- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Menanti langkah pemerintah ihwal perundungan siber


TS
BeritagarID
Menanti langkah pemerintah ihwal perundungan siber

Foto sekadar menunjukkan ilustrasi pelajar SMP Taman Siswa menyaksikan kirab Obor Api PON XIX Jabar di Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat (16/9). Survei Yayasan Cinta Anak Bangsa menyebut bahwa 1 dari 8 generasi muda Indonesia pernah menjadi korban perundungan siber.
Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengecam perilaku saling hujat yang kerap terjadi di media sosial. Hal itu disampaikan Jokowi saat memberi sambutan dalam Resepsi Kesyukuran 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor, di Desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Ponorogo, Jawa Timur, Senin (19/9).
Presiden pun menyinggung kecenderungan komunikasi di media sosial, yang kerap memuat nada menjelekkan, mencela, merendahkan, menghina, dan mengolok-olok. "Apakah itu nilai-nilai Islam Indonesia? Jawaban saya bukan," ujar Jokowi.
"Ada sebuah nilai-nilai yang saat ini menginfiltrasi kita. Itulah nanti yang akan menghilangkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia," kata Jokowi, dikutip dari laman Sekretariat Kabinet.
Guna menekan aktivitas macam itu, Jokowi mengaku telah meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) agar persentase pendidikan etika, budi pekerti, dan sopan santun, di jenjang SD hingga SMP lebih ditingkatkan.
Sebagai catatan, aktivitas menghujat hingga mengolok-olok yang disinggung Jokowi--terutama dalam kasus remaja pengguna media sosial--bisa menjurus pada cyberbullying (perundungan siber).
Perundungan siber bisa diartikan sebagai tindakan menyakiti atau melecehkan yang dilakukan melalui sarana komunikasi elektronik, macam pesan pendek, surel, media sosial, forum internet, dan sebangsanya.
Survei perundungan siber di Indonesia
Di Indonesia, perundungan siber juga perkara serius. Lebih-lebih di kalangan generasi muda. Hal itu terlihat dalam hasil survei Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), sebuah organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu-isu seputar pengembangan generasi muda.
Survei YCAB menemukan, 1 dari 8 anak muda Indonesia pernah mengalami perundungan siber. Mirisnya, 58 persen anak muda--berusia antara 12 hingga 21 tahun--tidak menyadari soal perundungan siber itu.
Padahal YCAB menyebut, perundungan siber bisa memberi dampak negatif nan serius bagi korban.
"Dampak dari perundungan siber serius. Tekanan dalam kehidupan sosial generasi muda saat ini lebih besar. Jika tidak kuat, mereka bahkan bisa bunuh diri, "ujar Sekretaris Jenderal YCAB, Muhammad Farhan, dilansir Jakarta Post (3/9).
Kata Farhan, kehadiran media sosial bisa membawa dampak yang baik bagi generasi muda, sepanjang digunakan untuk berbagi hal-hal positif. Namun media sosial bak pisau bermata dua, sebab memungkinkan penyebaran konten negatif, termasuk menyangkut perundungan siber.
Hal itu mendorong YCAB bekerjasama dengan Facebook, dan komunitas anti-perundungan, Sudah Dong. Mereka merilis pedoman media sosial bertajuk Think Before You Share, yang bisa membantu generasi muda berhati-hati di internet, dan menghindari perundungan.
Perundungan siber dan revisi UU ITE
Pemerintahan Jokowi sudah menaruh perhatian pada kasus perundungan di sekolah. Sejak awal tahun, Jokowi telah meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu dijabat Anies Baswedan) untuk berkampanye anti-perundungan di sekolah.
Pun sudah ada Peratutan Menteri Pendidikan dan kebudayaan No.82/2015, yang mengakomodir semangat anti-perundungan di sekolah.
Belakangan, pemerintah mulai menaruh perhatian atas perkara perundungan siber. Perkara itu ikut termaktub dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"UU ITE yang baru juga mengatur Cyberbulying atau menakut-nakuti dengan informasi elektronik sebagai ekstensi pasal 29 yang lama," kata Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa, Henri Subiakto, Rabu (31/8).
Sebagai informasi, poin-poin dalam RUU Perubahan UU ITE itu juga mendapat catatan kritis dari sejumlah lembaga non-pemerintah. Termasuk juga soal masuknya perundungan siber.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), misalnya, meragukan ketepatan istilah "cyberbullying" dalam rencana revisi itu.
"ICJR juga tidak dapat melihat bagaimana frasa ini dirumuskan, sekali lagi karena proses pembahasan RUU Perubahan UU ITE tertutup dari pantauan publik. Karena itu ICJR mengkuatirkan frasa ini akan dirumuskan terlampau karet dan bertentangan dengan prinsip lex certa dan lex stricta serta lex scripta," bunyi rilis pers ICJR.
Masalahnya, penggunaan istilah "bully" di Indonesia telah mengalami perluasan makna, untuk tidak menyebut keliru.
Sekadar contoh, Anda bisa dengan mudah menemukan judul berita macam "Presiden di-bully di Twitter" atau "Menteri di-bully netizen" lewat mesin pencari. Padahal penggunaan istilah "bully" itu tak tepat.
Kekeliruan itu bisa ditemukan bila merujuk definisi "bullying" (perundungan), misalnya, di situs khusus soal perundungan milik pemerintah Amerika Serikat, StopBullying.gov. Situs itu menyebut salah satu "syarat" dalam perundungan adalah adanya ketimpangan kekuasaan antara para pelaku dan korban.
Dengan konteks itu, istilah "bully" dalam judul-judul berita itu terdengar aneh, sebab presiden atau menteri diposisikan seolah tak punya kekuasaan. Mereka seakan-akan tak bisa melawan netizen yang punya kekuatan super.
Pertanyaannya, bagaimana perumusan istilah cyberbullying dalam RUU Perubahan UU ITE? Apakah definisinya seperti pada judul-judul berita di muka? Apakah perumusannya diperuntukkan untuk melindungi warga, terutama generasi muda? Atau adakah pemaknaan lain?
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...undungan-siber
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
7K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan