- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
PDIP Bakal Rontok Jika Usung Ahok


TS
mukidi.kita
PDIP Bakal Rontok Jika Usung Ahok
Salah satu drama paling menarik tentang Pilkada DKI 2017 akan berakhir Selasa (20/9) malam nanti. PDI Perjuangan akan menentukan calon yang diusung.
Manuver PDIP selama ini memang yang paling dinantikan. Sebagai pemilik 28 kursi di DPRD Jakarta, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu bisa mengajukan calon sendiri.
Partai berlambang banteng moncong putih itu diyakini akan mengusung sosok yang prorakyat. PDIP diyakini akan memutus mata rantai modal yang selama ini berada di penguasa.
“PDI Perjuangan sungguh beruntung mempunyai sistem rekrutmen kepala
daerah yang fleksibel, memenuhi syarat electoral threshold mengajukan calon sendiri, punya kader dan loyalis yang banyak dan tersebar luas sehingga memberikan banyak pilihan dalam menentukan pasangan calon,” kata pengurus Komite Penggerak Nawacita (KPN) Nazaruddin Ibrahim, Selasa (20/9).
Hingga kini, PDIP masih disebut-sebut akan mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk diduetkan dengan Djarot Saiful Hidayat. Namun, nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga tak kalah santer.
Namun, menurut Nazaruddin, memilih Ahok bukanlah hal yang baik.
“Karena romantisme dan mempunyai elektabilitas yang tinggi sebagai petahana, Ahok merupakan pilihan pertama bagi PDI Perjuangan bila berpasangan dengan Djarot, tapi juga merupakan pilihan yang buruk,” imbuhnya.
Menurutnya, mengusung Ahok hanya akan mendorong terciptanya koalisi partai Islam dengan nasional untuk melakukan perlawanan.
Koalisi itu akan mendorong terjadinya kristalisasi fundamentalisme, radikalisme agama, gesekan antaretnis dan ras.
“Nilai pluralisme dan marhenisme yang dijunjung tinggi oleh PDI Perjuangan akan retak dan hancur jika Ahok memenangkan pemilihan,” ujar Nazaruddin.
Lalu, bagaimana tentang peluang Risma-Sandiaga Uno? Menurut Nazaruddin, pasangan itu bisa dipertimbangkan untuk diusung. Risma punya pengalaman sebagai wali kota yang berhasil.
Prestasi itu akan dilengkapi dengan keberhasilan Sandiaga sebagai pengusaha. Tapi, pasangan itu juga memiliki titik lemah.
“Pasangan ini tidak cukup kuat untuk menarik partai-partai Islam dan kelompok akar rumput bergembira dan berpesta di dalamnya. Tragisnya, bila kalah PDI Perjuangan akan kehilangan Surabaya dan Jawa Timur,” ujar pria yang juga pengamat politik dan otonomi daerah itu.
Nah, jika Ahok-Djarot dan Risma-Sandiaga dianggap masih belum pas, lalu siapa yang paling layak diusung PDIP?
Dia mengatakan, mantan Menko Maritim Rizal Ramli paling oke dipasangkan dengan Djarot. Jika pasangan itu diusung, Nazaruddin yakin PDIP sudah memenangkan pertarungan awal.
Sebab, PDIP bisa mendorong kelompok agama, nasionalis dan akar rumput bersatu.
“Bersatunya partai-partai Islam dan PDI Perjuangan dalam suatu koalisi mengusung Rizal-Djarot seperti mengingat kembali ucapan almarhum Taufik Kiemas: Jakarta ini milik partai Islam, partai nasionalis hanya meminjam sementara”,” ujarnya.
Menurut Nazaruddin, Rizal dan Djarot sudah sangat mewakili PDIP. Rizal merupakan loyalis Megawati. Sedangkan Djarot adalah kader idelogis partai pemenang Pemilu 2014 itu.
“Keduanya bisa menerapkan dan membumikan Tri Sakti dan Nawa Cita di Jakarta. Ini merupakan jalan sutera yang dapat membuka jalan penguasaan Pulau Jawa oleh PDI Perjuangan,” ujarnya.
Tapi, dia sadar, keputusan akhir tetap ada di tangan Megawati. Namun, dia mmeinta Megawati mengerti bahwa Pilkada DKI 2017 adalah tahun bangkitnya kaum Marhaen melawan pemilik modal. Kebangkitan itu akan merembet ke provinsi lain.
“Memilih Ahok sama dengan PDI Perjuangan mendorong Indonesia di "persimpangan" jalan menuju kembali ke masa fasisme Orde Baru. Memilih Rizal Ramli berarti PDI Perjuangan menyegerakan terlaksananya Tri Sakti dan menerapkan ajaran Marhaenisme,” tegas Nazaruddin. (jos/jpnn)
http://m.jpnn.com///news.php?id=468583&page=3
ANTI AHOK DI ATAS ANGIN. DILEMA PDIP: MEMIHAK SUARA RAKYAT ATAU DUIT PENGEMBANG?
Anti Ahok makin solid dan bahkan di atas angin. Anti Ahok tak lagi risau apakah PDIP akan mendukung Ahok atau tidak karena dianggap tidak berpengaruh.
Anti Ahok terdiri dari dua lapisan yang dua-duanya solid. Lapisan bawah akan bergerilya dari masjid ke masjid dengan isu dominan harus memilih pemimpin seiman. Lapisan di atasnya akan memakai isu korupsi, sopan santun dan kegagalan Ahok. Peperangan lapisan di atas ini sebagiannya menempati media sosial. Karena ideologis sifatnya, maka penolakan ini juga militan sifatnya. Tidak dibayar pun mereka rela mempertahankan pendirian politik mereka.
Solidnya anti Ahok ini bisa kita lihat dari maraknya demo oleh berbagai kalangan, mulai dari Forum RT/RW, ibu rumah tangga, aktivis anti penggusuran pro kemanusiaan, dan Muslim "anti pemimpin kafir". Tidak cuma secara kualitas konsolidasinya, tapi juga secara kuantitas. Spanduk anti Ahok sudah tersebar di banyak tempat di Jakarta.
Jadi PDIP sudah tak relevan bagi anti Ahok. PDIP sudah tidak diperlukan lagi sebagai vote getter. Justru kalau mau rasional dan realistis seharusnya PDIP yang lebih perlu mengakomodasi suara anti Ahok untuk kepentingan Pemilu 2019.
Ini hasil pengamatan melihat perkembangan politik dalam dua-tiga minggu terakhir. Ditambah dengan trend menurunnya elektabilitas Ahok, maka anti Ahok semakin percaya diri mengkonsolidasikan diri. Trend tergerusnya Ahok dan makin solidnya anti Ahok ini kelihatannya akan terus berlanjut sampai hari-H pencoblosan. Pembalikan hanya bisa terjadi dengan munculnya kejadian luar biasa yang sangat merugikan anti Ahok.
Sekarang tinggal PDIP apakah akan memihak suara rakyat atau seperti kecurigaan publik selama ini bahwa partai ini sudah terbeli oleh uang para pengembang.
Manuver PDIP selama ini memang yang paling dinantikan. Sebagai pemilik 28 kursi di DPRD Jakarta, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu bisa mengajukan calon sendiri.
Partai berlambang banteng moncong putih itu diyakini akan mengusung sosok yang prorakyat. PDIP diyakini akan memutus mata rantai modal yang selama ini berada di penguasa.
“PDI Perjuangan sungguh beruntung mempunyai sistem rekrutmen kepala
daerah yang fleksibel, memenuhi syarat electoral threshold mengajukan calon sendiri, punya kader dan loyalis yang banyak dan tersebar luas sehingga memberikan banyak pilihan dalam menentukan pasangan calon,” kata pengurus Komite Penggerak Nawacita (KPN) Nazaruddin Ibrahim, Selasa (20/9).
Hingga kini, PDIP masih disebut-sebut akan mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk diduetkan dengan Djarot Saiful Hidayat. Namun, nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga tak kalah santer.
Namun, menurut Nazaruddin, memilih Ahok bukanlah hal yang baik.
“Karena romantisme dan mempunyai elektabilitas yang tinggi sebagai petahana, Ahok merupakan pilihan pertama bagi PDI Perjuangan bila berpasangan dengan Djarot, tapi juga merupakan pilihan yang buruk,” imbuhnya.
Menurutnya, mengusung Ahok hanya akan mendorong terciptanya koalisi partai Islam dengan nasional untuk melakukan perlawanan.
Koalisi itu akan mendorong terjadinya kristalisasi fundamentalisme, radikalisme agama, gesekan antaretnis dan ras.
“Nilai pluralisme dan marhenisme yang dijunjung tinggi oleh PDI Perjuangan akan retak dan hancur jika Ahok memenangkan pemilihan,” ujar Nazaruddin.
Lalu, bagaimana tentang peluang Risma-Sandiaga Uno? Menurut Nazaruddin, pasangan itu bisa dipertimbangkan untuk diusung. Risma punya pengalaman sebagai wali kota yang berhasil.
Prestasi itu akan dilengkapi dengan keberhasilan Sandiaga sebagai pengusaha. Tapi, pasangan itu juga memiliki titik lemah.
“Pasangan ini tidak cukup kuat untuk menarik partai-partai Islam dan kelompok akar rumput bergembira dan berpesta di dalamnya. Tragisnya, bila kalah PDI Perjuangan akan kehilangan Surabaya dan Jawa Timur,” ujar pria yang juga pengamat politik dan otonomi daerah itu.
Nah, jika Ahok-Djarot dan Risma-Sandiaga dianggap masih belum pas, lalu siapa yang paling layak diusung PDIP?
Dia mengatakan, mantan Menko Maritim Rizal Ramli paling oke dipasangkan dengan Djarot. Jika pasangan itu diusung, Nazaruddin yakin PDIP sudah memenangkan pertarungan awal.
Sebab, PDIP bisa mendorong kelompok agama, nasionalis dan akar rumput bersatu.
“Bersatunya partai-partai Islam dan PDI Perjuangan dalam suatu koalisi mengusung Rizal-Djarot seperti mengingat kembali ucapan almarhum Taufik Kiemas: Jakarta ini milik partai Islam, partai nasionalis hanya meminjam sementara”,” ujarnya.
Menurut Nazaruddin, Rizal dan Djarot sudah sangat mewakili PDIP. Rizal merupakan loyalis Megawati. Sedangkan Djarot adalah kader idelogis partai pemenang Pemilu 2014 itu.
“Keduanya bisa menerapkan dan membumikan Tri Sakti dan Nawa Cita di Jakarta. Ini merupakan jalan sutera yang dapat membuka jalan penguasaan Pulau Jawa oleh PDI Perjuangan,” ujarnya.
Tapi, dia sadar, keputusan akhir tetap ada di tangan Megawati. Namun, dia mmeinta Megawati mengerti bahwa Pilkada DKI 2017 adalah tahun bangkitnya kaum Marhaen melawan pemilik modal. Kebangkitan itu akan merembet ke provinsi lain.
“Memilih Ahok sama dengan PDI Perjuangan mendorong Indonesia di "persimpangan" jalan menuju kembali ke masa fasisme Orde Baru. Memilih Rizal Ramli berarti PDI Perjuangan menyegerakan terlaksananya Tri Sakti dan menerapkan ajaran Marhaenisme,” tegas Nazaruddin. (jos/jpnn)
http://m.jpnn.com///news.php?id=468583&page=3
ANTI AHOK DI ATAS ANGIN. DILEMA PDIP: MEMIHAK SUARA RAKYAT ATAU DUIT PENGEMBANG?
Anti Ahok makin solid dan bahkan di atas angin. Anti Ahok tak lagi risau apakah PDIP akan mendukung Ahok atau tidak karena dianggap tidak berpengaruh.
Anti Ahok terdiri dari dua lapisan yang dua-duanya solid. Lapisan bawah akan bergerilya dari masjid ke masjid dengan isu dominan harus memilih pemimpin seiman. Lapisan di atasnya akan memakai isu korupsi, sopan santun dan kegagalan Ahok. Peperangan lapisan di atas ini sebagiannya menempati media sosial. Karena ideologis sifatnya, maka penolakan ini juga militan sifatnya. Tidak dibayar pun mereka rela mempertahankan pendirian politik mereka.
Solidnya anti Ahok ini bisa kita lihat dari maraknya demo oleh berbagai kalangan, mulai dari Forum RT/RW, ibu rumah tangga, aktivis anti penggusuran pro kemanusiaan, dan Muslim "anti pemimpin kafir". Tidak cuma secara kualitas konsolidasinya, tapi juga secara kuantitas. Spanduk anti Ahok sudah tersebar di banyak tempat di Jakarta.
Jadi PDIP sudah tak relevan bagi anti Ahok. PDIP sudah tidak diperlukan lagi sebagai vote getter. Justru kalau mau rasional dan realistis seharusnya PDIP yang lebih perlu mengakomodasi suara anti Ahok untuk kepentingan Pemilu 2019.
Ini hasil pengamatan melihat perkembangan politik dalam dua-tiga minggu terakhir. Ditambah dengan trend menurunnya elektabilitas Ahok, maka anti Ahok semakin percaya diri mengkonsolidasikan diri. Trend tergerusnya Ahok dan makin solidnya anti Ahok ini kelihatannya akan terus berlanjut sampai hari-H pencoblosan. Pembalikan hanya bisa terjadi dengan munculnya kejadian luar biasa yang sangat merugikan anti Ahok.
Sekarang tinggal PDIP apakah akan memihak suara rakyat atau seperti kecurigaan publik selama ini bahwa partai ini sudah terbeli oleh uang para pengembang.
Diubah oleh mukidi.kita 20-09-2016 17:02
0
1.7K
28


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan