- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ini Strategi Agar Diterima di Harvard Law School


TS
ataprumah
Ini Strategi Agar Diterima di Harvard Law School
Quote:
Anak Hukum di seluruh dunia termasuk di Indonesia ingin mengenyam pendidikan di universitas terbaik. Salah satu adalah Harvard University Law School. Betapa tidak, fakultas hukum universitas yang berada di Amerika Serikat ini telah melahirkan banyak orang sukses yang memiliki karir gemilang tak hanya di AS, tetapi juga di negara-negara lain.
Sebagai universitas terbaik di dunia, tentu saja Harvard tidak sembarangan menerima mahasiswa. Harvard menyeleksi murid yang akan menerima pendidikan dari mereka dengan sangat ketat. Ketatnya persaingan, mungkin membuat banyak orang bertanya-tanya bagaimana sih caranya agar dapat diterima di Harvard?
Salah seorang alumni Harvard Law School asal Indonesia, Togi Pangaribuan berbagi kiat sukses mendaftar di kampus hukum terkemuka ini. Togi yang kini menjadi associate di firma hukum Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP) mendapat gelar LL.M dari Harvard Law School untuk jurusan International Commercial Arbitration dan Corporation pada 2011 lalu.
Hebatnya, Togi langsung diterima hanya dengan sekali mendaftar. Namun, ia mengatakan kesuksesan itu tak didapat dengan mudah. Ia mengaku melakukan persiapan yang cukup panjang agar bisa sukses mendaftar dan diterima di universitas impiannya. Persiapannya bukan hanya setahun atau dua tahun, tetapi telah dipersiapkannya sebelum lulus kuliah strata-1 di Indonesia.
"Persiapan S2 saya panjang bahkan sejak sebelum lulus sudah ada di mindset saya, saya mau kuliah S2 dimana. Saya sudah buat shortlist sekolahnya, saya sudah baca-baca dokumen terkaitnya di website sekolahnya, lalu saya bikin action plan, formulir apa saja yang saya butuhkan, qualifikasi apa saja yang mereka butuhkan dari sana saya mulai menyusun semuanya,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan 2002 ini kepada hukumonline.
Setelah memiliki action plan, Togi mulai memperkirakan pengalaman hidup apa saja yang perlu dia perkaya, keahlian apa saja yang perlu dia asah untuk dapat diterima di universitas Harvard. Togi juga banyak mengamati dan mempelajari keunggulan alumni Harvard lainnya, untuk mengetahui apa yang membuat mereka diterima masuk di Harvard.
“Waktu itu saya belajar dari track record senior-senior yang diterima di Harvard sebelumnya apa yang mereka lakukan sehingga mereka bisa diterima. Salah satu dari sekian banyak kualitas mereka adalah pengalaman kerja yang menarik sehingga membuat motivation letter, essay ataupun namanya itu bisa stand out atau berbeda dari yang lainnya,” jelas Togi.
Saat itu, Togi mulai berpikir kalau dirinya tetap bekerja law firm maka pengalaman hidup dan pekerjaannya tidak akan menarik dan kurang stand out dibandingan lulusan hukum lainnya. Ia pun berani mengambil keputusan untuk keluar dari firma hukum Soemadipradja & Taher, lalu kemudian menerima pekerjaan honorer di staf khusus presiden bidang hubungan luar negeri. Tujuannya agar pengalaman hidupnya lebih terlihat menarik.
“Ketika teman saya yang pernah kerja di kantor staf khusus presiden bilang bahwa kantor staf khusus presiden membuka lowongan saya langsung tertarik. Walaupun saya tahu gajinya hanya setengah dari gaji saya di firma, saya kejar pekerjaan itu,” papar Togi yang pernah magang di Firma Rajah & Tann di Singapore di akhir masa kuliahnya di UI.
Terlepas dari cita-citanya untuk sekolah di universitas terbaik di dunia, pekerjaan sebagai staf khusus presiden bidang luar negeri juga menjawab keinginannya untuk mendapat pekerjaan yang ada hubungan dengan dunia internasional. Perkerjaan ini juga memenuhi idealisme Togi, yang ingin mengabdi untuk negara.
“Saya yakin ambil karena saya punya action plan untuk membuat pengalaman saya menarik. Andai saya tidak punya action plan, besar kemungkinan akan ada pertimbangan tidak mengambil pekerjaan ini (di staf khusus kepresidenan),” ujar pengajar mata kuliah Perdagangan Internasional di FHUI ini.
Togi menambahkan karena action plan yang dimilikinya, dirinya menjadi peka menangkap kesempatan yang dapat memperkaya pengalamannya agar bisa sukses diterima di Harvard.
“Persiapan tidak hanya tiga bulan sebelum daftar, tapi beberapa tahun sebelumnya sudah saya pikirkan apa yang akan saya tulis di formulir aplikasi apa yang akan saya tulis di personal essay, minta letter of recommendation dari siapa, terus kemudian saya juga banyak dapat bantuan dari teman-teman terdekat saya saat saya membuat essay. Jadi sekali daftar langsung keterima tapi persiapannya bertahun-tahun sebelumnya,” tukasnya.
Selain memiliki pengalaman kerja menarik untuk memenuhi syarat mendaftar di universitas ternama Togi juga mulai menulis. Pasalnya, salah satu syarat pendaftaran di universitas Harvard adalah dengan mempublikasikan tulisannya di media. Tiga Tulisan Togi mengenai hubungan luar negeri dan hukum internasional berhasil dipublikasikan di surat kabar nasional berbahasa Inggris, Jakarta Post.
Sebagai universitas terbaik di dunia, tentu saja Harvard tidak sembarangan menerima mahasiswa. Harvard menyeleksi murid yang akan menerima pendidikan dari mereka dengan sangat ketat. Ketatnya persaingan, mungkin membuat banyak orang bertanya-tanya bagaimana sih caranya agar dapat diterima di Harvard?
Salah seorang alumni Harvard Law School asal Indonesia, Togi Pangaribuan berbagi kiat sukses mendaftar di kampus hukum terkemuka ini. Togi yang kini menjadi associate di firma hukum Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP) mendapat gelar LL.M dari Harvard Law School untuk jurusan International Commercial Arbitration dan Corporation pada 2011 lalu.
Hebatnya, Togi langsung diterima hanya dengan sekali mendaftar. Namun, ia mengatakan kesuksesan itu tak didapat dengan mudah. Ia mengaku melakukan persiapan yang cukup panjang agar bisa sukses mendaftar dan diterima di universitas impiannya. Persiapannya bukan hanya setahun atau dua tahun, tetapi telah dipersiapkannya sebelum lulus kuliah strata-1 di Indonesia.
"Persiapan S2 saya panjang bahkan sejak sebelum lulus sudah ada di mindset saya, saya mau kuliah S2 dimana. Saya sudah buat shortlist sekolahnya, saya sudah baca-baca dokumen terkaitnya di website sekolahnya, lalu saya bikin action plan, formulir apa saja yang saya butuhkan, qualifikasi apa saja yang mereka butuhkan dari sana saya mulai menyusun semuanya,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan 2002 ini kepada hukumonline.
Setelah memiliki action plan, Togi mulai memperkirakan pengalaman hidup apa saja yang perlu dia perkaya, keahlian apa saja yang perlu dia asah untuk dapat diterima di universitas Harvard. Togi juga banyak mengamati dan mempelajari keunggulan alumni Harvard lainnya, untuk mengetahui apa yang membuat mereka diterima masuk di Harvard.
“Waktu itu saya belajar dari track record senior-senior yang diterima di Harvard sebelumnya apa yang mereka lakukan sehingga mereka bisa diterima. Salah satu dari sekian banyak kualitas mereka adalah pengalaman kerja yang menarik sehingga membuat motivation letter, essay ataupun namanya itu bisa stand out atau berbeda dari yang lainnya,” jelas Togi.
Saat itu, Togi mulai berpikir kalau dirinya tetap bekerja law firm maka pengalaman hidup dan pekerjaannya tidak akan menarik dan kurang stand out dibandingan lulusan hukum lainnya. Ia pun berani mengambil keputusan untuk keluar dari firma hukum Soemadipradja & Taher, lalu kemudian menerima pekerjaan honorer di staf khusus presiden bidang hubungan luar negeri. Tujuannya agar pengalaman hidupnya lebih terlihat menarik.
“Ketika teman saya yang pernah kerja di kantor staf khusus presiden bilang bahwa kantor staf khusus presiden membuka lowongan saya langsung tertarik. Walaupun saya tahu gajinya hanya setengah dari gaji saya di firma, saya kejar pekerjaan itu,” papar Togi yang pernah magang di Firma Rajah & Tann di Singapore di akhir masa kuliahnya di UI.
Terlepas dari cita-citanya untuk sekolah di universitas terbaik di dunia, pekerjaan sebagai staf khusus presiden bidang luar negeri juga menjawab keinginannya untuk mendapat pekerjaan yang ada hubungan dengan dunia internasional. Perkerjaan ini juga memenuhi idealisme Togi, yang ingin mengabdi untuk negara.
“Saya yakin ambil karena saya punya action plan untuk membuat pengalaman saya menarik. Andai saya tidak punya action plan, besar kemungkinan akan ada pertimbangan tidak mengambil pekerjaan ini (di staf khusus kepresidenan),” ujar pengajar mata kuliah Perdagangan Internasional di FHUI ini.
Togi menambahkan karena action plan yang dimilikinya, dirinya menjadi peka menangkap kesempatan yang dapat memperkaya pengalamannya agar bisa sukses diterima di Harvard.
“Persiapan tidak hanya tiga bulan sebelum daftar, tapi beberapa tahun sebelumnya sudah saya pikirkan apa yang akan saya tulis di formulir aplikasi apa yang akan saya tulis di personal essay, minta letter of recommendation dari siapa, terus kemudian saya juga banyak dapat bantuan dari teman-teman terdekat saya saat saya membuat essay. Jadi sekali daftar langsung keterima tapi persiapannya bertahun-tahun sebelumnya,” tukasnya.
Selain memiliki pengalaman kerja menarik untuk memenuhi syarat mendaftar di universitas ternama Togi juga mulai menulis. Pasalnya, salah satu syarat pendaftaran di universitas Harvard adalah dengan mempublikasikan tulisannya di media. Tiga Tulisan Togi mengenai hubungan luar negeri dan hukum internasional berhasil dipublikasikan di surat kabar nasional berbahasa Inggris, Jakarta Post.
60 Persen Presiden AS Berasal dari Pengacara
Quote:
Sampai dengan masa kepemimpinan Barack Obama, Amerika Serikat telah dipimpin 44 orang Presiden. Menariknya dari 44 orang Presiden yang pernah dan sedang memimpin Amerika Serikat, 26 orang (sekitar 60 % lebih) diantaranya berprofesi sebagai advokat atau pengacara (lawyer) sebelum menjadi presiden.
Presiden Amerika Serikat yang pekerjaanya pengacara (lawyer) sebelum menjadi presiden seperti John Adams, Thomas Jefferson, James Madison, John Quincy Adams, Martin Van Buren, John Tyler, James K. Polk, Millard Fillmore, Franklin Pierce, James Buchanan, Abraham Lincoln, Rutherford B. Hayes, James Garfield, Chester A. Arthur, Grover Cleveland, Benjamin Harrison, William McKinley, William Howard Taft, Woodrow Wilson, Calvin Coolidge, Franklin D. Roosevelt, Lyndon B. Johnson, Richard M. Nixon, Gerald R. Ford, William J. Clinton dan Barack Obama
Dari sejarahnya, Presiden Amerika Serikat yang berlatang profesi hukum (pengacara) itu telah dimulai sejak abad 18 yang diawali John Adams sebagai Presiden Amerika Serikat ke-2 (4 Maret 1797–4 Maret 1801) dan hal tersebut terus berlansung silih berganti sampai sekarang. Dan pada masa-masa periode tertentu diselingi pengusaha, petani, pendidik dan aktor, penulis dan tentara. Tetapi dilihat dari kuantitasnya, Presiden Amerika Serikat dengan latar pekerjaan sebagai pengacara (lawyer) sebelum menjadi presiden mencapai 26 orang. Hal ini sangat menarik, karena bagaimana pun juga latar belakang pekerjaan seseorang sebelum ia menjadi presiden akan member warna atau setidak-tidaknya member pengaruh pada visi dan misi kepemimpinannya, tentu termasuk visi dan misinya pada soal kehidupan hukum dan penegakkannya.
Sudah umum diketahui, bahwa profesi pengacara di Amerika Serikat merupakan profesi yang bergengsi dan hal itu tidak terlepas dari penghargaan dan kepercayaan publik terhadap profesi pengacara. Profesi pengacara di Amerika Serikat merupakan salah satu profesi yang berpenghasilan besar ketimbang profesi-profesi yang lain, dan fakta dominannya para Presiden Amerika Serikat berprofesi sebagai pengacara sebelum menjadi presiden itu ikut melengkapi cita baik profesi pengacara di Amerika Serikat. Hal ini kian menarik jika kemudian dicermati ada banyak pengacara di Amerika Serikat yang terjun ke dunia politik atau terjun sebagai politisi.
Bagaimana dengan Indonesia ? Usia Indonesia sebagai sebuah negara memanglah belum lama jika dibanding dengan Amerika Serikat. Tetapi hal itu tidaklah berarti tidak ada hikmah yang bisa diambil dari apa yang berlansung di Amerika Serikat. Artinya hal yang sama bisa terjadi juga di Indonesia, jika profesi pengacara diberi tempat yang proporsional dalam lapangan penegakkan hukum sebagaimana layaknya seperti di Amerika Serikat.
Presiden Amerika Serikat yang pekerjaanya pengacara (lawyer) sebelum menjadi presiden seperti John Adams, Thomas Jefferson, James Madison, John Quincy Adams, Martin Van Buren, John Tyler, James K. Polk, Millard Fillmore, Franklin Pierce, James Buchanan, Abraham Lincoln, Rutherford B. Hayes, James Garfield, Chester A. Arthur, Grover Cleveland, Benjamin Harrison, William McKinley, William Howard Taft, Woodrow Wilson, Calvin Coolidge, Franklin D. Roosevelt, Lyndon B. Johnson, Richard M. Nixon, Gerald R. Ford, William J. Clinton dan Barack Obama
Dari sejarahnya, Presiden Amerika Serikat yang berlatang profesi hukum (pengacara) itu telah dimulai sejak abad 18 yang diawali John Adams sebagai Presiden Amerika Serikat ke-2 (4 Maret 1797–4 Maret 1801) dan hal tersebut terus berlansung silih berganti sampai sekarang. Dan pada masa-masa periode tertentu diselingi pengusaha, petani, pendidik dan aktor, penulis dan tentara. Tetapi dilihat dari kuantitasnya, Presiden Amerika Serikat dengan latar pekerjaan sebagai pengacara (lawyer) sebelum menjadi presiden mencapai 26 orang. Hal ini sangat menarik, karena bagaimana pun juga latar belakang pekerjaan seseorang sebelum ia menjadi presiden akan member warna atau setidak-tidaknya member pengaruh pada visi dan misi kepemimpinannya, tentu termasuk visi dan misinya pada soal kehidupan hukum dan penegakkannya.
Sudah umum diketahui, bahwa profesi pengacara di Amerika Serikat merupakan profesi yang bergengsi dan hal itu tidak terlepas dari penghargaan dan kepercayaan publik terhadap profesi pengacara. Profesi pengacara di Amerika Serikat merupakan salah satu profesi yang berpenghasilan besar ketimbang profesi-profesi yang lain, dan fakta dominannya para Presiden Amerika Serikat berprofesi sebagai pengacara sebelum menjadi presiden itu ikut melengkapi cita baik profesi pengacara di Amerika Serikat. Hal ini kian menarik jika kemudian dicermati ada banyak pengacara di Amerika Serikat yang terjun ke dunia politik atau terjun sebagai politisi.
Bagaimana dengan Indonesia ? Usia Indonesia sebagai sebuah negara memanglah belum lama jika dibanding dengan Amerika Serikat. Tetapi hal itu tidaklah berarti tidak ada hikmah yang bisa diambil dari apa yang berlansung di Amerika Serikat. Artinya hal yang sama bisa terjadi juga di Indonesia, jika profesi pengacara diberi tempat yang proporsional dalam lapangan penegakkan hukum sebagaimana layaknya seperti di Amerika Serikat.
Sumber:
1. hukumonline
2. atjehpress
kok ane jadi baper ya gan, gimana ya rasanya jadi mahasiswa hukum harvard, pastinya ada rasa senang, bangga, bahagia semuanya campur aduk. asal berusaha dan berdoa, niscaya bisa masuk harvard gan, ada beasiswa fulbright dan lpdp kalo mau serius..
duh ga kuat ane pengen nangis
















lihat wajah mereka gan, bahagia sekali yaaaa...
0
6.3K
Kutip
24
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan