- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Harga martabat Rp100 juta dan kerapuhan birokrasi


TS
BeritagarID
Harga martabat Rp100 juta dan kerapuhan birokrasi

Sim salabim: Jual beli pengaruh
Mengejutkan. Satu kata itulah yang keluar dari sebagian besar tokoh masyarakat, mengomentari operasi tangkap tangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Sabtu dini hari, di rumah dinas Ketua DPD RI, Irman Gusman.
Keterkejutan publik, bukan sekadar Irman menjadi salah satu dari tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam OTT (operasi tangkap tangan) kasus suap tersebut, tapi banyak hal. Irman selama ini dikenal sebagai politisi bersih. Lelaki berusia 54 tahun ini dijuluki sebagai "Pejuang Daerah", karena konsistensinya memerjuangkan aspirasi daerah.
Mengawali karir politik dari Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) unsur Utusan Daerah Sumatera Barat pada 1999. Peraih gelar Master of Business Administration (MBA) dari Graduate University of Bridgeport, Connecticut, Amerika Serikat ini konsisten memilih jalur politik nonparpol. Ia menjadi salah seorang penggagas keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Konsistensi itu diwujudkan Irman dengan terus berkiprah di DPD. Ia bisa dicatat sebagai pemegang rekor anggota DPD dalam tiga periode yang terus terpilih sebagai pimpinan. DPD periode pertama 2004-2009, ia terpilih sebagai Wakil Ketua. Pada dua periode DPD berikutnya (2009-2014 dan 2014-2019) ia Menjadi Ketua DPD.
Pentingnya rekognisi dan akomodasi kepentingan daerah dalam berbagai proses kenegaraan dan pemerintahan, menjadi pijakan Irman dalam menggagas kehadiran DPD. Terakomodasinya DPD sebagai bagian dari mekanisme kontrol dan keseimbangan dalam sistem kenegaraan dan tata pemerintahan tak lepas dari urun pikiran Irman.
Dengan adanya DPD, diharapkan sistem kenegaraan dan pemerintahan benar-benar mencerminkan kebutuhan bangsa Indonesia yang multikultural. Ketika dalam perjalanannya DPD belum mendapat peran setara dibanding DPR, dalam sistem dua kamar (bikameral) Irman pun begitu aktif menyosialisasikan pentingnya penguatan DPD.
Ia memelopori uji materi UU MD3, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan MK No. 92/PUU-X/2012, kedudukan DPD di bidang legislasi setara DPR dan Presiden. DPD berhak dan berwenang mengusulkan RUU tertentu dan ikut membahas RUU tersebut sejak awal hingga akhir tahapan namun DPD tidak memberi persetujuan atau pengesahan RUU menjadi UU.
RUU tertentu tersebut antara lain menyangkut otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam gemuruh wacana amandemen UUD 1945 yang akan memulihkan kewenangan MPR, Irman pun aktif memanfaatkan momen tersebut untuk menguatkan DPD. Caranya dengan meminta Pasal 22 D ikut diamendemen dalam perubahan UUD 1945.
Tak bisa dimungkiri bahwa Irman punya andil besar dalam pemikiran perbaikan tata pemerintahan. Ketika peran KPK hendak diamputasi dalam perubahan UU KPK beberapa waktu lalu, ia termasuk pejabat negara yang menentangnya. Dia lebih pro pada perubahan UU KPK untuk menguatkan peran KPK.
Bahkan saat menghadiri Festival Antikorupsi Bandung 2015 di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, Jawa Barat, Irman sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. Ia berpendapat korupsi itu kejahatan yang luar biasa dan dapat menghancurkan peradaban manusia.
Citra baik Irman, tak berhenti di situ. Dalam upacara perayaan HUT RI ke-71 di Istana Negara 17 Agustus lalu, ia didaulat menjadi pembaca naskah proklamasi kemerdekaan.
Namun citra baik dan investasi politik yang dibangun Irman belasan tahun tersebut, seolah hilang begitu saja, persis satu bulan setelah ia membaca naskah proklamasi. Memakai rompi oranye, bertuliskan tahanan KPK, Irman akhirnya dibawa petugas keamanan KPK menuju rumah tahanan.
Penangkapan Irman menjadi lebih mengejutkan karena ia adalah orang pertama di DPD yang terkena OTT KPK. Bila saja Irman adalah anggota DPR, maka keterkejutan publik, pasti tidak seheboh ini. Maklum anggota DPR periode saat ini yang terkena OTT KPK sudah 4 orang.
Kondisi ini mau tidak mau akan memengaruhi citra DPD secara kelembagaan. Gara-gara Irman, cap DPD tak beda dengan DPR, susah dihindari. Padahal DPD sedang punya hajat besar, melobi ke semua lini, untuk penguatan fungsi DPD melalui amandemen UUD 1945.
Upaya penguatan DPD ini bisa saja kandas. Para pihak berkepentingan akan berpikir ulang untuk memperkuat fungsi DPD di bidang pengawasan. Mereka bisa menjadi sangsi bila DPD diperkuat, kondisinya bisa seperti DPR, yang tidak punya jurus efektif mencegah penyalahgunaan kewenangan anggotanya untuk korupsi.
Kejutan terjadi lagi seusai gelar perkara. KPK menyatakan Irman diduga menerima bingkisan uang Rp100 juta dari Xaveriandy Sutanto, Direktur CV Semesta Berjaya. Uang sebesar itu, bisa dibilang jumlahnya kecil. Meminjam istilah Tommy Singh, pengacara keluarga Irman, uang tersebut bukan kelas Irman Gusman.
Sebagai Ketua DPD, gaji Irman sektar Rp135 juta sebulan. Laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) Irman yang diserahkan KPK pada 2014, menyebutkan kekayaan Irman sebesar Rp31,9 miliar dan 40.995 Dolar Amerika.
Boleh jadi, bagi Irman uang Rp100 juta adalah kecil. Tapi bagi KPK, malah bisa menjadi pertanyaan besar, yang bisa terus dikembangkan. Mengapa seorang pemimpin lembaga negara, mau menerima uang receh? Pepatah mengatakan, sedikit-demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Artinya bisa saja upeti uang kecil dikumpulkan, bila terus berulang toh jumlahnya menjadi besar.
Dalam gelar perkara, terungkap juga bahwa upeti tersebut adalah uang jasa bagi Irman yang telah merekomendasikan CV Semesta Berjaya agar mendapatkan tambahan kuota distribusi gula sebanyak 3 ribu ton dari Bulog. Rekomendasi tersebut dilakukan Irman secara lisan, melalui telepon.
Sementara Xaveriandy tengah diperkarakan atas peredaran 30 ton gula tanpa label SNI (Standar Nasional Indonesia). Itu artinya Irman merekomendasikan perusahaan yang bermasalah untuk mendapat tambahan kuota.
Memang tak diketahui dengan pasti keampuhan rekomendasi Irman tersebut. Namun modus seperti itu, memperlihatkan rapuhnya birokrasi. Birokrat memiliki ketakutan atau keseganan terhadap pejabat negara.
Kedudukan Irman sebagai Ketua DPD, tak punya hubungan langsung dengan Bulog. Namun budaya birokrasi yang abai pada meritokrasi dan lebih patuh pada pengaruh pejabat publik, menjadi celah bagi pejabat publik untuk memperdagangkan pengaruhnya.
Kuatnya pengaruh pejabat negara terhadap keputusan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengingatkan kita pada kasus bobolnya Bapindo sebesar Rp1,3 triliun pada masa Orde Baru. Ketika itu Eddy Tansil, seoang pengusaha membawa katebelece dari Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, untuk mendapatkan kredit sebesar itu. Kredit tersebut, kemudian macet dan jadi petaka bagi direksi Bapindo, beberapa direktur masuk bui, sementara Eddy Tansil kabur.
Mencermati kasus Irman bisa dikatakan tak ada perubahan yang nyata dalam mentalitas pejabat negara, juga kultur birokrasi, sejak Orde Baru sampai sekarang. Birokrasi menghamba pada pejabat negara, sementara pejabat negara bisa disetel untuk membatu kepentingan pengusaha.
Kondisi seperti itu sebenarnya sudah disadari sejak awal oleh pemerintah, dengan kredo revolusi mental. Namun sebenarnya revolusi mental bukan sekadar jargon untuk mereformasi karakter masyarakat. Ia justru mesti dibenamkan pertama kali kepada elite penyelenggara negara.
Para pimpinan lembaga negara mestinya jauh lebih paham bagaimana memunahkan mental korup, mental mumpung berkuasa dan mental menguntungkan diri sendiri, yang sudah jamak melekat pada figur pejabat.
Dengan merevolusi mental para elite negeri, butir pertama Nawacita akan dirasakan masyarakat: Negara tak sekadar hadir di tengah masyarakat. Tapi lengkap dengan kewibawaannya. Dengan begitu kelak tidak ada lagi petinggi negeri yang mau menjual martabat dan integritasnya seharga Rp100 juta.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...uhan-birokrasi
---
Baca juga dari kategori EDITORIAL :
-

-

-





nona212 dan anasabila memberi reputasi
2
3.9K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan