- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Fiksi-Fantasi] Tiga Dunia


TS
zeldar
[Fiksi-Fantasi] Tiga Dunia
Salam kreatif, buat agan2 SFTH!
Nubieh izin mau share tulisan niih.. semoga bisa dinikmati, kurang lebihnya nubieh mohon maaf yaa..
Musik ini kayaknya pas buat nemenin baca
Mereka adalah Neena. Sebelum dikenal sebagai Manusia.
“Skak mat.”
Si pria bermata tembaga mengerutkan kening. Sejenak tangannya membenarkan posisi mahkota emas yang miring di kepala. Dan pandangannya heran terhadap bidak Gajah lawan yang menembak Raja-nya yang terpojok dari sudut arena.
“Konyol,” katanya. “Biasanya kau selalu kalah, Mattan.”
“Karena biasanya aku mengalah, Paduka,” Mattan tersenyum, sekilas melirik permata merah berbentuk tahta di atas air yang menghiasi mahkota sang Raja. Dia menyandarkan tubuh, menyilangkan kaki kanan dan meletakkan tangan di pangkuan.
Sang Raja menatap lekat pria berambut ikal di hadapannya. Tertawa kering. Dia meraih cawan perak di sebelah papan catur, meneguk habis isinya. Kemudian berpaling. Raja Ein bangkit, langkahnya berdentang di lantai pualam ketika menghampiri dinding jendela kaca oval raksasa. Dia berdiri di sana dengan tangan dilipat ke belakang. Terpekur lama memandangi laut biru yang menghampar di bawah kastil kerajaannya.
Awan di langit bersemburat jingga. Hari menjelang senja. Hanya mereka yang bernapas di ruangan mewah itu. Sisanya dihuni lukisan-lukisan bertema kekuasaan, lentera-lentera kristal, patung-patung granit, baju zirah dan koleksi senjata yang dijadikan pajangan, serta piala-piala dari emas.
“Jadi… bagaimana menurutmu pertempuran kemarin?” tanya Raja Ein penasaran. “Aku yakin kita akan menang. Sedikit lagi. Lukamu sudah sembuh, kan?”
Mattan merogoh saku celana. Mengambil sebuah permen, membuka bungkus kelabu, dan memasukkan isinya ke mulut. Dia mengunyah perlahan, lidahnya merasakan manis lelehan sirup candu yang merangsang ketenangan dalam otak. Lalu sejenak Mattan terpejam, seakan mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu yang gila. Aksi ini mungkin akan mencoreng nama dan merusak reputasinya. Menjatuhkan martabatnya. Tapi tekad Mattan sudah bulat.
Dia tidak akan mundur lagi.
Mattan menumpukan kedua tangan di bibir meja, sedikit mendorong kursi ke belakang. Dia bangkit. Berjalan menghampiri sang Raja dengan tangan memegangi mata sabuk bersepuh emas membentuk burung hantu bertudung yang melingkari pinggang, mengikat tunik panjang merahnya yang dihiasi pola tahta-tahta di atas air dari bordiran benang emas. Sosoknya yang bertubuh tegap dan gagah memantul pada permukaan kaca jendela di hadapan mereka. Mattan berdiri dekat dan persis di belakang bahu Raja Ein.
Jantung Mattan berpacu. “… kapan kita akan berhenti, Paduka?” tanyanya.
Raja Ein mengangkat kedua alis. “Kau bercanda—lagi? Kau tahu aku tidak akan berhenti sampai akhir. Pengorbanan kita sudah terlalu banyak, Matt,” katanya, membalas pantulan tatapan mata di kaca. Lalu berbalik menghadap. “Apa lukamu sudah sembuh?”
Terdengar klik pelan lingkar kunci yang ditarik jari tengah. Tangan Mattan berpindah cepat dari sabuk. Mengayunkan tinju bersuara lembut. Menghunus batangan logam pipih mengilap sepanjang sepuluh senti ke bawah tulang rusuk Raja Ein.
Dua kali. Tanpa perasaan. Tanpa basa-basi.
Raja Ein membelalak menatap Mattan. Mulut terbuka dan rahangnya gemetar.
Mattan menghela napas. Kepalan kanannya masih menempel di perut, ketika tangan kirinya setengah mendekap tubuh sang Raja yang goyah. Cairan merah pekat mengalir dari besi pisau yang ramping. Menetes ke lantai. Menyusul peristiwa itu, kencring samar pelat besi terdengar tergesa menelusuri koridor di balik dinding. Seorang pengawal Raja berteriak. Tak lama kemudian pintu ruangan digedor-gedor seakan hendak memperingatkan kalau ada kebakaran di kamar sebelah.
“Paduka! Buka pintunya! Paduka Ein!”
“Paduka! Dia pengkhianatnya! Panglima Mattan pengkhianatnya!!”
“Dobrak pintunya! Cepat!”
“Mereka tidak salah,” Mattan berkomentar.
“Abdiku… sahabatku yang paling setia… mau membunuhku?”
“Dengan senang hati.”
“Ini untuk adikmu, Matt?” Raja Ein tampak pucat serta takjub. Napasnya terhambat di kerongkongan, urat kebiruan menonjol tegas di leher. “Kupikir kau sudah memaafkanku.”
“Kau menipuku, Paduka.”
Darah hangat mengalir dari sudut bibir Raja Ein. Dia tertawa hambar. “Dan kau, bermain hati dengan Ratu-ku,” tuduhnya, dengan lidah yang kelu.
“Oh, itu karena aku ingin.”
Raja Ein meludahi wajah Mattan. “Demi Unum, beruntung aku sudah bosan dengan perempuan kurus itu,” tukasnya dingin. “Aku baru saja akan menyiksamu, Matt, seperti adikmu. Selina mati dalam keadaan jiwa yang terbakar.”
Wajah Mattan merah menegang dengan guratan dendam yang mencolok. Dia tidak menyeka ludah kecut di pipinya. Dia merasa harus mengubah pembicaraan sebelum dirinya mendadak lepas kendali.
“Menumpas kebodohan?” cetusnya dengan hina. “Sungguh, kegilaan Paduka sudah di luar batas.”
Kegaduhan masih terdengar dekat di balik pintu ruangan. Saling menyeru. Sebagian pengawal berusaha mendobrak pintu. Meski seseorang berkata bahwa itu merupakan upaya tolol. Pintu kamar Raja terpahat dari ulin merah setebal lima senti. Kayu itu nyaris sekeras dan sekuat lapisan beton!
“Ambil kunci serepnya, cepat!” seru satu suara di balik pintu.
Raja Ein terbatuk. Sinar matanya meredup. Dia merasakan kantuk yang aneh. Membuatnya tak mampu berontak untuk melawan. Raja Ein menyeringai. “Seringkali begitu. Mengubah arah pembicaraan ketika mulai terpancing emosi,” umpatnya. “Yah… kebenaran memang pahit. Tapi aku melakukannya demi kebaikan kita. Demi kemajuan peradaban, Matt! Kau tahu itu!”
“Kau seorang ekstremis yang keji, Paduka. Seorang rasis!”
“Oh, Matt… jangan kau berkata begitu padaku,” Raja Ein dirundung sesal. “Dia yang menghasutmu jadi seperti ini? Kukira sejak dulu kau selalu sepaham denganku.”
“Dia tidak ada hubungannya dengan keputusanku ini. Demi perdamaian dunia. Aku sendiri akhirnya merasa… kesombongan Paduka harus dihentikan. Kita sudah bertindak di luar batas!”
Tawa Raja Ein tiba-tiba meledak—seperti orang sinting. Dia terengah-engah, dan tersedak memuntahkan banyak darah. Matanya membelalak nanar. Hidungnya yang dipenuhi bulir-bulir keringat penderitaan, nyaris menempel dengan wajah Mattan. “Oh, perdamaian dunia, perdamaian dunia… selalu begitu—seolah kalian semua paham dengan artinya. Dunia sumpek dan sesak karena kalian! Jadi, ya! Aku perlu rasis, Matt! Aku harus rasis!
“Urgut dan Haedin adalah orang-orang hina yang bodoh! Pemalas tak berguna—”
Raut wajah Mattan memucat dan sekeras perunggu. Dia menarik tusukan, melepaskan pegangan. Mattan mundur dan mengangkat lutut, mendaratkan kaki kanan di perut sang Raja. Pria itu terbelalak ngeri. Napas dia tercekat merasakan tubuhnya terdorong menghempas dan memecahkan kaca jendela.
Raja Ein terjun bebas menyambut kekosongan udara.
Catatan: Tulisan ini ada kemungkinan mengandung beberapa unsur 'sensitif', yang digunakan sebagai pemanis(konflik) dalam cerita. Harap menyikapinya dengan bijak dan tidak berprasangka buruk. Tulisan ini ditulis dengan maksud untuk menginspirasi, bukan untuk menyinggung/menyakiti hati pihak manapun. Semoga pembaca bisa maklum, dan menikmatinya betul-betul. Semoga Mimin dan Momod ataupun pihak berwenang yang lain tidak keberatan dengan adanya cerita ini. Terima kasih.

Nubieh izin mau share tulisan niih.. semoga bisa dinikmati, kurang lebihnya nubieh mohon maaf yaa..

Musik ini kayaknya pas buat nemenin baca


Spoiler for Prolog 1:
Mereka adalah Neena. Sebelum dikenal sebagai Manusia.
“Skak mat.”
Si pria bermata tembaga mengerutkan kening. Sejenak tangannya membenarkan posisi mahkota emas yang miring di kepala. Dan pandangannya heran terhadap bidak Gajah lawan yang menembak Raja-nya yang terpojok dari sudut arena.
“Konyol,” katanya. “Biasanya kau selalu kalah, Mattan.”
“Karena biasanya aku mengalah, Paduka,” Mattan tersenyum, sekilas melirik permata merah berbentuk tahta di atas air yang menghiasi mahkota sang Raja. Dia menyandarkan tubuh, menyilangkan kaki kanan dan meletakkan tangan di pangkuan.
Sang Raja menatap lekat pria berambut ikal di hadapannya. Tertawa kering. Dia meraih cawan perak di sebelah papan catur, meneguk habis isinya. Kemudian berpaling. Raja Ein bangkit, langkahnya berdentang di lantai pualam ketika menghampiri dinding jendela kaca oval raksasa. Dia berdiri di sana dengan tangan dilipat ke belakang. Terpekur lama memandangi laut biru yang menghampar di bawah kastil kerajaannya.
Awan di langit bersemburat jingga. Hari menjelang senja. Hanya mereka yang bernapas di ruangan mewah itu. Sisanya dihuni lukisan-lukisan bertema kekuasaan, lentera-lentera kristal, patung-patung granit, baju zirah dan koleksi senjata yang dijadikan pajangan, serta piala-piala dari emas.
“Jadi… bagaimana menurutmu pertempuran kemarin?” tanya Raja Ein penasaran. “Aku yakin kita akan menang. Sedikit lagi. Lukamu sudah sembuh, kan?”
Mattan merogoh saku celana. Mengambil sebuah permen, membuka bungkus kelabu, dan memasukkan isinya ke mulut. Dia mengunyah perlahan, lidahnya merasakan manis lelehan sirup candu yang merangsang ketenangan dalam otak. Lalu sejenak Mattan terpejam, seakan mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu yang gila. Aksi ini mungkin akan mencoreng nama dan merusak reputasinya. Menjatuhkan martabatnya. Tapi tekad Mattan sudah bulat.
Dia tidak akan mundur lagi.
Mattan menumpukan kedua tangan di bibir meja, sedikit mendorong kursi ke belakang. Dia bangkit. Berjalan menghampiri sang Raja dengan tangan memegangi mata sabuk bersepuh emas membentuk burung hantu bertudung yang melingkari pinggang, mengikat tunik panjang merahnya yang dihiasi pola tahta-tahta di atas air dari bordiran benang emas. Sosoknya yang bertubuh tegap dan gagah memantul pada permukaan kaca jendela di hadapan mereka. Mattan berdiri dekat dan persis di belakang bahu Raja Ein.
Jantung Mattan berpacu. “… kapan kita akan berhenti, Paduka?” tanyanya.
Raja Ein mengangkat kedua alis. “Kau bercanda—lagi? Kau tahu aku tidak akan berhenti sampai akhir. Pengorbanan kita sudah terlalu banyak, Matt,” katanya, membalas pantulan tatapan mata di kaca. Lalu berbalik menghadap. “Apa lukamu sudah sembuh?”
Terdengar klik pelan lingkar kunci yang ditarik jari tengah. Tangan Mattan berpindah cepat dari sabuk. Mengayunkan tinju bersuara lembut. Menghunus batangan logam pipih mengilap sepanjang sepuluh senti ke bawah tulang rusuk Raja Ein.
Dua kali. Tanpa perasaan. Tanpa basa-basi.
Raja Ein membelalak menatap Mattan. Mulut terbuka dan rahangnya gemetar.
Spoiler for Prolog 2:
Mattan menghela napas. Kepalan kanannya masih menempel di perut, ketika tangan kirinya setengah mendekap tubuh sang Raja yang goyah. Cairan merah pekat mengalir dari besi pisau yang ramping. Menetes ke lantai. Menyusul peristiwa itu, kencring samar pelat besi terdengar tergesa menelusuri koridor di balik dinding. Seorang pengawal Raja berteriak. Tak lama kemudian pintu ruangan digedor-gedor seakan hendak memperingatkan kalau ada kebakaran di kamar sebelah.
“Paduka! Buka pintunya! Paduka Ein!”
“Paduka! Dia pengkhianatnya! Panglima Mattan pengkhianatnya!!”
“Dobrak pintunya! Cepat!”
“Mereka tidak salah,” Mattan berkomentar.
“Abdiku… sahabatku yang paling setia… mau membunuhku?”
“Dengan senang hati.”
“Ini untuk adikmu, Matt?” Raja Ein tampak pucat serta takjub. Napasnya terhambat di kerongkongan, urat kebiruan menonjol tegas di leher. “Kupikir kau sudah memaafkanku.”
“Kau menipuku, Paduka.”
Darah hangat mengalir dari sudut bibir Raja Ein. Dia tertawa hambar. “Dan kau, bermain hati dengan Ratu-ku,” tuduhnya, dengan lidah yang kelu.
“Oh, itu karena aku ingin.”
Raja Ein meludahi wajah Mattan. “Demi Unum, beruntung aku sudah bosan dengan perempuan kurus itu,” tukasnya dingin. “Aku baru saja akan menyiksamu, Matt, seperti adikmu. Selina mati dalam keadaan jiwa yang terbakar.”
Wajah Mattan merah menegang dengan guratan dendam yang mencolok. Dia tidak menyeka ludah kecut di pipinya. Dia merasa harus mengubah pembicaraan sebelum dirinya mendadak lepas kendali.
“Menumpas kebodohan?” cetusnya dengan hina. “Sungguh, kegilaan Paduka sudah di luar batas.”
Kegaduhan masih terdengar dekat di balik pintu ruangan. Saling menyeru. Sebagian pengawal berusaha mendobrak pintu. Meski seseorang berkata bahwa itu merupakan upaya tolol. Pintu kamar Raja terpahat dari ulin merah setebal lima senti. Kayu itu nyaris sekeras dan sekuat lapisan beton!
“Ambil kunci serepnya, cepat!” seru satu suara di balik pintu.
Raja Ein terbatuk. Sinar matanya meredup. Dia merasakan kantuk yang aneh. Membuatnya tak mampu berontak untuk melawan. Raja Ein menyeringai. “Seringkali begitu. Mengubah arah pembicaraan ketika mulai terpancing emosi,” umpatnya. “Yah… kebenaran memang pahit. Tapi aku melakukannya demi kebaikan kita. Demi kemajuan peradaban, Matt! Kau tahu itu!”
“Kau seorang ekstremis yang keji, Paduka. Seorang rasis!”
“Oh, Matt… jangan kau berkata begitu padaku,” Raja Ein dirundung sesal. “Dia yang menghasutmu jadi seperti ini? Kukira sejak dulu kau selalu sepaham denganku.”
“Dia tidak ada hubungannya dengan keputusanku ini. Demi perdamaian dunia. Aku sendiri akhirnya merasa… kesombongan Paduka harus dihentikan. Kita sudah bertindak di luar batas!”
Tawa Raja Ein tiba-tiba meledak—seperti orang sinting. Dia terengah-engah, dan tersedak memuntahkan banyak darah. Matanya membelalak nanar. Hidungnya yang dipenuhi bulir-bulir keringat penderitaan, nyaris menempel dengan wajah Mattan. “Oh, perdamaian dunia, perdamaian dunia… selalu begitu—seolah kalian semua paham dengan artinya. Dunia sumpek dan sesak karena kalian! Jadi, ya! Aku perlu rasis, Matt! Aku harus rasis!
“Urgut dan Haedin adalah orang-orang hina yang bodoh! Pemalas tak berguna—”
Raut wajah Mattan memucat dan sekeras perunggu. Dia menarik tusukan, melepaskan pegangan. Mattan mundur dan mengangkat lutut, mendaratkan kaki kanan di perut sang Raja. Pria itu terbelalak ngeri. Napas dia tercekat merasakan tubuhnya terdorong menghempas dan memecahkan kaca jendela.
Raja Ein terjun bebas menyambut kekosongan udara.
Spoiler for Update:
Quote:
Catatan: Tulisan ini ada kemungkinan mengandung beberapa unsur 'sensitif', yang digunakan sebagai pemanis(konflik) dalam cerita. Harap menyikapinya dengan bijak dan tidak berprasangka buruk. Tulisan ini ditulis dengan maksud untuk menginspirasi, bukan untuk menyinggung/menyakiti hati pihak manapun. Semoga pembaca bisa maklum, dan menikmatinya betul-betul. Semoga Mimin dan Momod ataupun pihak berwenang yang lain tidak keberatan dengan adanya cerita ini. Terima kasih.





Diubah oleh zeldar 10-09-2016 20:16


anasabila memberi reputasi
1
3.3K
Kutip
36
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan