Original Posted By acabindonesia►
Nama saya ROSITA, berprofesi sebagai guru mata pelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sutomo 1 Medan (untuk selanjutnya disebut “sekolah”). Saya bekerja di sekolah tersebut sejak Juli 2003, dengan demikian berarti sampai saat ini, sudah kurang lebih empat belas tahun saya bekerja sebagai guru. Selama saya bekerja sebagai guru, hubungan saya dengan semua pihak yang ada di sekolah baik-baik saja.
Namun, pada hari Rabu, tanggal 20 April 2016, sekitar pukul 12.15 WIB, saya mengalami kejadian/menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh murid saya sendiri yang bernama FREDDY LIENARDI, anak dari Bapak LASIMIN yang beralamat di Jalan Krakatau No. 169 Medan.
Kejadian penganiayaan tersebut terjadi di lingkungan sekolah yang berlokasi di Jalan Letkol Martinus Lubis No. 7 Medan. Pada saat itu, saya sedang berjalan di lingkungan sekolah. Tanpa saya duga, secara tiba-tiba saya ditabrak oleh Freddy yang berlari dari arah gerbang sekolah yang pada saat itu sedang dalam keadaan tertutup. Freddy berlari sendirian dengan sangat kencang ke arah saya dan dengan sengaja menabrakkan tubuhnya ke arah saya dengan sangat kuat.
Mendapat serangan/benturan yang dilakukan oleh Freddy, saya berusaha menahan tubuh saya dengan kaki kanan saya agar tidak terjatuh, namun tabrakan/benturan yang sedemikian kuat itu membuat tubuh saya memutar dan saya kehilangan kendali. Seketika itu, saya merasakan sakit yang luar biasa, kaki saya bahkan terasa kebas dan pegal.
Saya teringat kata-kata Freddy beberapa minggu sebelum kejadian tersebut. Freddy pernah mengancam saya dengan berkata, “Awas kau suatu hari nanti.” Namun pada saat itu, ancaman tersebut tidak saya hiraukan. Alasan perkataan Freddy tersebut mungkin karena saya sering menegur/memberikan peringatan kepadanya yang sering tidak mengerjakan tugas pelajaran yang saya berikan.
Setelah kejadian tabrakan tersebut, saya menderita sakit pada tubuh saya setiap waktu, dan akhirnya saya memeriksakan diri ke dokter. Berdasarkan pemeriksaan beberapa dokter, akibat benturan tersebut, saya mengalami pergeseran tulang panggul serta keretakan pada tulang panggul yang mengakibatkan timbulnya radang, keluarnya bantalan tulang belakang, dan tertekannya saraf, yang, menurut dokter, menyebabkan adanya resiko kelumpuhan. Hingga saat ini, saya merasakan sakit setiap saat. Saya tidak mampu beraktivitas, tidak dapat bekerja selama 3 (tiga) bulan lebih, tidak dapat duduk dan berdiri dalam waktu yang lama, dan hanya dapat berjalan dengan alat bantu.
Sesaat setelah kejadian penabrakan tersebut, saya kemudian meminta Freddy untuk pergi ke kantor Bimbingan dan Penyuluhan (BP) untuk menghubungi orang tuanya. Akan tetapi, setelah ditelepon oleh guru BP, orang tua Freddy bersikeras menolak untuk hadir. Kepada Bapak Jusman, guru BP yang menelepon pada saat itu, ayah Freddy, Lasimin, mengatakan bahwa ia bersedia menanggung segala biaya pengobatan saya. Beberapa hari kemudian, guru BP kembali menghubungi orang tua Freddy, namun mereka tetap menolak untuk datang ke sekolah dengan berbagai alasan. Ayah Freddy bahkan berkata, “Guru kalian hanya berpura-pura.”
Setelah berkali-kali dihubungi, akhirnya ibu Freddy datang ke sekolah pada tanggal 2 Mei 2016. Bertempat di ruang BP, dengan disaksikan oleh guru-guru BP dan guru-guru lainnya, ibu Freddy berjanji akan menanggung seluruh biaya pengobatan saya sampai tuntas. Salah satu guru BP bertanya, “Sekiranya jika berobat ke Penang, bagaimana, Bu?” Ibu Freddy menjawab, “Boleh, masalah biaya selanjutnya titipkan saja kwitansi biaya berobat Ibu ke Freddy melalui Bu Swari (guru BP). Nanti uang berobatnya saya titipkan ke Freddy. Ibu tenang saja, kami tanggung biaya berobat hingga tuntas.” Pada hari itu, ibu Freddy membayar biaya pengobatan pertama sebesar ± Rp 3,9 juta. Melihat tanggapan positif dan itikad baik dari ibu Freddy, saya pun merasa senang dan tenang.
Pada tanggal 10 Mei 2016, ayah Freddy bersama saya pergi ke Rumah Sakit Columbia Asia di Medan untuk menanyakan kondisi saya kepada dokter. Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter, ayah Freddy mengatakan bahwa ia akan menanggung seluruh biaya pengobatan serta akan mengganti gaji dan insentif saya yang dipotong selama saya tidak dapat bekerja akibat kejadian ini. “Saya ganti semua, ibu tenang saja, nanti kwitansinya Ibu kasih ke guru BP untuk disampaikan kepada kami. Nanti biaya berobatnya kami titipkan ke Freddy untuk diberikan kepada Ibu melalui guru BP,” begitu kata ayah Freddy.
Kemudian pada tanggal 12 Mei 2016, saya menitipkan kwitansi pengobatan tahap kedua sebesar ± Rp 2,2 juta melalui rekan saya untuk diberikan kepada guru BP. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, saya pun mengirimkan pesan melalui SMS kepada orang tua Freddy. Orang tua Freddy mengatakan bahwa mereka perlu ke sekolah untuk berbicara dengan BP. Setelah beberapa hari berlalu, orang tua Freddy mengatakan bahwa mereka tidak sempat menjumpai BP dan telah menitipkan biaya pengobatan kepada Freddy.
Selanjutnya, pada tanggal 24 Mei 2016, saya kembali menitipkan kwitansi pengobatan tahap ketiga sebesar ± Rp 1,7 juta ke BP. Keesokan harinya, orang tua Freddy menelepon saya dan mengatakan bahwa mereka tidak mau lagi membayar biaya pengobatan saya dan meminta saya untuk meminta pihak sekolah untuk menanggungnya karena kejadiannya di sekolah. Padahal, sebelumnya orang tua Freddy telah berjanji untuk menanggung biaya pengobatan saya hingga saya sembuh.
Karena kondisi saya yang tidak kunjung membaik, dengan adanya bantuan/sumbangan dari rekan-rekan serta pinjaman dari rekan, teman, dan kerabat, pada tanggal 26 Mei 2016 saya berobat ke Penang. Sepulang dari Penang, saya pun kembali menanyakan perihal biaya pengobatan saya karena pinjaman saya sudah menumpuk. Saya masih membutuhkan biaya pengobatan karena rasa sakit yang saya derita belum juga sembuh.
Setelah masalah ini berlarut-larut, akhirnya pada tanggal 10 Juni 2016 ibu Freddy kembali diminta untuk datang ke sekolah. Di hadapan kepala sekolah, guru BP, dan guru-guru lainnya, ibu Freddy kembali berjanji bahwa mereka akan membayar biaya pengobatan sebelumnya dan juga selanjutnya. Akan tetapi, berhubung pada saat itu ibu Freddy sedang tidak membawa uang, ia berjanji akan mengantarkannya besok.
Dua hari setelah itu, bukannya penggantian biaya pengobatan yang saya terima, melainkan penolakan dari ayah Freddy untuk membayar biaya pengobatan yang sudah dijanjikan istrinya di hadapan kepala sekolah dan para guru.
Atas permintaan orang tua Freddy, saya menjumpai dokter pribadi nya yang merupakan dokter umum sekaligus menjabat sebagai pengurus Yayasan Perguruan Sutomo. Pada tanggal 14 Mei 2016 pukul 18.00 WIB, saya ditemani oleh rekan saya dan guru BP beritikad baik untuk mendatangi dokter pribadi tersebut, dokter yang kenal dan berhubungan dekat dengan orang tua Freddy. Kami tiba di tempat praktik dokter tersebut sebelum pukul 18.00 WIB dan menunggu orang tua Freddy. Akan tetapi, orang tua Freddy tidak muncul-muncul. Kami berusaha untuk menelepon orang tua Freddy namun telepon kami tidak kunjung diangkat. SMS dari kami pun tidak kunjung dibalas. Bukan hanya itu, kedatangan kami juga tidak disambut baik oleh dokter tersebut. Bahkan beliau memarahi guru BP, berkata dengan nada membentak, “BP bodoh! Ngapain kau bawa urusan sekolah kemari, ini tempat saya cari makan. Sana kau urus masalah sekolah di sekolah.” Setelah menunggu lebih dari 1 (satu) jam tanpa kepastian akan kehadiran orang tua Freddy, kami pun memutuskan untuk pulang. Pada saat itu, saya merasa sangat kesakitan karena duduk terlalu lama.
Setelah peristiwa tersebut, saya tidak lagi kembali ke dokter pribadinya, karena kapasitas dokter tersebut adalah dokter umum, bukan dokter spesialis ortopedi dan saraf. Apalagi, saya telah berobat sampai ke dokter profesor spesialis ortopedi yang cukup terkenal di Penang. Jadi tidak ada alasan lain bagi saya untuk menjumpai dokter umum yang memang bukan spesialis ortopedi dan saraf.
Saya tidak putus asa dan tetap berusaha menghubungi orang tua Freddy agar sudi datang ke rumah saya untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Namun, upaya saya untuk bertemu selalu mereka tolak. Akhirnya, pada tanggal 11 Juli 2016, saya menggunakan hak hukum saya sebagai korban tindak pidana. Saya melaporkan peristiwa dugaan tindak pidana yang terjadi pada diri saya kepada polisi di Polresta Medan. Laporan saya tersebut tercatat dengan Nomor: LP/1712/VII/SPKT/2016/RESTA MEDAN. Pada hari itu juga polisi langsung melakukan pengecekan lapangan tempat kejadian perkara. Sebagai korban, proses BAP kepada saya juga telah dilakukan. Semoga kepolisian dapat melakukan tugasnya dengan baik dalam menangani perkara yang saya laporkan.
Saya adalah tulang punggung keluarga yang harus membiayai hidup dan biaya pengobatan kedua orang tua saya. Selama saya mengabdi di sekolah, saya selalu melaksanakan segala tugas saya sebagai tenaga pendidik dengan sebaik-baiknya. Bahkan, tidak pernah sekalipun saya mendapat Surat Peringatan dari sekolah selama ini. Akan tetapi, di tahun ajaran yang baru ini (2016/2017), jam mengajar saya malah dikurangi banyak oleh kepala sekolah dan bahkan saya dipersulit tanpa alasan yang jelas.
Sungguh tragis nasib saya sebagai guru. Belasan tahun saya berjibaku mencerdaskan anak bangsa, tetapi ketika saya mengalami musibah sebagai korban penganiayaan di sekolah hingga tugas mencerdaskan anak bangsa tidak dapat saya jalankan sebagaimana mestinya, saya malah dibiarkan berjuang sendiri di tengah kesakitan yang saya alami. Biaya pengobatan yang besar sungguh menjadi kekhawatiran terbesar saya.
Bukan hanya tidak memberi bantuan biaya pengobatan, pihak sekolah melalui kepala sekolah bahkan gagal menjadi mediator yang netral. Orang tua murid ingkar janji, kepala sekolah pun ikut ingkar. Hal demikian membuat janji orang tua di hadapan kepala sekolah dapat dianggap remeh dan tidak bermakna sama sekali. Padahal seharusnya kepala sekolah dapat berperan mewakili sebuah sekolah dengan baik dalam menyelesaikan semua persoalan yang terjadi di sekolah . Sekarang saya harus menerima kenyataan pahit bahwa jam mengajar saya dipotong tanpa alasan yang jelas dan dipersulit. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana saya dizolimi tanpa tahu kepada siapa lagi saya harus mengadu.
Harapan saya kepada pihak yang berwenang adalah agar proses hukum yang saya laporkan segera ditindaklanjuti sampai tuntas. Semoga biaya pengobatan bukan lagi menjadi hal yang perlu saya khawatirkan, termasuk biaya pengobatan sebelumnya yang merupakan pinjaman dari rekan-rekan dan kerabat saya. Saya berharap adanya kerjasama sekolah-sekolah dengan lebih menghargai guru-gurunya agar kejadian tragis seperti ini tidak terulang kembali pada guru mana pun di masa depan.
Demikian pernyataan ini saya buat. Atas perhatian semua pihak, saya ucapkan terima kasih.
Medan, 27 Juli 2016
Rosita