kata.nalarAvatar border
TS
kata.nalar
Jika Mega Pilih Ahok, PDIP Bisa Dihukum Rakyat Seperti Pemilu 2004 dan 2009



Ada indikasi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri akan mendukung duet Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)- Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI Jakarta mendatang.

Indikasi terbaca saat Mega tidak memperpanjang masa tugas Bambang DH sebagai Plt Ketua PDIP Jakarta. Bambang DH diketahui adalah salah satu tokoh PDIP yang menolak Ahok.

Peristiwa kedua adalah saat Presiden Joko Widodo mengajukan nama Wakil Kepala Polri Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) sebagai satu-satunya kandidat Kepala BIN. Presiden Jokowi diketahui pernah menemani Ahok untuk melobi Mega dan nama BG disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Mega.

Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan, Sya’roni, dalam keterangan tertulisnya kepada Aktual.com, Selasa (6/9).

Disampaikan, saat Jokowi mengajukan nama BG maka banyak pihak yang langsung memafhuminya sebagai deal politik dengan akan segera dibubuhkannya dukungan PDIP untuk Ahok.

“Jika itu semua benar terjadi, maka tidak berlebihan langkah tersebut sebagai langkah mundur PDIP. Harus diingat pemilih Jakarta sangat dinamis dan akan menghukum parpol manapun yang mengkhianati rakyat. PDIP salah satu parpol yang pernah merasakan hukuman rakyat Jakarta,” jelasnya.

Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, lanjut dia, semestinya ingat dimana pada Pemilu 1999 PDIP mendulang kemenangan besar di Jakarta. Akan tetapi karena dianggap sudah tidak berpihak kepada rakyat kecil lagi, maka akhirnya dihukum rakyat pada Pemilu 2004 dan 2009.

“Dukungan yang akan diberikan PDIP kepada Ahok jelas sangat mencederai rakyat kecil. Ahok sudah berkali-kali menggusur rumah rakyat miskin. Tindakan Ahok yang gemar menggusur diduga kuat untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu,” kata Sya’roni.

Bukan tidak mungkin penghukuman rakyat terhadap PDIP kembali terulang. Harus diingat pula Jakarta adalah barometer politik nasional. Kekalahan di Jakarta besar kemungkinan akan diikuti di seluruh wilayah Indonesia.

Akan lebih bijak, katanya, jika Megawati mengarahkan dukungannya bukan kepada Ahok. PDIP adalah partai besar jangan mau ditekan pihak-pihak tertentu. Jangan pula mempercayai hasil survey yang seolah-olah Ahok melejit sendirian di atas.

“Megawati harus mempercayai mesin politik partai. Siapa pun figur yang diusung akan menuai kemenangan. Dengan syarat figur tersebut haruslah terbukti memiliki keberpihakan terhadap rakyat kecil,” tuturnya.

Dan diantara calon kandidat yang beredar, Megawati bisa mempertimbangkan nama Rizal Ramli yang sudah terbukti berani mempertaruhkan jabatannya untuk mendukung para nelayan yang tergusur oleh proyek reklamasi di Teluk Jakarta.

Bisa dikatakan, Rizal Ramli adalah antitesa Ahok, dimana Ahok adalah pembela kepentingan pemilik modal, sementara Rizal Ramli adalah pembela nasib rakyat kecil. Visi Rizal Ramli sangat sesuai dengan nafas perjuangan PDIP.

http://www.aktual.com/jika-mega-pili...2004-dan-2009/

Kita, pendukung atau penolak Ahok, mesti meneliti apa dasar kita mendukung atau menolak. Apakah kita mendukung atau menolak karena iman/agama dan suku bangsa Ahok atau tidak. Kalau kita masih terjebak urusan primordialisme, itu artinya kita perlu meneliti paham kebangsaan kita. Seharusnya basis mendukung atau menolak adalah kinerja dan hal-hal yang bisa dinilai berdasarkan kriteria administrasi dan manajemen modern -- itu kalau kita menganggap diri kita orang modern. Mesti jelas di atas landasan apa kita berpijak dalam urusan ini.

Kalau mau obyektif, dari sudut mana saja Ahok susah bisa disebut berhasil dalam mengelola pemerintahan DKI. Ada sedikit prestasi dalam membenahi beberapa infrastruktur seperti pembangunan rusun, beberapa sungai yang sudah mulai bersih, dllnya, tetapi secara keseluruhan prestasi kecil ini dikalahkan oleh kegagalannya dalam mengelola konflik (karena penolakan semakin meluas), hancurnya keadaban publik dan fatsoen politik (karena suka mencaci, berkata kasar, menyalahkan orang lain, inkonsistensi, banyak berbohong), pengelolaan kondisi kemanusiaan korban gusuran yang parsial, dugaan korupsi, dan masih ada hal prinsipil lainnya, yang jauh lebih penting daripada prestasi kecil yang kasat mata tersebut.

Dalam hal ini saya sedikit banyak terpengaruh oleh Marshall Berman, seorang peneliti modernitas Marxis, yang mengeritik lanskap dan ruang publik kota Brazilia yang dia sebut tidak memiliki imajinasi dan visi demokrasi karena tidak memiliki ruang yang bisa melibatkan warga untuk berpartisipasi. Dalam bukunya "All That Is Solid Melts Into Air" Berman melihat pembangunan kota Brazilia menuju ke arah yang salah dan digerakkan oleh visi modernitas yang seharusnya tidak begitu.

Berman menginspirasi saya untuk mengeritik Ahok dengan cara yang berbeda. Visi dan imajinasi modernitas Ahok terlalu berorientasi materiil (kasat mata), yang kelihatnnya tidak compatible dengan budaya bangsa Indonesia. Di Brazilia, bagi Berman, di balik kemegahan pembangunan kota yang materiil itu, seharusnya nilai demokrasi harus diutamakan. Di Jakarta, di balik gegap-gempitanya perbaikan yang sedang dilakukan Ahok, seharusnya nilai budaya bangsa Indonesia harus menjadi pijakan dalam pelaksanaannya.
Diubah oleh kata.nalar 07-09-2016 07:36
0
2.1K
32
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan