- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Rois Syuriah PBNU:Muslim dan Non-Muslim Punya Hak Jadi Pemimpin


TS
albetbengal
Rois Syuriah PBNU:Muslim dan Non-Muslim Punya Hak Jadi Pemimpin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rois Syuriah
PBNU KH Ahmad Ishomuddin menilai bahwa
kepemimpinan yang dibutuhkan sekarang ini,
baik untuk negara maupun dalam level
daerah adalah pemimpin yang bisa dipercaya
dan mampu membawa kemajuan atas daerah
yang dipimpinnya.
Kriteria itu bisa didapatkan dari seorang
pemimpin muslim maupun nonmuslim
karena sejatinya keduanya sama-sama punya
hak untuk menjadi pemimpin.
"Muslim dan non muslim punya hak sama
untuk jadi pemimpin. NU tidak dalam posisi
mendukung, apalagi menghalangi orang
untuk menjadi pemimpin," kata KH Ahmad
Ishomuddin, dalam acara Halaqoh Kaum
Muda NU Jakarta dengan tema Pilkada
"Kesetiaan Pada Pancasila dan UUD 1945" di
Hotel Bintang, Jalan Raden Saleh, Jakarta
Pusat, Minggu (9/10/2016).
Menurut dia, ramainya perdebatan mengenai
pemimpin yang dikaitkan dengan SARA lebih
karena tidak memahami tafsir dan
asbabunnuzul dari ayat yang dijadikan dalil.
Seperti ayat 51 Surat Al-Maidah, kata dia,
merujuk tafsir terdahulu, yang dimaksud
bukanlah untuk pemimpin seperti gubenrur.
Melainkan karena konteks saat itu yang
sedang dalam kondisi perang.
Dia merasa perlu menyampaikan imbauan
itu karena sekarang ini banyak beredar isu
dan wacana di pemberitaan termasuk di
media sosial yang begitu gampang mencaci
seseorang dan berkomentar kasar dengan
argumentasi SARA.
"Sangat banyak komentar yang tidak santun
dan tidak sesuai dengan Pancasila. Dan tentu
bertentangan dengan agama kita. Demokrasi
belum baik di negara ini. Buktinya kalau mau
hebat caranya dengan black kamping,
mencari kesalahan orang lain. Maka
kemudian politik kita menjadi bercitra buruk,
menjadi negatif, tergambar sebagai dunia
hitam yang perlu dihindari," ujarnya.
"Isu SARA sama sekali tidak dipernankan
untuk dipergunakan dalam rangka
mendiskreditkan orang lain. Kita menjunjung
tinggi budaya dan adab. Tidak boleh
merendahkan pihak lain untuk suatu
kemenangan politik. Tidak boleh menyerang
dengan SARA untuk mengalahkan lawan
politik. Itu melanggar UUD 1945," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ishomuddin
kemudian menyampaikan perihal ucapan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) yang belakangan dianggap
menistakan Al-Quran. Ishomuddin yang
mengaku telah melihat secara utuh rekaman
tersebut menilai bahwa tidak ada niat dari
Ahok untuk menistakan kitab suci umat
Islam.
"Saya setelah melihat utuh videonya, saya
menduga beliau tidak punya niat untuk
melecehkan. Karena secara logika, enggak
mungkin orang yang sedang mencalonkan
kemudian melecehkan. Jadi tidak masuk akal
kalau itu berniat melecehkan," katanya.
Terhadap semua pihak, Ishomuddin juga
mengajak agar dalam berdemokrasi dan
hidup bernegara tidak mudah untuk
menyesatkan seseorang serta dengan begitu
mudah menuding seseorang dengan sebutan
telah melakukan penistaan. Lebih baik, kata
dia, ketika mendengar atau membaca suatu
informasi terlebih dahulu tabayyun,
klarifikasi, untuk memperoleh suatu
informasi yang diyakini benar.
"Oleh karena itu, kegiatan politik kita harus
junjung tinggi Pancasila dan UUD 45 dan
dengan tidak membenturkan dengan agama,
karena hanya akan membahayakan negara
kita. Kalau ada berita apapun, tabayyun, atau
klarifikasi. Janngan kita hanya baru membuka
twitter, WA, BBM, setiap berita yang
mengandung dua kemungkinan benar atau
salah, maka harus kroscek, klarifikasi,"
jelasnya.
"Isu SARA sama sekali tidak dipernankan
untuk dipergunakan dalam rangka
mendiskreditkan orang lain. Kita menjunjung
tinggi budaya dan adab. Tidak boleh
merendahkan pihak lain untuk suatu
kemenangan politik. Tidak boleh menyerang
dengan SARA untuk mengalahkan lawan
politik. Itu melanggar UUD 1945," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ishomuddin
kemudian menyampaikan perihal ucapan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) yang belakangan dianggap
menistakan Al-Quran. Ishomuddin yang
mengaku telah melihat secara utuh rekaman
tersebut menilai bahwa tidak ada niat dari
Ahok untuk menistakan kitab suci umat
Islam.
"Saya setelah melihat utuh videonya, saya
menduga beliau tidak punya niat untuk
melecehkan. Karena secara logika, enggak
mungkin orang yang sedang mencalonkan
kemudian melecehkan. Jadi tidak masuk akal
kalau itu berniat melecehkan," katanya.
Terhadap semua pihak, Ishomuddin juga
mengajak agar dalam berdemokrasi dan
hidup bernegara tidak mudah untuk
menyesatkan seseorang serta dengan begitu
mudah menuding seseorang dengan sebutan
telah melakukan penistaan. Lebih baik, kata
dia, ketika mendengar atau membaca suatu
informasi terlebih dahulu tabayyun,
klarifikasi, untuk memperoleh suatu
informasi yang diyakini benar.
"Oleh karena itu, kegiatan politik kita harus
junjung tinggi Pancasila dan UUD 45 dan
dengan tidak membenturkan dengan agama,
karena hanya akan membahayakan negara
kita. Kalau ada berita apapun, tabayyun, atau
klarifikasi. Janngan kita hanya baru membuka
twitter, WA, BBM, setiap berita yang
mengandung dua kemungkinan benar atau
salah, maka harus kroscek, klarifikasi,"
jelasnya.
Di tempat sama, Katib Syuriah PWNU Jakarta
KH. Ahmad Zahari juga menyampikan, NU
DKI tidak pernah mewajibkan warga NU DKI
untuk mendukung salah satu calon. Dia
mengajak warga NU untuk secara sadar
menggunakan hak pilih dan memilih
berdasarkan rekam jejak serta program-
program calon.
m.tribunnews.com/metropolitan/2016/10/09/rois-syuriah-pbnu-muslim-dan-non-muslim-punya-hak-jadi-pemimpin
Setuju pak kyai,golongan2 yg mengadu domba paling y golongan2 itu aja
PBNU KH Ahmad Ishomuddin menilai bahwa
kepemimpinan yang dibutuhkan sekarang ini,
baik untuk negara maupun dalam level
daerah adalah pemimpin yang bisa dipercaya
dan mampu membawa kemajuan atas daerah
yang dipimpinnya.
Kriteria itu bisa didapatkan dari seorang
pemimpin muslim maupun nonmuslim
karena sejatinya keduanya sama-sama punya
hak untuk menjadi pemimpin.
"Muslim dan non muslim punya hak sama
untuk jadi pemimpin. NU tidak dalam posisi
mendukung, apalagi menghalangi orang
untuk menjadi pemimpin," kata KH Ahmad
Ishomuddin, dalam acara Halaqoh Kaum
Muda NU Jakarta dengan tema Pilkada
"Kesetiaan Pada Pancasila dan UUD 1945" di
Hotel Bintang, Jalan Raden Saleh, Jakarta
Pusat, Minggu (9/10/2016).
Menurut dia, ramainya perdebatan mengenai
pemimpin yang dikaitkan dengan SARA lebih
karena tidak memahami tafsir dan
asbabunnuzul dari ayat yang dijadikan dalil.
Seperti ayat 51 Surat Al-Maidah, kata dia,
merujuk tafsir terdahulu, yang dimaksud
bukanlah untuk pemimpin seperti gubenrur.
Melainkan karena konteks saat itu yang
sedang dalam kondisi perang.
Dia merasa perlu menyampaikan imbauan
itu karena sekarang ini banyak beredar isu
dan wacana di pemberitaan termasuk di
media sosial yang begitu gampang mencaci
seseorang dan berkomentar kasar dengan
argumentasi SARA.
"Sangat banyak komentar yang tidak santun
dan tidak sesuai dengan Pancasila. Dan tentu
bertentangan dengan agama kita. Demokrasi
belum baik di negara ini. Buktinya kalau mau
hebat caranya dengan black kamping,
mencari kesalahan orang lain. Maka
kemudian politik kita menjadi bercitra buruk,
menjadi negatif, tergambar sebagai dunia
hitam yang perlu dihindari," ujarnya.
"Isu SARA sama sekali tidak dipernankan
untuk dipergunakan dalam rangka
mendiskreditkan orang lain. Kita menjunjung
tinggi budaya dan adab. Tidak boleh
merendahkan pihak lain untuk suatu
kemenangan politik. Tidak boleh menyerang
dengan SARA untuk mengalahkan lawan
politik. Itu melanggar UUD 1945," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ishomuddin
kemudian menyampaikan perihal ucapan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) yang belakangan dianggap
menistakan Al-Quran. Ishomuddin yang
mengaku telah melihat secara utuh rekaman
tersebut menilai bahwa tidak ada niat dari
Ahok untuk menistakan kitab suci umat
Islam.
"Saya setelah melihat utuh videonya, saya
menduga beliau tidak punya niat untuk
melecehkan. Karena secara logika, enggak
mungkin orang yang sedang mencalonkan
kemudian melecehkan. Jadi tidak masuk akal
kalau itu berniat melecehkan," katanya.
Terhadap semua pihak, Ishomuddin juga
mengajak agar dalam berdemokrasi dan
hidup bernegara tidak mudah untuk
menyesatkan seseorang serta dengan begitu
mudah menuding seseorang dengan sebutan
telah melakukan penistaan. Lebih baik, kata
dia, ketika mendengar atau membaca suatu
informasi terlebih dahulu tabayyun,
klarifikasi, untuk memperoleh suatu
informasi yang diyakini benar.
"Oleh karena itu, kegiatan politik kita harus
junjung tinggi Pancasila dan UUD 45 dan
dengan tidak membenturkan dengan agama,
karena hanya akan membahayakan negara
kita. Kalau ada berita apapun, tabayyun, atau
klarifikasi. Janngan kita hanya baru membuka
twitter, WA, BBM, setiap berita yang
mengandung dua kemungkinan benar atau
salah, maka harus kroscek, klarifikasi,"
jelasnya.
"Isu SARA sama sekali tidak dipernankan
untuk dipergunakan dalam rangka
mendiskreditkan orang lain. Kita menjunjung
tinggi budaya dan adab. Tidak boleh
merendahkan pihak lain untuk suatu
kemenangan politik. Tidak boleh menyerang
dengan SARA untuk mengalahkan lawan
politik. Itu melanggar UUD 1945," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ishomuddin
kemudian menyampaikan perihal ucapan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) yang belakangan dianggap
menistakan Al-Quran. Ishomuddin yang
mengaku telah melihat secara utuh rekaman
tersebut menilai bahwa tidak ada niat dari
Ahok untuk menistakan kitab suci umat
Islam.
"Saya setelah melihat utuh videonya, saya
menduga beliau tidak punya niat untuk
melecehkan. Karena secara logika, enggak
mungkin orang yang sedang mencalonkan
kemudian melecehkan. Jadi tidak masuk akal
kalau itu berniat melecehkan," katanya.
Terhadap semua pihak, Ishomuddin juga
mengajak agar dalam berdemokrasi dan
hidup bernegara tidak mudah untuk
menyesatkan seseorang serta dengan begitu
mudah menuding seseorang dengan sebutan
telah melakukan penistaan. Lebih baik, kata
dia, ketika mendengar atau membaca suatu
informasi terlebih dahulu tabayyun,
klarifikasi, untuk memperoleh suatu
informasi yang diyakini benar.
"Oleh karena itu, kegiatan politik kita harus
junjung tinggi Pancasila dan UUD 45 dan
dengan tidak membenturkan dengan agama,
karena hanya akan membahayakan negara
kita. Kalau ada berita apapun, tabayyun, atau
klarifikasi. Janngan kita hanya baru membuka
twitter, WA, BBM, setiap berita yang
mengandung dua kemungkinan benar atau
salah, maka harus kroscek, klarifikasi,"
jelasnya.
Di tempat sama, Katib Syuriah PWNU Jakarta
KH. Ahmad Zahari juga menyampikan, NU
DKI tidak pernah mewajibkan warga NU DKI
untuk mendukung salah satu calon. Dia
mengajak warga NU untuk secara sadar
menggunakan hak pilih dan memilih
berdasarkan rekam jejak serta program-
program calon.
m.tribunnews.com/metropolitan/2016/10/09/rois-syuriah-pbnu-muslim-dan-non-muslim-punya-hak-jadi-pemimpin
Setuju pak kyai,golongan2 yg mengadu domba paling y golongan2 itu aja
0
4.7K
70


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan