Ane sebagai mantan auditor di sebuah perusahaan Laundry, cuma mau bilang bahwa margin Laundry itu rata-rata tipis. Mereka gak ambil untung gede. Itulah kenapa kebanyakan mereka karyawan mereka adalah ibu-ibu yang gajinya hanya ratusan ribu - 1 juta per bulan. Ada yang gaji 2 juta, tapi itu jarang. Ada yang gaji sampai 4 juta, tapi itu level supervisor atau management. Ane sendiri th 2014 cuma digaji 2,5 juta untuk audit belasan cabang laundry.
Kalau agan gak percaya, datang aja ke laundry di tempat agan, tanya gaji mereka sebagai karyawan berapa...
Aduh, kasihan banget kalau UKM margin untung sedikit malah diperkarakan seperti ini hanya gara-gara masalah sepele.
Buat yang mengerti hukum, gimana nih solusinya? Guys, leave your best comments, pleasS E N S O R.
UPDATE
Beritanya sudah masuk di Detik
Spoiler for Berita 1:
Tak Pantas Dirjen HAM Gugat Laundry Rp 210 Juta Hanya karena Jas Tak Licin
Jakarta - Dirjen HAM Mualimin Abdi sempat melayangkan gugatan ke Fresh Laundry sebesar Rp 210 juta gara-gara jasnya tidak disetrika dengan licin. Menurut Ricardi S Adnan, sosiolog Universitas Indonesia (UI), tidak sepantasnya seorang pejabat negara membawa emosi pribadi secara kelembagaan apalagi hanya untuk mengurusi hal sepele seperti sebuah jas.
"Siapa pun juga harus bisa menempatkan dirinya secara pantas. Baik sebagai pimpinan organisasi ataupun lembaga pemerintah, apalagi pejabat negara eselon satu. Janganlah membawa emosi pribadi secara kelembagaan yang sebenarnya tidak relevan untuk hal yang seyogyanya masalah kecil," tukas Ricardi saat berbincang dengan detikcom Minggu (8/10/2016).
Kasus ini bermula saat Mualimin menyuruh pegawainya untuk mencuci jasnya ke tempat laundry yang berada di Jalan Pedurenan Masjid, Setia Budi, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Mualimin meminta jasnya rapi dalam satu hari karena akan dipakai untuk acara di kantor Kemenkum HAM. Keesokan harinya, jas sudah rapi dan diserahkan ke staf Mualimin.
Sesampainya di tangan Mualimin, dia merasa kecewa karena jas itu dinilai kurang licin dan masih ada kusut di sana-sini. Dia tidak terima dan melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) meski akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan.
Dari sisi sosiologi, Ricardi menilai gugatan perdata yang dilayangkan oleh Mualimin tidak berkorelasi. Apalagi Mualimin menggunakan perantara stafnya untuk berhubungan dengan pemilik laundry.
"Jika Dirjen menyuruh anak buahnya, lalu anak buahnya yang ke laundry dan laundry mengembalikan dan sudah diterima oleh anak buah pak Dirjen. Maka hubungan pak Dirjen dengan laundry adalah tidak nyambung," tukasnya.
"Jika terjadi kesalahan maka yang salah adalah anak buah atau organisasi di ditjen tersebut. Sehingga gugatan perdata (atau pun pidana jika ada) adalah sesuatu yang tidak relevan," imbuhnya.
Selain dinilai tidak relevan, gugatan senilai Rp 210 juta juga dianggap tidak masuk akal. Apalagi tidak ada perjanjian antara Ditjen HAM dengan laundry mengenai kualitas hasil laundry.
"Toh kan tidak ada perjanjian tertulis seperti kontrak misalnya antara ditjen dengan laundry mengenai kualitas yang diharapkan oleh pak Dirjen dengan apa yang akan diberikan oleh laundry," tandasnya.
Sayangnya, Mualimin hingga saat ini belum bisa dikonfirmasi. Sejak kemarin teleponnya tidak diangkat. detikcom sudah mencoba menemui Mualimin di kantornya, namun Dirjen HAM itu tidak berkenan ditemui.
Adapun Menkum HAM Yasonna Laoly sebagai atasan Mualimin belum mau memberikan tanggapan terkait gugatan yang dinilai keterlaluan itu.
Mulanya, dalam gugatan yang diajukan ke PN Jakarta Selatan, Mualimin meminta uang Rp 210 juta kepada pengusaha laundry. Padahal harga jas miliknya hanya Rp 10 juta.
Rp 210 juta itu berasal dari kerugian materil yaitu Rp 10 juta seharga jas. Adapun sisanya yaitu Rp 200 juta berupa kerugian immateril dengan alasan jas tidak bisa lagi dipakai di acara kenegaraan. Saat gugatan itu bergulir ke pengadilan, teman-teman pemilik laundry tidak terima dengan sikap Mualimin itu. Saat isu ini mulai ramai, Mualimin memutuskan untuk mencabut gugatan.
(ams/Hbb)
Hanya Gara-gara Jas Tidak Licin, Dirjen HAM Gugat Jasa Laundry Rp 210 Juta
Jakarta - Hanya gara-gara jasnya tidak disetrika hingga licin, Dirjen HAM Mualimin Abdi melayangkan gugatan ke Fresh Laundry sebesar Rp 210 juta. Namun dalam perjalanannya, gugatan ini diselesaikan secara kekeluargaan.
Kasus bermula saat Mualimin menyuruh pegawainya untuk mencuci jasnya ke tempat laundry yang berada di Jalan Pedurenan Masjid, Setia Budi, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Mualimin meminta jasnya rapi dalam satu hari karena akan dipakai untuk acara di kantor Kemenkum HAM. Keesokan harinya, jas sudah rapi dan diserahkan ke staf Mualimin.
Setelah sampai ke tangan Mualimin, ia merasa kecewa karena jas itu dinilai kurang licin. Masih ada kusut di sana-sini. Si Dirjen tidak terima dan melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
"Tadinya digugat Rp 210 juta," kata pemilik jasa laundry, Budi Imam saat ditemui wartawan di Kemenkum HAM, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Jumat (7/10/2016).
Rp 210 juta itu berasal dari kerugian materil yaitu Rp 10 juta seharga jas. Adapun sisanya yaitu Rp 200 juta berupa kerugian immateril dengan alasan jas tidak bisa lagi dipakai di acara kenegaraan. Saat gugatan itu bergulir ke pengadilan, teman-teman Budi tidak terima dengan sikap Mualimin itu.
"Ada yang membantu," ujar Budi yang sehari-hari merupakan Ketua RT 10 itu.
Entah karena apa, akhirnya Mualimin mencabut gugatannya di PN Jaksel pada Kamis (6/10) kemarin. Kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan.
"Ya masalah ini sudah selesai. Kita sudah berdamai. Tidak ada lagi gugatan," tutur Budi.
Nah, bagaimana tanggapan Mualimin atas gugatan itu? Wartawan telah berusaha mengkonfirmasi gugatan itu di kantornya sejak siang ini. Tetapi hingga pukul 17.00 WIB atau jam pulang kantor, Mualimin tidak bersedia menemui wartawan dengan ada alasan sedang rapat.
Pak Dirjen yang terhormat, bukankah Presiden lebih suka memakai kemeja putih daripada memakai jas?
(asp/Hbb)