- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Rekor Denda, Exxon Terancam Bayar Rp 960 Triliun ke Negara Chad


TS
ardisutrisno
Rekor Denda, Exxon Terancam Bayar Rp 960 Triliun ke Negara Chad
Exxon Mobil Corp. tengah menghadapi tuntutan denda bernilai jumbo US$ 74 miliar atau sekitar Rp 960 triliun dari Pemerintah Chad. Nilai denda tersebut hampir sama dengan enam kali lipat dari produk domestik bruto (PDB) negara di Afrika Tengah itu, yang ditaksir Bank Dunia sebesar US$ 13 miliar.

Pengadilan tinggi di Ibukota N'Djamena, Chad, mengumumkan keputusan tersebut pada 5 Oktober lalu. Pengadilan mengeluarkan putusan tersebut setelah Kementerian Keuangan Chad melaporkan kekurangan pembayaran pajak oleh Exxon. Perusahaan minyak asal Amerika Serikat ini juga dinilai kurang membayar setoran royalti selama 15 tahun melakukan pengeboran.
Selain dituntut denda US$ 74 miliar, Exxon juga diwajibkan membayar tunggakan royalti sebesar US$ 819 juta. Jika keputusan itu tidak berubah maka denda yang dibayarkan Exxon merupakan yang terbesar di industri migas dunia. Sebelumnya, BP Plc. harus membayar denda sebesar US$ 61.6 miliar menyusul tragedi "Deepwater Horizon" tahun 2010 yang menewaskan 11 pekerja rig serta mencemari Teluk Meksiko selama berbulan bulan.
Nilai denda yang dikenakan pengadilan Chad itu juga 70 kali lebih besar dibandingkan penalti sebesar US$ 977,5 juta yang harus dibayarkan Exxon kepada nelayan serta para korban tumpahan minyak Valdez di Alaska tahun 1989 silam.
Manajemen Exxon tentu menolak keputusan pengadilan Chad tersebut. "Kami menolak putusan pengadilan Chad dan sedang menyiapkan langkah-langkah berikutnya," ujar Juru Bicara Exxon, Todd Spitler, melalui surat elektronik, seperti dilansir Bloomberg, Jumat (7/10).
Ia balik menuding, sengketa ini berkaitan dengan tidak terpenuhinya komitmen Pemerintah Chad kepada konsorsium Exxon. Jadi, bukan karena pelanggaran pajak yang dilakukan oleh Exxon.
Menurut Spitler, Exxon selalu menghormati peraturan perundang-undangan dimanapun perusahaan itu beroperasi. "Contract sanctity dan rasa hormat kepada undang-undang yang berlaku merupakan prinsip utama kami dalam menjalankan bisnis di jangka panjang," katanya.
Ia menambahkan, penting bagi semua pihak untuk menghormati kontrak dan mematuhi hukum ketika proyek berjalan. Dengan begitu, Exxon dapat mencapai keuntungan jangka panjang.
Sementara itu, pengajar mata kuliah hukum internasional di Loyola Law School, Los Angeles, AS, Jeffery Atik menilai Pemerintah Chad kemungkinan tidak akan menagih semua denda tersebut. "Tidak ada satu orang pun di luar Chad yang akan bekerjasama untuk memaksa pemenuhan pembayaran ini," ujarnya.
Namun, Atik melihat kondisi ini membuat Exxon berpotensi kehilangan semua usaha dan investasinya di Chad. Apalagi, mengacu besarnya denda, dia tidak yakin nilai aset Exxon mampu menutup pembayaran kewajiban tersebut.
Sumber: Katadata

Pengadilan tinggi di Ibukota N'Djamena, Chad, mengumumkan keputusan tersebut pada 5 Oktober lalu. Pengadilan mengeluarkan putusan tersebut setelah Kementerian Keuangan Chad melaporkan kekurangan pembayaran pajak oleh Exxon. Perusahaan minyak asal Amerika Serikat ini juga dinilai kurang membayar setoran royalti selama 15 tahun melakukan pengeboran.
Selain dituntut denda US$ 74 miliar, Exxon juga diwajibkan membayar tunggakan royalti sebesar US$ 819 juta. Jika keputusan itu tidak berubah maka denda yang dibayarkan Exxon merupakan yang terbesar di industri migas dunia. Sebelumnya, BP Plc. harus membayar denda sebesar US$ 61.6 miliar menyusul tragedi "Deepwater Horizon" tahun 2010 yang menewaskan 11 pekerja rig serta mencemari Teluk Meksiko selama berbulan bulan.
Nilai denda yang dikenakan pengadilan Chad itu juga 70 kali lebih besar dibandingkan penalti sebesar US$ 977,5 juta yang harus dibayarkan Exxon kepada nelayan serta para korban tumpahan minyak Valdez di Alaska tahun 1989 silam.
Manajemen Exxon tentu menolak keputusan pengadilan Chad tersebut. "Kami menolak putusan pengadilan Chad dan sedang menyiapkan langkah-langkah berikutnya," ujar Juru Bicara Exxon, Todd Spitler, melalui surat elektronik, seperti dilansir Bloomberg, Jumat (7/10).
Ia balik menuding, sengketa ini berkaitan dengan tidak terpenuhinya komitmen Pemerintah Chad kepada konsorsium Exxon. Jadi, bukan karena pelanggaran pajak yang dilakukan oleh Exxon.
Menurut Spitler, Exxon selalu menghormati peraturan perundang-undangan dimanapun perusahaan itu beroperasi. "Contract sanctity dan rasa hormat kepada undang-undang yang berlaku merupakan prinsip utama kami dalam menjalankan bisnis di jangka panjang," katanya.
Ia menambahkan, penting bagi semua pihak untuk menghormati kontrak dan mematuhi hukum ketika proyek berjalan. Dengan begitu, Exxon dapat mencapai keuntungan jangka panjang.
Sementara itu, pengajar mata kuliah hukum internasional di Loyola Law School, Los Angeles, AS, Jeffery Atik menilai Pemerintah Chad kemungkinan tidak akan menagih semua denda tersebut. "Tidak ada satu orang pun di luar Chad yang akan bekerjasama untuk memaksa pemenuhan pembayaran ini," ujarnya.
Namun, Atik melihat kondisi ini membuat Exxon berpotensi kehilangan semua usaha dan investasinya di Chad. Apalagi, mengacu besarnya denda, dia tidak yakin nilai aset Exxon mampu menutup pembayaran kewajiban tersebut.
Sumber: Katadata
0
997
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan