- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Fadli Zon: KPK Tidak Usah Banyak Teori, Tuntaskan Saja Kasus Besar


TS
mukidi.kita
Fadli Zon: KPK Tidak Usah Banyak Teori, Tuntaskan Saja Kasus Besar
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) fokus menyelesaikan kasus-kasus besar alih-alih memikirkan wacana pemberatan biaya sosial kepada koruptor.
"Enggak usah berteori kayak gitu, lah. Kasus-kasus yang besar harusnya ditangani dulu. Seperti Sumber Waras, reklamasi. Kan KPK sekarang seperti jadi alat pemerintah," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
KPK berpandangan pemberatan hukuman dengan biaya sosial itu akan menumbuhkan efek jera terhadap koruptor. Selain itu, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Fadli merasa istilah "biaya sosial" sangat rancu dan tak bisa ditakar. Mengenai besaran dana yang harus dibayarkan oleh koruptor kepada negara, kata dia, seharusnya diserahkan kepada pengadilan untuk memutus.
"Mengambil Rp 10 miliar dibalikannya Rp 10 miliar. Kalau mau dihitung dampaknya, dia ambil tahun berapa bunganya sekian itu masih bisa dihitung. Kalau biaya sosial, biaya sosial apa? Kalau tidak bisa membayar bagaimana? Atau diganti hukumannya diperpanjang. Itu harusnya di hukumannya bukan di biaya sosial," tutur Politisi Partai Gerindra itu.
Sebelumnya, dikutip Harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.
Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri atas biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi. Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana. Biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti-kerugian, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
http://nasional.kompas.com/read/2016...a.kasus.besar#
"Enggak usah berteori kayak gitu, lah. Kasus-kasus yang besar harusnya ditangani dulu. Seperti Sumber Waras, reklamasi. Kan KPK sekarang seperti jadi alat pemerintah," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
KPK berpandangan pemberatan hukuman dengan biaya sosial itu akan menumbuhkan efek jera terhadap koruptor. Selain itu, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Fadli merasa istilah "biaya sosial" sangat rancu dan tak bisa ditakar. Mengenai besaran dana yang harus dibayarkan oleh koruptor kepada negara, kata dia, seharusnya diserahkan kepada pengadilan untuk memutus.
"Mengambil Rp 10 miliar dibalikannya Rp 10 miliar. Kalau mau dihitung dampaknya, dia ambil tahun berapa bunganya sekian itu masih bisa dihitung. Kalau biaya sosial, biaya sosial apa? Kalau tidak bisa membayar bagaimana? Atau diganti hukumannya diperpanjang. Itu harusnya di hukumannya bukan di biaya sosial," tutur Politisi Partai Gerindra itu.
Sebelumnya, dikutip Harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.
Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri atas biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi. Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana. Biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti-kerugian, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
http://nasional.kompas.com/read/2016...a.kasus.besar#
0
1.9K
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan