Kaskus

Entertainment

famifamiAvatar border
TS
famifami
Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih
Bagaimana Sepakbola Thailand Bisa Berkembang

Tim-tim sepak bola asia tengara saat ini sedang mempersiapkan diri untuk ajang bergengsi november nanti piala AFF, namun tidak sesibuk tim yang satu ini.

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih

Asosiasi Sepak Bola Thailand (FAT) membuat kebijakan untuk menunda pertandingan di kompetisi domestik demi timnas, Seperti diketahui, sejak 1 September 2016, tim berjulukan The War Elephant ini terjun di putaran ketiga (terakhir) Kualifikasi Piala Dunia 2018 zona Asia. Thailand merupakan satu-satunya wakil dari Asia Tenggara di fase ini.

Thailand berada di Grup B dikualifikasi piala dunia bersama para raksasa Asia, yakni Australia, Jepang, Irak, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Thailand juga dipastikan lolos ke AFC 2019

Pada pertandingan pertama kualifikasi PD di kandang Arab Saudi, di Riyadh (1/9/2016), Chanathip Songkrasin dkk. kalah tipis 0-1 lewat tendangan penalti enam menit jelang waktu normal usai.

Hasil itu membuat asa publik Thailand menggelembung.

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih

Jelang laga kedua melawan Jepang (6/9/2016) pencinta sepak bola Negeri Gajah Putih optimistis skuat kesayangan mereka mampu menekuk Jepang di Stadion Rajamanggala, Bangkok. Apalagi Jepang baru dikejutkan dengan kekalahan 1-2 dari UEA di Stadion Saitama pada laga pertama.

Namun Alih-alih mengimbangi lawan, Tim Negeri Gajah Putih justru ditundukkan Jepang 0-2 pada laga kedua.

Kritikorn Thanamahamongkhol, menceritakan kemunculan, kejatuhan, dan kebangkitan sepakbola Thailand

Pendahuluan

Tahun 2015 lalu, Thailand merayakan satu abad sepakbola mereka. Selama itu, negara ini telah menikmati berbagai kesuksesan di atas lapangan hijau.
Beberapa era terbaik pernah terjadi dalam sepakbola mereka, termasuk munculnya Wittaya Laohaku, pesepakbola Thailand pertama yang bermain di Eropa; legenda lini tengah Chalermwut Sa-ngaphol dan Worawan Chitawanich; dan striker terhebat sepanjang masa mereka, Piyapong Pue-on.
Tetapi era keemasan sepakbola Thailand sebetulnya terjadi pada babak kualifikasi Piala Dunia 2002. Di bawah kepemimpinan pelatih asal Inggris, Peter Withe, tim ini menjadi timnas Thailand pertama yang lolos dari babak pertama kualifikasi sejak pertama kali mereka melakoninya pada 1973. Tim ini dipimpin oleh Kiatisuk “Zico” Senamuang, satu-satunya penyerang Thailand yang bisa mendapatkan visa kerja di Kerajaan Inggris, bersama dengan rekan-rekan setimnya yang tak kalah tenar seperti Tawan Sripan, Dusit Chalermsaen, dan Seksan Piturat.

Dari babak awal kualifikasi yang berisi 40 tim Asia, Thailand mampu memimpin grup mereka dan menjadi salah satu dari 10 tim yang lolos ke babak berikutnya. Di sanalah perjalanan mereka berakhir, dan Zico dkk. mengakhiri babak grup dengan empat hasil imbang dan empat kekalahan dari delapan pertandingan, tetapi prestasi ini menjadi tanda pertama adanya harapan besar untuk tim berjuluk Gajah Putih tersebut dan bagi fans mereka, bahwa kelolosan ke Piala Dunia mungkin bisa menjadi kenyataan suatu hari nanti.
Perjalanan di babak kualifikasi tersebut merupakan bagian dari era ketika Thailand memenangkan medali emas secara beruntun di Piala AFF (dulu Piala Tiger) tahun 2000 dan 2002, dua medali emas beruntun di SEA Games, dan finis di posisi keempat dalam dua Asian Games beruntun pada 1998 dan 2002.
Posisi Thailand di ranking FIFA pun meroket ke posisi 45, menumbuhkan ekspektasi yang lebih besar dari para fans. Tetapi ketika momen-momen bagus itu berjalan, segalanya tiba-tiba hancur berantakan.

Bagian 1: Awal kemunduran

Ketika fans Thailand menyaksikan The War Elephants lolos hingga 10 besar Asia di babak kualifikasi Piala Dunia 2002, mimpi mereka untuk melihat bendera Thailand berkibar di panggung terbesar sepakbola dunia pun dimulai.
Finis di posisi keempat di belakang Iran, Jepang, dan Korea Selatan di Asian Games 2002 melanjutkan optimisme mereka sampai terjadinya sebuah kemunduran yang tiba-tiba

- ketika mereka tereliminasi di babak pertama PIala Asia dua tahun kemudian -

Siegfried Held, pelatih asal Jerman yang memimpin mereka ketika itu, memilih skuat yang sepenuhnya berisikan pemain-pemain berusia 20-24 tahun untuk turnamen tersebut dan pulang dengan tiga kekalahan telak. Medali emas di Piala AFF tahun 2000 dan 2002 diikuti dengan kegagalan yang mengejutkan di babak petama turnamen yang sama di tahun 2004, yang digelar di Vietnam dan Malaysia.
Hasil-hasil buruk tersebut berakar dari manajemen yang buruk dari Asosiasi Sepakbola Thailand ketika itu.
Selama tahun 2004, timnas Thailand sama sekali tidak menjalani pertandingan persahabatan resmi FIFA, dan hal itu memperburuk ranking FIFA mereka.

- Pada tahun 2005, ranking dunia Thailand turun ke posisi 111, dari posisi 45 di tahun 1998. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, timnas Thailand berada di luar 100 besar dunia. -

Apa yang terjadi selama tujuh tahun tersebut yang menyebabkan kemunduran yang dramatis itu?

Bagian 2: Sang Raja digulingkan

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih
Chanwit Polcheewin

Kegagalan-kegagalan di tahun 2004 itu membawa sepakbola Thailand ke era kegelapan. Dari status sebagai raja ASEAN, Gajah Putih kini menderita dan tak mampu memberikan rasa takut lagi pada lawan-lawannya. Gajah Putih seolah harus selalu meninggalkan arena pertarungan dengan luka yang begitu berat.
Pada tahun 2005, “Coach Rang” Chanwit Polcheewin, pelatih legendaris yang memimpin Thai Farmer Bank merebut gelar juara Liga Champions Asia dua kali beruntun pada 1994-95, mengambil alih posisi pelatih timnas dan memulai kepemimpinannya dengan membawa Thailand merebut trofi Piala Raja 2006 – gelar terbesar bagi masyarakat Thailand – dalam sebuah turnamen kecil yang melibatkan Vietnam, Kazakhstan, dan Singapura.

Performa yang menjanjikan ini berlanjut ketika Thailand mengulangi pencapaian itu setahun kemudian, kali ini dengan menghadapi lawan-lawan berat dari Korea Utara, Uzbekistan, dan sang runner-up, ‘Tim B’ Irak. The War Elephants juga merebut medali emas SEA Games 2007 di mana mereka menjadi tuan rumah.
Thailand kemudian menjadi tuan rumah bersama Piala AFF 2007 dengan Singapura. Kedua negara tuan rumah ini akhirnya lolos hingga ke final, di mana gol Khairul Amri di akhir pertandingan memastikan kemenangan agregat 3-2 bagi The Lions.
Selanjutnya adalah Piala Asia, di mana Thailand memulai babak grup mereka dengan hasil imbang melawan Irak dan kemenangan 2-0 atas Oman. Mereka kemudian harus menghadapi Australia yang memiliki talenta-talenta super seperti Mark Viduka, Harry Kewell, dan Tim Cahill. Di hadapan 46.000 fans, Socceroos meraih kemenangan 4-0 yang mengakhiri perjalanan Thailand di Piala Asia.

Tak lama setelah itu, Theerasil Dangda, Kiatprawut Saiwaew, dan Suree Sukha terbang ke Inggris untuk bergabung dengan Manchester City, yang ketika itu dimiliki oleh mantan Perdana Menteri Thailand, Taksin Chinawatra. Perekrutan ketiganya tak lebih dari sebuah aksi pemasaran klub dan, meskipun para pemain merasa mereka mendapatkan manfaat dari latihan yang mereka terima, bukanlah sebuah kejutan jika mereka tidak pernah dipanggil ke tim utama sebelum akhirnya dilepas.
Jika ada optimisme menjelang tahun 2008, optimisme itu segera hilang. Lewat babak kualifikasi Piala Dunia yang berisi enam pertandingan di tahun itu, melawan Jepang, Bahrain, dan Oman, Thailand hanya mendapatkan satu poin. Mereka pun langsung pulang setelah dipastikan berada di peringkat terakhir di grup mereka, dan masih belum ada indikasi bahwa mereka bisa kembali ke titik tertinggi yang pernah mereka nikmati hanya beberapa tahun sebelumnya.

Bagian 3: Liga berkembang; tim nasional memburuk

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih

Pada September 2008, Peter Reid, eks manajer Sunderland dan Leeds United, mengambil alih posisi pelatih dari “Coach Rang”. Ia hanya memiliki waktu tiga bulan untuk bersiap menghadapi turnamen besar pertamanya, Piala AFF, yang digelar bersamaan di Indonesia dan Thailand.
Untuk turnamen kali ini, Gajah Putih memiliki beberapa bakat muda yang menonjol, termasuk Teerasil Dangda, Arthit Sunthornpit, dan Ronnachai Rangsiyo, yang membantu tim ini kembali ke final.

Tetapi, seolah-olah ini adalah takdir, Thailand kembali kalah dengan skor yang persis sama, 3-2, seperti yang mereka dapatkan 12 bulan sebelumnya. Namun kali ini dari Vietnam, yang merebut gelar juara AFF untuk pertama kalinya. Orang yang menghempaskan impian Thailand adalah Le Cong Vihn, yang mencetak satu gol di masing-masing leg dan hingga hari ini masih menjadi kapten tim berjuluk The Golden Stars itu. Gol sundulannya di menit keempat tambahan waktu di leg kedua lah yang memecahkan kebuntuan di laga tersebut dan mengirim pulang Thailand ke Negeri Senyuman mereka dengan air mata di pipi.
Reid, yang direkrut dengan kontrak empat tahun, sangat dihormati selama melatih di Thailand. Teerasil Dangda, penyerang top Thailand, pernah menyebut Reid sebagai sosok yang sangat profesional dan salah satu pelatih terbaik yang pernah ia dapatkan. Namun, hanya satu tahun setelah menandatangani kontrak, Reid tiba-tiba saja pergi, dan bahkan kabarnya tanpa ucapan perpisahan dengan pihak asosiasi Thailand.
Spekulasi pun muncul terkait siapa pihak yang salah dari perpisahan ini – beberapa orang menyalahkan Reid sementara yang lain menyalahkan asosiasi sepakbola Thailand (FAT). Pelatih asal Inggris ini kemudian muncul kembali di pemberitaan setelah menjabat sebagai asisten pelatih untuk Stoke City.
12 bulan sebelumnya, Worawi Makudi terpilih sebagai presiden baru FAT. Disebut-sebut sebagai pemikir yang progresif dan pebisnis yang cerdas dengan ide-ide investasi yang menarik, selama dua tahun pertama kepemimpinannya, orang-orang masih belum bisa menentukan apakah ia berhasil atau tidak di posisi barunya ini.
Tetapi kemudian muncul keputusan yang memang diinginkan oleh semua fans sepakbola Thailand: dibentuknya Thai Premier League (TPL) pada 2009. Ini benar-benar momen yang sangat penting dalam perkembangan sepakbola negara ini untuk bisa mencapai status mereka saat ini.

Liga baru ini dimulai dengan struktur manajemen yang lebih baik, yang membuat para sponsor tertarik untuk mendukung dan para pemain mendapatkan gaji yang lebih baik. Para politisi kemudian ikut masuk, dan menanamkan lebih banyak uang ke sepakbola Thailand, membuat jumlah penonton di liga meningkat. Masalahnya hanyalah, kala itu, prioritas semua klub peserta adalah pada pemain-pemain mereka sendiri, tanpa merasa perlu membantu tim nasional.
Langkah besar Makudi berikutnya adalah meyakinkan mantan pemain besar Manchester United, Bryan Robson, untuk menjadi pelatih kepala Thailand berikutnya. Kesuksesannya untuk merekrut Robson tak lepas dari gaji besar yang ditawarkan, yang kabarnya mencapai 25 juta bath per bulan (Rp9,9 milyar). Ia pun datang ke negara yang memiliki liga domestik yang jauh lebih baik daripada sebelumnya dan manajemen yang lebih profesional, dan langsung mencanangkan medali emas di SEA Games 2009 sebagai target pertamanya.
Steve Darby, yang pernah menjadi asisten Reid dan mendapatkan peran yang sama bersama Robson, memimpin Thailand di SEA Games, tetapi perjalanan mereka tak berakhir baik. The War Elephants gagal lolos dari putaran pertama untuk pertama kalinya dalam 36 tahun, dan fans Thailand pun mulai muak dengan semuanya.


Bagian 4: Manajemen: Akar dari semua kegagalan

Meski memiliki liga domestik yang lebih baik, kritik atas performa tim nasional justru semakin keras. Tetapi hebatnya lagi, sampai di titik itu, momen terburuk mereka ternyata belum terjadi. Tugas besar pertama Robson sebagai pelatih kepala adalah Asian Games 2010 di Tiongkok. Namun masalah sudah muncul sejak persiapan tim, dengan TPL berakhir terlalu lambat dan membuat Robson hanya punya beberapa hari untuk mempersiapkan timnas.

Mereka mampu menghadapi masalah itu dengan lolos ke babak perempat final, sebelum tereliminasi di tangan Jepang – hasil yang cukup bagus untuk timnya yang berisi pemain-pemain U-23. Tetapi tak lama kemudian, Robson kembali di bawah tekanan besar. Memimpin Thailand ke Piala AFF 2010, Robson dan timnya meraih hasil buruk dengan hanya meraih hasil imbang dengan Laos dan Malaysia, sebelum kekalahan dari Indonesia di pertandingan terakhir babak grup membuat mereka langsung tereliminasi.
TPL dan program tim nasional tak berjalan beriringan, pertandingan-pertandingan persahabatan FIFA tak dilaksanakan, gaya dan rencana permainan dipertanyakan, begitu juga dengan keputusan federasi untuk merekrut pelatih-pelatih asing. Jadi, bagaimana Thailand bisa keluar dari lubang penuh masalah ini?

Bagian 5: "Winnie Potter"

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih

Itu adalah julukan yang diberikan untuk Winfried Schafer, pelatih asal Jerman yang dibawa untuk menggantikan Robson pada 2011. Seorang legenda sepakbola Jerman, Schafer pernah membawa Borussia Moenchengladbach menjuarai Piala UEFA sebagai seorang pemain pada tahun 1979 dan pernah menjadi pelatih tim nasional Kamerun, yang diperkuat oleh Samuel Eto'o, dan membawa mereka ke Piala Dunia 2002.
Diakui sebagai seorang pelatih dengan tingkah laku yang baik, Schafer menunjukkan profesionalismenya di depan media dan langsung disukai oleh fans sepakbola Thailand. Ia seperti datang di saat yang tepat, ketika sepakbola domestik tengah mengalami peningkatan tajam. Ketika itu, eks politisi Newin Chidchob mengambil alih Buriram United dan membuat klub tersebut menghancurkan duopoli Muangthong United dan Chonburi.

Buriram mulai membawa semakin banyak pemain profesional asing, dan meningkatkan kompetisi di TPL, dan imbasnya, ikut meningkatkan kualitas para pemain lokal. "Winnie" membawa Thailand lolos ke babak ketiga kualifikasi untuk Piala Dunia 2014, di mana mereka bergabung di grup bersama Australia, Arab Saudi, dan Oman.
Menghadapi Australia yang diisi oleh pemain-pemain bintang, The War Elephants unggul terlebih dahulu sebelum dua gol di babak kedua – termasuk gol menit ke-86 dari Josh Kennedy – memberikan Australia kemenangan 2-1. Kekalahan tipis yang diwarnai dengan penampilan bagus ini membuat keyakinan dalam diri fans tim nasional Thailand meningkat. Apalagi kemudian mereka menang 3-0 atas Oman di kandang sendiri.
Namun pada akhirnya, Gajah Putih hanya finis di dasar klasemen grup, dan Australia serta Oman lolos ke babak selanjutnya. Tapi fans tetap mencintai Winnie karena gayanya, baik kepribadiannya di publik maupun gaya sepakbolanya. Apakah harapan itu kembali?


Bagian 6: Liga profesional sebagai pondasinya, tapi…

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih

Ketika TPL dimulai, tim-tim peserta bisa memasukkan hingga tujuh pemain asing di skuat mereka. Sementara line-up tim boleh diisi dengan maksimal empat pemain asing dan satu pemain Asia (AFC), dan kebijakan itu membuat setengah tim bisa berisi pemain asing. Hal itu membuat talenta-talenta lokal sulit mendapatkan tempat pada awlanya. Barulah pada tahun 2012, badan pengelola liga meluncurkan regulasi baru dengan hanya mengizinkan tiga pemain asing dan satu pemain Asia di setiap tim, membuat para pemain Thailand mendapatkan lebih banyak waktu bermain.
Hal ini membuat banyak tim mulai membangun tim-tim junior mereka, untuk membantu mengurangi biaya perekrutan pemain sembari juga meningkatkan level pemain-pemain muda. Para pemain muda seperti Chanatip Songkrasin, Sarach Yooyen, dan Kroekrit Taweekarn, yang kini membela tim nasional senior Thailand, mendapatkan keuntungan dari meningkatnya profesionalisme di level akar rumput ini. Ini juga merupakan bagian dari hasil kerja Winnie.
Tetapi masih ada masalah yang tersisa dari FAT yang harus dihadapi Schafer menjelang turnamen-turnamen besar. Salah duanya adalah tak adanya lapangan latihan yang tersedia dan minimnya pertandingan persahabatan untuk mempersiapkan tim.

Schafer memang populer, tetapi hasil akhir yang didapatkan timnas, pada akhirnya, tetaplah sama. Antara tahun 2004 dan 2012, Thailand gagal sekalipun menjuarai Piala AFF dan prestasi di level U-23 pun tak lebih baik, meski liga domestik sudah jauh meningkat.
Gaya kepelatihan Inggris dan Jerman telah dicoba, tetapi hasil yang didapatkan ternyata tak sesuai harapan. Jadi ke mana Thailand harus mencari harapan selanjutnya?


Bagian 7: Zico sang pahlawan

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih

Setelah pensiunnya sebagai pemain tim nasional pada 2007, nama Kiatisuk Senamuang kembali muncul ke permukaan ketika ia dipilih sebagai pelatih kepala tim Thailand untuk SEA Games 2013. Sebagai seseorang yang pernah membela timnas selama satu dekade, sosok yang dikenal dengan sebutan “Zico” ini sebetulnya pernah menjadi asisten pelatih untuk tim SEA Games Thailand yang gagal lolos dari babak grup tahun 2009.
Jadi, tentu ia tahu lebih baik dari kebanyakan orang tentang isu-isu terkait tim nasional. Salah satu upaya pertamanya adalah menekankan pentingnya pertandingan-pertandingan persahabatan sebagai persiapan untuk turnamen-turnamen besar. Ini terdengar sederhana, tetapi, sebagaimana yang sebelumnya sudah diceritakan, aspek ini seringkali diabaikan oleh sepakbola Thailand.
Ia kemudian mengunjungi setiap klub lokal dan meminta mereka untuk melepas pemain-pemain mereka setiap akhir pekan untuk berlatih bersama tim nasional. Ia juga melaksanakan setidaknya satu pertandingan persahabatan setiap bulan.

Bukan mengherankan jika kemudian Zico memimpin timnya meraih medali emas di SEA Games 2013 di Tiongkok, setelah mengalahkan Indonesia di final. Ia pun dengan cepat ditunjuk menjadi pelatih tim nasional senior, dan keputusan ini – selain juga semakin berkembangnya TPL – kini dilihat sebagai momen ketika sepakbola Thailand mulai berkembang lagi.
Zico kemudian mengembangkan generasi pemain muda berbakat yang baru, yang kelak akan menghuni tim nasional senior Thailand. Semakin bagus performa mereka, semakin sering Zico meminta lebih banyak waktu untuk berlatih dan mempersiapkan timnya.
Sampai di satu titik para pemainnya terlihat seperti tidak perlu menengok lagi untuk mengetahui posisi satu sama lain dan bagaimana cara mengalirkan bola. Hal itu terlihat betul dalam perjalanan mereka di babak kualifikasi Piala Dunia 2018. Dengan empat kemenangan dan dua hasil imbang, mereka berhasil memuncaki klasemen fase kedua kualifikasi Piala Dunia 2018, di atas mantan juara Asia, Irak.
Keberhasilan ini membuat mereka otomatis lolos ke Piala Asia, dan kesempatan bermain di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia. Kesuksesan ini juga menunjukkan fakta bahwa Thailand berhasil mengambil kembali status mereka, setelah satu dekade kehilangannya, sebagai raja sepakbola Asia Tenggara.

TPL membantu Thailand terus memproduksi bakat-bakat muda baru untuk meneruskan langkah pemain-pemain senior di timnas. Kehadiran liga profesional ini juga menghadirkan ledakan jumlah fans sepakbola Thailand dan Zico menjadi alasan besar di balik kesuksesan ini. Ia tahu bagaimana menghadapi media dan memberikan pesan untuk para fansnya.

21 September 2016
Kritikorn Thanamahamongkhol


Sumber

Dalam kompetisi domestik jumlah suporter indonesia mungkin terbanyak diasia tenggara indonesia punya prospek melebihi thailand.

Garuda is back, bangkit kita kejar mereka emoticon-I Love Indonesia

Zico sang pahlawan sepakbola gajah putih
Diubah oleh famifami 23-09-2016 00:03
0
4.5K
23
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan