apa Itu "METTA" (buddhist term for universal love)
Halo agan/aganwati. Salam kenal buat yang belum kenal 
Thread ini berisikan tentang METTA atau cinta kasih universal dalam praktek buddhis. Isinya diambil dari buku terbitan Insight Vidyasena Production berjudul Metta & Manggala. Selamat membaca.
ya. Ini thread hanya untuk mengingatkan kembali ajaran Buddha bagi buddhis dan menambah wawasan bagi non-buddhis.

Metta
Pendahuluan 3
Karaniya Metta Sutta 6
Kisah di Balik Metta Sutta 11
Tiga Aspek dari Metta 17
Etika-Etika Metta 20
Sisi Psikologis Metta 26
Meditasi Cinta Kasih 31
Berkah Metta 51
Kekuatan Metta 55
Tentang Penulis 60
Metta
Falsafah dan Latihan
Cinta Kasih Universal
oleh
Acharya Buddharakkhita
1. Pendahuluan
Kata metta (Pali) merupakan suatu istilah bermakna luas
yang berarti cinta kasih, rasa bersahabat, kehendak baik,
kebajikan, kekerabatan, kerukunan, tanpa itikad buruk
dan tanpa kekerasan. Para ahli bahasa Pali mendefinisikan
metta sebagai suatu dorongan kuat bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan makhluk lain (parahita-parasukhakamana).
Pada intinya, metta adalah suatu sikap altruisme
(sikap yang lebih mementingkan kepentingan makhluk lain
dibandingkan dirinya sendiri) cinta kasih dan persahabatan
yang dapat dibedakan dari sikap persahabatan yang sematamata
demi kepentingan atau keegoisan diri sendiri. Dengan
metta, seseorang menolak untuk bersikap ofensif dan
mendorong kepahitan, kebencian dan permusuhan terhadap
semua makhluk; sebaliknya mengembangkan pikiran yang
bersahabat, bermanfaat dan bajik yang mencari kesejahteraan
dan kebahagiaan makhluk lain. Metta yang sesungguhnya
sama sekali tidak berlandaskan pada ego diri. Metta timbul
sebagai suatu kehangatan dalam persahabatan, simpati dan
cinta kasih, yang berkembang tanpa batas melalui latihan
praktek tanpa membedakan agama, ras, politik, dan ekonomi
di kalangan sosial. Metta sesungguhnya adalah cinta kasih
universal (tanpa keegoan) yang melingkupi semua makhluk.
Metta menjadikan seseorang sebagai wadah yang murni
bagi kesejahteraan dan keamanan makhluk lain tanpa
mengharapkan pamrih. Seperti layaknya seorang ibu
mempertaruhkan kehidupannya sendiri demi melindungi
anak-anaknya. Keinginan untuk memperoleh apa yang
diinginkan merupakan suatu sifat dasar dorongan alamiah
manusia. Saat dorongan ini diubah menjadi keinginan untuk
mendukung keinginan baik dan kebahagiaan makhluk lain,
tidak hanya dorongan dasar untuk mementingkan diri sendiri
yang teratasi, namun pikiran juga menjadi universal dengan
mengetahui keinginannya sendiri terhadap keinginan semua
makhluk. Dengan melakukan perubahan ini, orang tersebut
juga mendukung kesejahteraan dirinya sendiri dalam cara
yang paling baik yang memungkinkan.
Metta adalah sikap protektif dan sangat sabar dari seorang ibu
yang tegar menghadapi semua rintangan demi kepentingan
anaknya, dan bahkan tetap melindunginya atas kesalahan
yang dilakukan anaknya. Metta juga merupakan sikap
seorang sahabat yang ingin memberikan yang terbaik demi
mendukung kesejahteraan orang lain. Jika kualitas-kualitas
metta ini cukup dilatih melalui metta-bhavana — meditasi
cinta kasih secara universal – hasilnya adalah timbunan
kekuatan batin yang luar biasa yang akan menjaga, melindungi,
dan menyembuhkan diri sendiri maupun makhluk lain.
Di balik implikasinya yang lebih tinggi, saat ini metta
merupakan suatu kebutuhan pragmatis (bersifat praktis dan
bermanfaat). Dalam dunia yang dipenuhi oleh segala bentuk
kejahatan, metta dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan
merupakan satu-satunya sarana konstruktif yang akan membawa kerukunan, kedamaian, dan pemahaman bersama.
Sesungguhnya, metta adalah sarana tertinggi, karena ia
membentuk prinsip dasar bagi seluruh agama sebagaimana
menjadi dasar yang ditujukan untuk kesejahteraan makhluk
lainnya.
Tulisan ini bertujuan untuk mendalami berbagai aspek metta,
baik dalam teori maupun prakteknya. Penelusuran mengenai
ajaran dan sisi etis dari metta akan dimulai dari pembahasan
Karaniya Metta Sutta, “Sutta tentang Cinta Kasih Universal”
yang populer. Sehubungan dengan tema cinta kasih, kita juga
akan melihat beberapa naskah pendek mengenai metta.
Penjelasan mengenai metta-bhavana (meditasi cinta kasih)
akan memberikan pedoman praktis dalam mengembangkan
perenungan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam naskahnaskah
utama meditasi dalam tradisi Theravada, yakni
Visuddhimagga, Vimuttimagga, dan Patisambhidamagga.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Karaniya Metta Sutta:
Sutta tentang Cinta
Kasih Universal
Syair 1
Karaniya matthakusalena
Yan tam santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suju ca
Suvaco c’assa mudu anatimani
Ia yang mencari cara untuk meningkatkan kesejahteraannya,
Setelah sekilas menikmati kedamaian sempurna,
Patutlah cakap, jujur dan tulus,
Berbicara dengan halus, lemah-lembut, tidak sombong;
Syair 2
Santussako ca subharo ca
Appakicco ca sallahukavutti
Santindriyo ca nipako ca
Appagabbho kulesu ananugiddho
Merasa puas atas yang dimiliki, ia mestilah mudah dirawat,
Tidak sibuk, dan bersahaja hidupnya,
Berindria tenang, penuh pertimbangan,
Sopan, tak melekat pada keluarga-keluarga;
Syair 3
Na ca khuddam samacare kinci
Yena viññu pare upavadeyyum
Sukhino va khemino hontu
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Juga, ia tidak berbuat kesalahan apapun juga
Yang dapat dicela oleh para bijaksana.
(Kemudian biarlah ia kembangkan pikiran
‘Semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram.
Semoga semua makhluk bahagia’.
Syair 4
Ye keci panabhut’atthi
Tasa va thavara va anavasesa
Digha va ye mahanta va
Majjhima rassakanukathula
Makhluk hidup apapun yang ada,
Yang lemah atau yang kuat tanpa kecuali,
Yang panjang, besar, atau yang sedang,
Atau yang pendek, kecil, kurus ataupun yang gemuk,
Syair 5
Dittha va yeva adittha
Ye ca dure vasanti avidure
Bhuta va sambhavesi va
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Yang tampak ataupun yang tak tampak,
Yang berada jauh ataupun dekat,
Yang telah menjadi ataupun yang belum menjadi,
Semoga semua makhluk bahagia.
Syair 6
Na paro param nikubbetha
Natimaññetha katthacinam kanci
Byarosana patighasañña
Naññamaññassa dukkham iccheyya
Tak sepatutnya yang satu menipu atau menghina
Siapapun dimana pun juga;
Tak sepatutnya mengharap yang lain celaka
Karena rasa marah atau benci.
Syair 7
Mata yatha niyam puttam
Ayusa ekaputtam anurakkhe
Evampi sabbabhutesu
Manasam bhavaye aparimanam
Sebagaimana seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
Melindungi putra tunggalnya,
Demikianlah terhadap semua makhluk,
Kembangkanlah pikiran cinta kasih tanpa batas.
Syair 8
Mettañ ca sabba-lokasmim
Manasam bhavaye aparimanam
Uddham adho ca tiriyanca
Asambadham averam asapattam
Cinta kasih terhadap semua makhluk di segenap alam,
Patut dikembangkan tanpa batas dalam batin,
Baik ke arah atas, bawah, dan diantaranya;
Cinta kasih yang luas,
Tanpa kedengkian, tanpa permusuhan.
Syair 9
Titthañ caram nisinno va
Sayano va yavat’assa vigatamiddho
Etam satim adhittheyya
Brahmam etam viharam idhamahu
Selagi berdiri, berjalan, atau duduk,
Ataupun berbaring, selama masih terjaga;
Sepatutnya ia memusatkan perhatian ini
Yang disebut sebagai ‘berdiam dalam Brahma’.
Syair 10
DItthiñca anupagamma silava
Dassanena sampanno
Kamesu vineyya gedham
Na hi jatu gabbhaseyyam punar eti’ti
Tak lagi berpegang pada pandangan salah,
Teguh dalam sila dan berpengetahuan sempurna,
Dan telah melenyapkan kesenangan nafsu indria;
Ia tak akan lahir dalam rahim lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Kisah Di Balik Metta Sutta
Kisah sejarah yang melatarbelakangi Sang Buddha
membabarkan Karaniya Metta Sutta dijelaskan dalam kitab
komentar yang ditulis oleh Acariya Buddhaghosa, yang
memperolehnya langsung dari garis silsilah para tetua hingga
pada masa kehidupan Sang Buddha.
Dikisahkan bahwa terdapat lima ratus orang bhikkhu yang
memperoleh petunjuk dari Sang Buddha mengenai teknikteknik
meditasi yang sesuai dengan karakter mereka masingmasing.
Maka, selanjutnya mereka pergi ke kaki gunung
Himalaya untuk menghabiskan masa musim penghujan selama
empat bulan dengan hidup mengasingkan diri dan berlatih
meditasi. Pada masa-masa itu, satu atau dua bulan sebelum
masa musim penghujan dimulai, para bhikkhu dari berbagai
belahan kerajaan akan berkumpul dimana Sang Buddha
berdiam untuk menerima petunjuk langsung dari sang Guru
Agung. Setelahnya, mereka akan kembali ke vihara-vihara,
hutan-hutan atau tempat pertapaannya masing-masing
untuk berlatih keras dalam upaya mencapai kebebasan batin.
Demikianlah, lima ratus orang bhikkhu ini mengunjungi Sang
Buddha yang berdiam di Savatthi dalam hutan Jeta di sebuah
vihara yang dibangun oleh Anathapindika.
Setelah memperoleh petunjuk, mereka pergi mencari tempat yang sesuai untuk berlatih, dan dalam pencariannya
menemukan sebuah bukit kecil yang indah di kaki gunung
Himalaya. Tempat ini, menurut gambaran yang diberikan
dalam kitab tersebut, “terlihat seperti Kristal kuarsa biru yang
kemilau: dihiasi dengan kumpulan pepohonan yang sejuk,
rindang, dan hijau dengan bentangan tanah yang ditutupi
oleh pasir, menyerupai sebuah jaring mutiara atau selembar
perak, dan dilengkapi dengan sebuah mata air yang bersih
dan sejuk”. Para bhikkhu terpesona oleh pemandangan ini.
Terdapat sekelompok kecil penduduk desa yang tinggal di
dekat tempat tersebut, dan juga sebuah kota perdagangan
kecil yang cocok sebagai tempat menerima dana makanan.
Para bhikkhu menghabiskan satu malam di hutan tersebut
dan keesokan paginya pergi ke kota untuk menerima dana
makanan.
Para penduduk di daerah tersebut sangat senang melihat
kehadiran bhikkhu-bhikkhu, karena sangat jarang sekelompok
bhikkhu datang menghabiskan masa musim penghujan di
bagian Himalaya tersebut. Para umat melakukan pindapatta
kepada para bhikkhu dan memohon agar para bhikkhu
bersedia tinggal sebagai tamu mereka, menjanjikan akan
membangun sebuah pondokan kecil bagi tiap bhikkhu di
dekat hutan kecil sehingga mereka dapat menghabiskan
siang dan malam berlatih meditasi di bawah naungan dahandahan
tua dari pepohonan raksasa. Para bhikkhu setuju dan
para umat segera membangun pondokan-pondokan kecil di
sepanjang tepi hutan dan menyediakan sebuah kayu dipan,
bangku kecil dan seguci air (untuk minum dan mencuci) di
setiap pondokan tersebut.
Setelah para bhikkhu berdiam dengan puas di dalam
pondokan-pondokan tersebut, setiap bhikkhu memilih
satu pohon untuk berlatih meditasi di bawah naungannya,
sepanjang siang dan malam. Pada saat itu, juga diceritakan
bahwa pepohonan raksasa di daerah tersebut didiami oleh
para dewa pohon yang mendirikan kerajaan surgawi dengan
menggunakan pohon-pohon tersebut sebagai fondasinya.
Para dewa pohon yang merupakan pemilik rumah di pohon
tersebut menyingkir sementara bersama anggota keluarga
mereka tidak merasa nyaman untuk tinggal di atas para
bhikkhu. Atas dasar kebajikan para bhikkhu, dihargai oleh
semua makhluk, demikian pula para dewa pohon. Para
dewa pohon berpikir bahwa para bhikkhu tersebut hanya
menetap selama satu sampai dua malam dan dengan senang
menanggung ketidaknyamanan ini. Namun, hari demi hari
silih berganti, para bhikkhu masih tetap berlatih di bawah
pohon-pohon tersebut, kemudian para dewa mulai bertanyatanya
kapan mereka akan pergi. Mereka seperti penduduk
desa yang terasingkan dari rumah-rumahnya dan para dewa
hanya memperhatikan dari kejauhan sambil bertanya-tanya
kapan akan menempati rumah mereka kembali.
Para dewa yang tersingkir ini mendiskusikan keadaan mereka
dan memutuskan untuk menakuti-nakuti para bhikkhu
dengan memperlihatkan objek-objek menakutkan, membuat
suara-suara yang mengerikan dan menciptakan bau yang
memuakkan. Demikianlah, mereka membuat kondisi-kondisi
mengerikan ini dan mempengaruhi para bhikkhu. Segera
para bhikkhu menderita keletihan dan tidak dapat lagi
berkonsentrasi pada subjek latihan meditasi mereka. Saat
para dewa meneruskan tindakan buruk ini, para bhikkhu bahkan dapat kehilangan akal pikiran dan pikiran mereka
seakan dipenuhi oleh penglihatan-penglihatan, suara-suara,
dan bau-bau yang menyerang. Saat para bhikkhu berkumpul
untuk menunggu pendapat bhikkhu paling senior dalam
kelompok tersebut, setiap bhikkhu saling menceritakan
pengalaman mereka. Bhikkhu paling senior menyarankan:
“Mari kita pergi, Saudaraku, menemui Sang Buddha dan
menceritakan permasalahan ini kepada beliau. Terdapat
dua jenis latihan masa musim penghujan – yang awal dan
akhir. Meskipun kita akan melewatkan latihan yang pertama
dengan meninggalkan tempat ini, namun kita masih dapat
melaksanakan latihan yang kedua setelah menemui Sang
Guru Agung”. Pada akhirnya para bhikkhu setuju pergi
meninggalkan tempat tersebut tanpa memberitahukan para
umat sekitarnya di daerah tersebut.
Tibalah para bhikkhu di Savatthi, menemui Sang Buddha,
bersujud di hadapan Beliau, dan menceritakan pengalamanpengalaman
mengerikan yang mereka alami, serta memohon
untuk diizinkan berlatih di tempat lainnya. Sang Buddha,
dengan kekuatan batinnya, melihat ke seluruh pelosok India,
namun tidak menemukan satu tempat pun kecuali tempat
yang telah mereka diami sebelumnya, agar mereka dapat
memperoleh kebebasan batin, dan kemudian berkata kepada
para bhikkhu tersebut: “Para bhikkhu, kembalilah ke tempat
sebelumnya yang telah kalian diami. Hanya dengan berjuang
di sanalah kalian akan dapat menghancurkan noda-noda
batin. Jangan takut! Jika kalian ingin terbebas dari gangguan
yang dilakukan oleh para dewa tersebut, pelajarilah Sutta
ini. Sutta ini akan menjadi pokok dasar renungan meditasi
sebagaimana pula sebagai rumus dasar perlindungan (paritta).
Selanjutnya Sang Guru melafalkan Karaniya Metta Sutta —
Sutta tentang Cinta Kasih Universal — yang dipelajari oleh
para bhikkhu dengan menghapal di hadapan Sang Buddha.
Kemudian mereka kembali ke tempat yang sama.
Saat para bhikkhu kembali ke vihara di Savatthi (Hutan
Jeta), kediaman mereka sebelumnya dengan melafalkan
Metta Sutta, berpikir dan berkonsentrasi pada makna yang
terkandung di dalamnya, hati para dewa terisi penuh oleh
perasaan hangat akan kebajikan hingga mereka membentuk
diri mereka menjadi manusia dan menerima para bhikkhu
dengan kesungguhan hati. Mereka membawa mangkuk
para bhikkhu, menuntun para bhikkhu ke kamarnya masingmasing,
mengisi air dan makanan, dan kemudian dengan
kembali ke bentuk aslinya, mengundang para bhikkhu untuk
menempati dasar pohon dan bermeditasi tanpa keraguan
atau ketakutan.
Selama masa tiga bulan musim penghujan, para dewa tidak
hanya menjaga para bhikkhu dalam segala hal saja, tetapi
memastikan bahwa tempat tersebut bebas dari segala bentuk
suara. Menikmati keheningan sempurna ini, pada masa akhir
musim penghujan, semua bhikkhu (500 orang) memperoleh
puncak kesempurnaan batin dan menjadi Arahat. Setiap
bhikkhu dari kelima ratus bhikkhu tersebut menjadi arahat.
Demikianlah kekuatan intrinsik yang terkandung dalam
Metta Sutta. Siapapun yang melafalkan Sutta ini dengan
penuh keyakinan, memohon perlindungan para dewa
dan bermeditasi atas dasar metta, ini bukan hanya akan melindungi dirinya sendiri dalam segala bentuk, namun juga
akan melindungi semua makhluk di sekitarnya sehingga
meningkatkan kemajuan batin yang dapat dibuktikan.
Tidak ada kemalangan yang akan menimpa seseorang yang
mengikuti jalan metta ini.


4. Tiga Aspek Dari Metta
Metta Sutta terdiri atas tiga bagian, dimana setiap bagian fokus
pada aspek yang berbeda dari metta. Bagian pertama (baris
tiga hingga sepuluh) mencakup aspek yang memerlukan suatu
penerapan yang menyeluruh dan sistematis dari cinta kasih
dalam kehidupan sehari-hari. Bagian kedua (baris kesebelas
hingga dua puluh) menggambarkan cinta kasih sebagai suatu
teknik meditasi atau keadaan pikiran menuju pada samadhi
— kesadaran lebih tinggi yang diperoleh melalui pencerapan.
Dan bagian ketiga (baris kedua puluh satu hingga empat
puluh) menggaris-bawahi komitmen penuh terhadap filosofi
cinta kasih universal dan perluasan personal, sosial, dan
empirisnya – cinta kasih dalam seluruh kegiatan, baik melalui
perbuatan badan jasmani, ucapan, maupun pikiran.
Metta telah diidentifikasikan sebagai faktor khusus
yang “mematangkan” jasa kebajikan (punna) yang telah
ditanam melalui sepuluh cara perbuatan bajik (dasapunnakiriyavatthu),
seperti latihan berdana, melaksanakan sila, dan
sebagainya. Demikian pula, metta juga mematangkan sepuluh
kualitas batin luhur yang dikenal sebagai “kesempurnaan”
(paramita).
Oleh karena itu, latihan metta dapat diibaratkan seperti
menumbuhkan sebuah pohon besar sejak benih pohon tersebut ditanam hingga pohon tersebut tumbuh besar
dengan buah-buahan ranum dan wangi semerbak yang
menebar ke sekitarnya, menarik jutaan makhluk untuk datang
dan menikmati isinya yang lezat dan bergizi. Penebaran
benih dan pertumbuhan pohon tersebut digambarkan dalam
bagian pertama Sutta. Pada bagian kedua, pohon tersebut,
yang telah tumbuh besar dan kuat, dipenuhi oleh bungabunga
yang indah dan wangi, menarik semua mata tertuju
padanya.
Sebagai suatu pola tingkah laku, aspek pertama dari metta
membuat kehidupan seseorang berkembang seperti sebuah
pohon, berfaedah, dermawan, dan agung. Dalam meditasi,
metta mempengaruhi perkembangan batin dimana seluruh
kehidupan seseorang menjadi sumber kebahagiaan semua
makhluk. Bagian ketiga memberikan gambaran matangnya
proses perkembangan batin dimana seseorang melaksanakan
penerapan cinta kasih batin yang dapat mempengaruhi
kondisi masyarakat sebagai satu kesatuan dan mengarahkan
seseorang menuju pada pencapaian pembebasan tertinggi.
Pikiran manusia bagaikan sebuah tambang yang menyimpan
segudang kekuatan batin dan pemahaman mendalam.
Potensi nilai-nilai kebajikan dalam diri dapat melalui latihan
metta, sebagaimana dengan jelas digambarkan bahwa metta
sebagai “kekuatan pendorong” yang mematangkan nilainilai
kebajikan lainnya. Dalam Mangala Sutta dikatakan
bahwa hanya jika seseorang dipengaruhi suatu hubungan
interpersonal positif (bergaul dengan kelompok orang bijak,
dan sebagainya) maka seseorang memilih lingkungan yang
tepat bagi jasa-jasa kebajikan yang telah ditimbunnya pada masa lampau untuk berbuah pada masa kehidupan sekarang,
saat ini. Menemukan matangnya jasa-jasa kebajikan ini
sesungguhnya adalah apa yang dihasilkan oleh metta.
Menghindari pergaulan yang buruk dan tinggal di lingkungan
yang baik saja tidaklah cukup; tetapi pikiran juga harus
dipenuhi oleh metta. Demikianlah hasil dari matangnya jasajasa
kebajikan masa lalu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
berlanjut ya gan...


Thread ini berisikan tentang METTA atau cinta kasih universal dalam praktek buddhis. Isinya diambil dari buku terbitan Insight Vidyasena Production berjudul Metta & Manggala. Selamat membaca.
ya. Ini thread hanya untuk mengingatkan kembali ajaran Buddha bagi buddhis dan menambah wawasan bagi non-buddhis.

Metta
Pendahuluan 3
Karaniya Metta Sutta 6
Kisah di Balik Metta Sutta 11
Tiga Aspek dari Metta 17
Etika-Etika Metta 20
Sisi Psikologis Metta 26
Meditasi Cinta Kasih 31
Berkah Metta 51
Kekuatan Metta 55
Tentang Penulis 60
Metta
Falsafah dan Latihan
Cinta Kasih Universal
oleh
Acharya Buddharakkhita
1. Pendahuluan
Kata metta (Pali) merupakan suatu istilah bermakna luas
yang berarti cinta kasih, rasa bersahabat, kehendak baik,
kebajikan, kekerabatan, kerukunan, tanpa itikad buruk
dan tanpa kekerasan. Para ahli bahasa Pali mendefinisikan
metta sebagai suatu dorongan kuat bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan makhluk lain (parahita-parasukhakamana).
Pada intinya, metta adalah suatu sikap altruisme
(sikap yang lebih mementingkan kepentingan makhluk lain
dibandingkan dirinya sendiri) cinta kasih dan persahabatan
yang dapat dibedakan dari sikap persahabatan yang sematamata
demi kepentingan atau keegoisan diri sendiri. Dengan
metta, seseorang menolak untuk bersikap ofensif dan
mendorong kepahitan, kebencian dan permusuhan terhadap
semua makhluk; sebaliknya mengembangkan pikiran yang
bersahabat, bermanfaat dan bajik yang mencari kesejahteraan
dan kebahagiaan makhluk lain. Metta yang sesungguhnya
sama sekali tidak berlandaskan pada ego diri. Metta timbul
sebagai suatu kehangatan dalam persahabatan, simpati dan
cinta kasih, yang berkembang tanpa batas melalui latihan
praktek tanpa membedakan agama, ras, politik, dan ekonomi
di kalangan sosial. Metta sesungguhnya adalah cinta kasih
universal (tanpa keegoan) yang melingkupi semua makhluk.
Metta menjadikan seseorang sebagai wadah yang murni
bagi kesejahteraan dan keamanan makhluk lain tanpa
mengharapkan pamrih. Seperti layaknya seorang ibu
mempertaruhkan kehidupannya sendiri demi melindungi
anak-anaknya. Keinginan untuk memperoleh apa yang
diinginkan merupakan suatu sifat dasar dorongan alamiah
manusia. Saat dorongan ini diubah menjadi keinginan untuk
mendukung keinginan baik dan kebahagiaan makhluk lain,
tidak hanya dorongan dasar untuk mementingkan diri sendiri
yang teratasi, namun pikiran juga menjadi universal dengan
mengetahui keinginannya sendiri terhadap keinginan semua
makhluk. Dengan melakukan perubahan ini, orang tersebut
juga mendukung kesejahteraan dirinya sendiri dalam cara
yang paling baik yang memungkinkan.
Metta adalah sikap protektif dan sangat sabar dari seorang ibu
yang tegar menghadapi semua rintangan demi kepentingan
anaknya, dan bahkan tetap melindunginya atas kesalahan
yang dilakukan anaknya. Metta juga merupakan sikap
seorang sahabat yang ingin memberikan yang terbaik demi
mendukung kesejahteraan orang lain. Jika kualitas-kualitas
metta ini cukup dilatih melalui metta-bhavana — meditasi
cinta kasih secara universal – hasilnya adalah timbunan
kekuatan batin yang luar biasa yang akan menjaga, melindungi,
dan menyembuhkan diri sendiri maupun makhluk lain.
Di balik implikasinya yang lebih tinggi, saat ini metta
merupakan suatu kebutuhan pragmatis (bersifat praktis dan
bermanfaat). Dalam dunia yang dipenuhi oleh segala bentuk
kejahatan, metta dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan
merupakan satu-satunya sarana konstruktif yang akan membawa kerukunan, kedamaian, dan pemahaman bersama.
Sesungguhnya, metta adalah sarana tertinggi, karena ia
membentuk prinsip dasar bagi seluruh agama sebagaimana
menjadi dasar yang ditujukan untuk kesejahteraan makhluk
lainnya.
Tulisan ini bertujuan untuk mendalami berbagai aspek metta,
baik dalam teori maupun prakteknya. Penelusuran mengenai
ajaran dan sisi etis dari metta akan dimulai dari pembahasan
Karaniya Metta Sutta, “Sutta tentang Cinta Kasih Universal”
yang populer. Sehubungan dengan tema cinta kasih, kita juga
akan melihat beberapa naskah pendek mengenai metta.
Penjelasan mengenai metta-bhavana (meditasi cinta kasih)
akan memberikan pedoman praktis dalam mengembangkan
perenungan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam naskahnaskah
utama meditasi dalam tradisi Theravada, yakni
Visuddhimagga, Vimuttimagga, dan Patisambhidamagga.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Karaniya Metta Sutta:
Sutta tentang Cinta
Kasih Universal
Syair 1
Karaniya matthakusalena
Yan tam santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suju ca
Suvaco c’assa mudu anatimani
Ia yang mencari cara untuk meningkatkan kesejahteraannya,
Setelah sekilas menikmati kedamaian sempurna,
Patutlah cakap, jujur dan tulus,
Berbicara dengan halus, lemah-lembut, tidak sombong;
Syair 2
Santussako ca subharo ca
Appakicco ca sallahukavutti
Santindriyo ca nipako ca
Appagabbho kulesu ananugiddho
Merasa puas atas yang dimiliki, ia mestilah mudah dirawat,
Tidak sibuk, dan bersahaja hidupnya,
Berindria tenang, penuh pertimbangan,
Sopan, tak melekat pada keluarga-keluarga;
Syair 3
Na ca khuddam samacare kinci
Yena viññu pare upavadeyyum
Sukhino va khemino hontu
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Juga, ia tidak berbuat kesalahan apapun juga
Yang dapat dicela oleh para bijaksana.
(Kemudian biarlah ia kembangkan pikiran

‘Semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram.
Semoga semua makhluk bahagia’.
Syair 4
Ye keci panabhut’atthi
Tasa va thavara va anavasesa
Digha va ye mahanta va
Majjhima rassakanukathula
Makhluk hidup apapun yang ada,
Yang lemah atau yang kuat tanpa kecuali,
Yang panjang, besar, atau yang sedang,
Atau yang pendek, kecil, kurus ataupun yang gemuk,
Syair 5
Dittha va yeva adittha
Ye ca dure vasanti avidure
Bhuta va sambhavesi va
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Yang tampak ataupun yang tak tampak,
Yang berada jauh ataupun dekat,
Yang telah menjadi ataupun yang belum menjadi,
Semoga semua makhluk bahagia.
Syair 6
Na paro param nikubbetha
Natimaññetha katthacinam kanci
Byarosana patighasañña
Naññamaññassa dukkham iccheyya
Tak sepatutnya yang satu menipu atau menghina
Siapapun dimana pun juga;
Tak sepatutnya mengharap yang lain celaka
Karena rasa marah atau benci.
Syair 7
Mata yatha niyam puttam
Ayusa ekaputtam anurakkhe
Evampi sabbabhutesu
Manasam bhavaye aparimanam
Sebagaimana seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
Melindungi putra tunggalnya,
Demikianlah terhadap semua makhluk,
Kembangkanlah pikiran cinta kasih tanpa batas.
Syair 8
Mettañ ca sabba-lokasmim
Manasam bhavaye aparimanam
Uddham adho ca tiriyanca
Asambadham averam asapattam
Cinta kasih terhadap semua makhluk di segenap alam,
Patut dikembangkan tanpa batas dalam batin,
Baik ke arah atas, bawah, dan diantaranya;
Cinta kasih yang luas,
Tanpa kedengkian, tanpa permusuhan.
Syair 9
Titthañ caram nisinno va
Sayano va yavat’assa vigatamiddho
Etam satim adhittheyya
Brahmam etam viharam idhamahu
Selagi berdiri, berjalan, atau duduk,
Ataupun berbaring, selama masih terjaga;
Sepatutnya ia memusatkan perhatian ini
Yang disebut sebagai ‘berdiam dalam Brahma’.
Syair 10
DItthiñca anupagamma silava
Dassanena sampanno
Kamesu vineyya gedham
Na hi jatu gabbhaseyyam punar eti’ti
Tak lagi berpegang pada pandangan salah,
Teguh dalam sila dan berpengetahuan sempurna,
Dan telah melenyapkan kesenangan nafsu indria;
Ia tak akan lahir dalam rahim lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Kisah Di Balik Metta Sutta
Kisah sejarah yang melatarbelakangi Sang Buddha
membabarkan Karaniya Metta Sutta dijelaskan dalam kitab
komentar yang ditulis oleh Acariya Buddhaghosa, yang
memperolehnya langsung dari garis silsilah para tetua hingga
pada masa kehidupan Sang Buddha.
Dikisahkan bahwa terdapat lima ratus orang bhikkhu yang
memperoleh petunjuk dari Sang Buddha mengenai teknikteknik
meditasi yang sesuai dengan karakter mereka masingmasing.
Maka, selanjutnya mereka pergi ke kaki gunung
Himalaya untuk menghabiskan masa musim penghujan selama
empat bulan dengan hidup mengasingkan diri dan berlatih
meditasi. Pada masa-masa itu, satu atau dua bulan sebelum
masa musim penghujan dimulai, para bhikkhu dari berbagai
belahan kerajaan akan berkumpul dimana Sang Buddha
berdiam untuk menerima petunjuk langsung dari sang Guru
Agung. Setelahnya, mereka akan kembali ke vihara-vihara,
hutan-hutan atau tempat pertapaannya masing-masing
untuk berlatih keras dalam upaya mencapai kebebasan batin.
Demikianlah, lima ratus orang bhikkhu ini mengunjungi Sang
Buddha yang berdiam di Savatthi dalam hutan Jeta di sebuah
vihara yang dibangun oleh Anathapindika.
Setelah memperoleh petunjuk, mereka pergi mencari tempat yang sesuai untuk berlatih, dan dalam pencariannya
menemukan sebuah bukit kecil yang indah di kaki gunung
Himalaya. Tempat ini, menurut gambaran yang diberikan
dalam kitab tersebut, “terlihat seperti Kristal kuarsa biru yang
kemilau: dihiasi dengan kumpulan pepohonan yang sejuk,
rindang, dan hijau dengan bentangan tanah yang ditutupi
oleh pasir, menyerupai sebuah jaring mutiara atau selembar
perak, dan dilengkapi dengan sebuah mata air yang bersih
dan sejuk”. Para bhikkhu terpesona oleh pemandangan ini.
Terdapat sekelompok kecil penduduk desa yang tinggal di
dekat tempat tersebut, dan juga sebuah kota perdagangan
kecil yang cocok sebagai tempat menerima dana makanan.
Para bhikkhu menghabiskan satu malam di hutan tersebut
dan keesokan paginya pergi ke kota untuk menerima dana
makanan.
Para penduduk di daerah tersebut sangat senang melihat
kehadiran bhikkhu-bhikkhu, karena sangat jarang sekelompok
bhikkhu datang menghabiskan masa musim penghujan di
bagian Himalaya tersebut. Para umat melakukan pindapatta
kepada para bhikkhu dan memohon agar para bhikkhu
bersedia tinggal sebagai tamu mereka, menjanjikan akan
membangun sebuah pondokan kecil bagi tiap bhikkhu di
dekat hutan kecil sehingga mereka dapat menghabiskan
siang dan malam berlatih meditasi di bawah naungan dahandahan
tua dari pepohonan raksasa. Para bhikkhu setuju dan
para umat segera membangun pondokan-pondokan kecil di
sepanjang tepi hutan dan menyediakan sebuah kayu dipan,
bangku kecil dan seguci air (untuk minum dan mencuci) di
setiap pondokan tersebut.
Setelah para bhikkhu berdiam dengan puas di dalam
pondokan-pondokan tersebut, setiap bhikkhu memilih
satu pohon untuk berlatih meditasi di bawah naungannya,
sepanjang siang dan malam. Pada saat itu, juga diceritakan
bahwa pepohonan raksasa di daerah tersebut didiami oleh
para dewa pohon yang mendirikan kerajaan surgawi dengan
menggunakan pohon-pohon tersebut sebagai fondasinya.
Para dewa pohon yang merupakan pemilik rumah di pohon
tersebut menyingkir sementara bersama anggota keluarga
mereka tidak merasa nyaman untuk tinggal di atas para
bhikkhu. Atas dasar kebajikan para bhikkhu, dihargai oleh
semua makhluk, demikian pula para dewa pohon. Para
dewa pohon berpikir bahwa para bhikkhu tersebut hanya
menetap selama satu sampai dua malam dan dengan senang
menanggung ketidaknyamanan ini. Namun, hari demi hari
silih berganti, para bhikkhu masih tetap berlatih di bawah
pohon-pohon tersebut, kemudian para dewa mulai bertanyatanya
kapan mereka akan pergi. Mereka seperti penduduk
desa yang terasingkan dari rumah-rumahnya dan para dewa
hanya memperhatikan dari kejauhan sambil bertanya-tanya
kapan akan menempati rumah mereka kembali.
Para dewa yang tersingkir ini mendiskusikan keadaan mereka
dan memutuskan untuk menakuti-nakuti para bhikkhu
dengan memperlihatkan objek-objek menakutkan, membuat
suara-suara yang mengerikan dan menciptakan bau yang
memuakkan. Demikianlah, mereka membuat kondisi-kondisi
mengerikan ini dan mempengaruhi para bhikkhu. Segera
para bhikkhu menderita keletihan dan tidak dapat lagi
berkonsentrasi pada subjek latihan meditasi mereka. Saat
para dewa meneruskan tindakan buruk ini, para bhikkhu bahkan dapat kehilangan akal pikiran dan pikiran mereka
seakan dipenuhi oleh penglihatan-penglihatan, suara-suara,
dan bau-bau yang menyerang. Saat para bhikkhu berkumpul
untuk menunggu pendapat bhikkhu paling senior dalam
kelompok tersebut, setiap bhikkhu saling menceritakan
pengalaman mereka. Bhikkhu paling senior menyarankan:
“Mari kita pergi, Saudaraku, menemui Sang Buddha dan
menceritakan permasalahan ini kepada beliau. Terdapat
dua jenis latihan masa musim penghujan – yang awal dan
akhir. Meskipun kita akan melewatkan latihan yang pertama
dengan meninggalkan tempat ini, namun kita masih dapat
melaksanakan latihan yang kedua setelah menemui Sang
Guru Agung”. Pada akhirnya para bhikkhu setuju pergi
meninggalkan tempat tersebut tanpa memberitahukan para
umat sekitarnya di daerah tersebut.
Tibalah para bhikkhu di Savatthi, menemui Sang Buddha,
bersujud di hadapan Beliau, dan menceritakan pengalamanpengalaman
mengerikan yang mereka alami, serta memohon
untuk diizinkan berlatih di tempat lainnya. Sang Buddha,
dengan kekuatan batinnya, melihat ke seluruh pelosok India,
namun tidak menemukan satu tempat pun kecuali tempat
yang telah mereka diami sebelumnya, agar mereka dapat
memperoleh kebebasan batin, dan kemudian berkata kepada
para bhikkhu tersebut: “Para bhikkhu, kembalilah ke tempat
sebelumnya yang telah kalian diami. Hanya dengan berjuang
di sanalah kalian akan dapat menghancurkan noda-noda
batin. Jangan takut! Jika kalian ingin terbebas dari gangguan
yang dilakukan oleh para dewa tersebut, pelajarilah Sutta
ini. Sutta ini akan menjadi pokok dasar renungan meditasi
sebagaimana pula sebagai rumus dasar perlindungan (paritta).
Selanjutnya Sang Guru melafalkan Karaniya Metta Sutta —
Sutta tentang Cinta Kasih Universal — yang dipelajari oleh
para bhikkhu dengan menghapal di hadapan Sang Buddha.
Kemudian mereka kembali ke tempat yang sama.
Saat para bhikkhu kembali ke vihara di Savatthi (Hutan
Jeta), kediaman mereka sebelumnya dengan melafalkan
Metta Sutta, berpikir dan berkonsentrasi pada makna yang
terkandung di dalamnya, hati para dewa terisi penuh oleh
perasaan hangat akan kebajikan hingga mereka membentuk
diri mereka menjadi manusia dan menerima para bhikkhu
dengan kesungguhan hati. Mereka membawa mangkuk
para bhikkhu, menuntun para bhikkhu ke kamarnya masingmasing,
mengisi air dan makanan, dan kemudian dengan
kembali ke bentuk aslinya, mengundang para bhikkhu untuk
menempati dasar pohon dan bermeditasi tanpa keraguan
atau ketakutan.
Selama masa tiga bulan musim penghujan, para dewa tidak
hanya menjaga para bhikkhu dalam segala hal saja, tetapi
memastikan bahwa tempat tersebut bebas dari segala bentuk
suara. Menikmati keheningan sempurna ini, pada masa akhir
musim penghujan, semua bhikkhu (500 orang) memperoleh
puncak kesempurnaan batin dan menjadi Arahat. Setiap
bhikkhu dari kelima ratus bhikkhu tersebut menjadi arahat.
Demikianlah kekuatan intrinsik yang terkandung dalam
Metta Sutta. Siapapun yang melafalkan Sutta ini dengan
penuh keyakinan, memohon perlindungan para dewa
dan bermeditasi atas dasar metta, ini bukan hanya akan melindungi dirinya sendiri dalam segala bentuk, namun juga
akan melindungi semua makhluk di sekitarnya sehingga
meningkatkan kemajuan batin yang dapat dibuktikan.
Tidak ada kemalangan yang akan menimpa seseorang yang
mengikuti jalan metta ini.


4. Tiga Aspek Dari Metta
Metta Sutta terdiri atas tiga bagian, dimana setiap bagian fokus
pada aspek yang berbeda dari metta. Bagian pertama (baris
tiga hingga sepuluh) mencakup aspek yang memerlukan suatu
penerapan yang menyeluruh dan sistematis dari cinta kasih
dalam kehidupan sehari-hari. Bagian kedua (baris kesebelas
hingga dua puluh) menggambarkan cinta kasih sebagai suatu
teknik meditasi atau keadaan pikiran menuju pada samadhi
— kesadaran lebih tinggi yang diperoleh melalui pencerapan.
Dan bagian ketiga (baris kedua puluh satu hingga empat
puluh) menggaris-bawahi komitmen penuh terhadap filosofi
cinta kasih universal dan perluasan personal, sosial, dan
empirisnya – cinta kasih dalam seluruh kegiatan, baik melalui
perbuatan badan jasmani, ucapan, maupun pikiran.
Metta telah diidentifikasikan sebagai faktor khusus
yang “mematangkan” jasa kebajikan (punna) yang telah
ditanam melalui sepuluh cara perbuatan bajik (dasapunnakiriyavatthu),
seperti latihan berdana, melaksanakan sila, dan
sebagainya. Demikian pula, metta juga mematangkan sepuluh
kualitas batin luhur yang dikenal sebagai “kesempurnaan”
(paramita).
Oleh karena itu, latihan metta dapat diibaratkan seperti
menumbuhkan sebuah pohon besar sejak benih pohon tersebut ditanam hingga pohon tersebut tumbuh besar
dengan buah-buahan ranum dan wangi semerbak yang
menebar ke sekitarnya, menarik jutaan makhluk untuk datang
dan menikmati isinya yang lezat dan bergizi. Penebaran
benih dan pertumbuhan pohon tersebut digambarkan dalam
bagian pertama Sutta. Pada bagian kedua, pohon tersebut,
yang telah tumbuh besar dan kuat, dipenuhi oleh bungabunga
yang indah dan wangi, menarik semua mata tertuju
padanya.
Sebagai suatu pola tingkah laku, aspek pertama dari metta
membuat kehidupan seseorang berkembang seperti sebuah
pohon, berfaedah, dermawan, dan agung. Dalam meditasi,
metta mempengaruhi perkembangan batin dimana seluruh
kehidupan seseorang menjadi sumber kebahagiaan semua
makhluk. Bagian ketiga memberikan gambaran matangnya
proses perkembangan batin dimana seseorang melaksanakan
penerapan cinta kasih batin yang dapat mempengaruhi
kondisi masyarakat sebagai satu kesatuan dan mengarahkan
seseorang menuju pada pencapaian pembebasan tertinggi.
Pikiran manusia bagaikan sebuah tambang yang menyimpan
segudang kekuatan batin dan pemahaman mendalam.
Potensi nilai-nilai kebajikan dalam diri dapat melalui latihan
metta, sebagaimana dengan jelas digambarkan bahwa metta
sebagai “kekuatan pendorong” yang mematangkan nilainilai
kebajikan lainnya. Dalam Mangala Sutta dikatakan
bahwa hanya jika seseorang dipengaruhi suatu hubungan
interpersonal positif (bergaul dengan kelompok orang bijak,
dan sebagainya) maka seseorang memilih lingkungan yang
tepat bagi jasa-jasa kebajikan yang telah ditimbunnya pada masa lampau untuk berbuah pada masa kehidupan sekarang,
saat ini. Menemukan matangnya jasa-jasa kebajikan ini
sesungguhnya adalah apa yang dihasilkan oleh metta.
Menghindari pergaulan yang buruk dan tinggal di lingkungan
yang baik saja tidaklah cukup; tetapi pikiran juga harus
dipenuhi oleh metta. Demikianlah hasil dari matangnya jasajasa
kebajikan masa lalu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
berlanjut ya gan...

tata604 memberi reputasi
1
5.9K
14
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan