- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Coldplay Vs Weezer: Who Is The Winner?


TS
daftarkuliah
Coldplay Vs Weezer: Who Is The Winner?
COLDPLAY
WEEZER
Mari berdiskusi gan//
Parameternya: Gaya bermusik, originalitas karya, live perform, dan fans.
Quote:
Coldplay adalah salah satu band asal britania raya yang beraliran rock alternative. Band ini di bentuk tahun 1996, Coldplay beranggotakan 4 personil di mana chris martin sebagai vokalis utama , Jonny Buckland sebagai gitaris utama, Guy Berryman sebagai bassis, dan Will Champion sebagai drummer. Band ini kerapa di sanding – sandingkan mirip dengan band Oasis, Radio head dan U2.
Berawal dari meja bilyar. Tepatnya terletak di sebuah pub yang gak terlalu jauh dari tempat kuliah mereka yaitu di University College of London. Suatu malam di pertengahan tahun 1996, terlihat dua orang mahasiswa yang tampak asik Nyodok – nyodok bola bilyar. Mereka adalah Jonny Buckland dan Chris Martin. Walaupun beda jurusan - Jonny kuliah di jurusan Matematika dan Astronomi, sedangkan Chris menekuni Sejarah Dunia Kuno - kedua cowok kece ini sudah menyatu satu sama lain atas nama musik.
Nggak berapa lama munculah seseorang . orang itu menghampiri jonny dan chris yang sedang maen sulap. Ah bilyar maksud gue. Orang itu adalah seorang mahasiswa jurusan Antropologi yang sempet beberapa lama jadi rekan se-tim chris di lapangan hoki kampus. Namanya Will Champion. Sembari terus bermain serta sesekali menenggak bir. bukan tuak yeee., ketiga cowok ini ngobrol dan mereka- reka kemungkinan buat sama- sama membentuk sebuah band. Yang pertama kali melontarkan gagasan adalah Chris Martin. Itu dicetuskannya lantaran vokalis yang jago memainkan gitar akustik dan piano ini nggak puas sama bandnya saat itu, yaitu Pectoralz. Ajakan itu ditangapi serius sama Will. Padahal saat itu ia sudah tercatat sebagai personal band Fat Hamster. serupa juga sambutan dari Jonny. Cowok kelahiran Mold, wales Utara ini, malah langsung ngusulin nama Guy Berryman, temennya di asrama buat melengkapi formasi band. Begitu dihubungi, Guy langsung setuju dengan ajakan rekanya tersebut. Maklum, mahasiswa jurusan Teknik itu lagi suntuk terus-terusan mainin aliran progresif sama bandnya, Time Out. "Band itu gawat bener. Gara-gara personel yang paling jago di situ tuh ngefans berat sama Genesis, yang lainnya harus ikutin kemauannya. ue tersiksa banget ngiringin solo instrumen yang lama-lama jadi kedengaran nggak masuk akal !" kenang Guy.
Setelah semua lini terisi, band yang sampe saat itu belum mempunyai nama itu segera menggelar workshop di gudang kosong yang ada di asrama mereka. Sesekali mereka boleh berlatih di ruang musik milik kampus. Selain menyamakan persepsi dengan ngebawain lagu-lagu milik band lain, mereka juga coba-coba bikin lagu sendiri. "Apa yang ada di kepala kami saat itu cuma musik, musik dan musik. Inti dari workshop sendiri adalah berusaha mengeluarkan yang terbaik dari tiap personel dan menkolaborasikannya menjadi sesuatu." ingat Chris.
Saking menkmati bermusik, mereka nggak sempet mikirin soal nama band. Memang mereka pernah melontarkan nama-nama seperti Stepney, Green atau Starfish. Ujung- ujungnya, mereka memilih nama Coldplay, yang merupakan nama band milik salah seorang temen mereka yang udah bubar. "Pokoknya jangan pernah tanya apa arti 'Coldplay'. Soalnya kami sendiri nggak pernah mikirin. Saat itu, cuma kata itulah yang paling masuk akal bagi kami ketimbang pilihan nama lainnya !" ungkap Chris cuek.
Memasuki 1998, Chris cs sepakat buat merekam sebagian materi yang dianggap udah mantap sebagai demo. bermodal beberapa ratus pounds mereka menyewa Sync City Studios dan mulai menggarap demo. Entah kesambet setan mana, rencana membuat demo itu di tengah jalan berkembang menjadi mini album, yang nantinya bakal diedarkan sendiri. Jadilah tuh demo diperbanyak sampe sekitar 500 keping CD dan dirilis pada bulan Mei tahun yang sama dengan titel Safety.
Nggak disangka dari 500 keping yang diedarkan di seputar London, hanya sekitar 50 keping yang tersisa. Nama Coldplay mulai terdengar gaungnya. Beruntung, ada beberapa keping CD yang udah tersebar itu jatuh ke tangan yang tepat. Siapa lagi kalo bukan petinggi-petinggi perusahaan rekaman. Alhasil nggak nyampe setahun kemudian Coldplay teken kontrak pertamanya dengan Parlophone Records.
Biar udah punya kontrak rekaman, kuartet ini tetap merasa perlu mempertinggi jam terbang di atas panggung. Mereka sadar betul kalo Coldplay tuh tergolong 'BTL' alias 'band tembak langsung', yang go straight ke dapur rekaman tanpa pengalaman manggung. Boleh percaya boleh nggak, biar udah mantap di jalur musik, Chris dkk ogah berkiprah lebih jauh karena kuliah mereka belum selesai. Cuma Guy aja yang ngak ngotot. Dengan beberapa pertimbangan, cowok ini rela nggak jadi tukang insinyur demi seratus persen menekuni musik. Begitulah. Sembari 3/4 personelnya berjuang di bangku kuliah, Coldplay juga berusaha buat terus berproduksi. Sampai akhirnya mereka merilis mini album lagi pada bulan April 1999. Berjudul Brothers and Sisters, tuh album dirilis dalam jumlah tiga kali lipat lebih banyak dari yang pertama. Album itu gak kalah larisnya. bahkan ada satu sngel yang sempet nongkrong di top 100 tangga lagu Inggris Raya.
Phil Harvey, yang menukangi manajemen Coldplay, jeli menangkap momen yang bisa melesatkan nama Coldplay. Seakan nggak mau menyia- nyiakan tren yang udah tercipta lewat Brohers and Sisters, Phil kembali menggiring Chris dkk masuk sudio rekaman buat memproduksi satu mini album lagi. Bulan Oktober 1999, mini album bertajuk The Blue Room itu dirilis.
Diikuti dengan sederet penampilan di berbagai festival bergengsi serta jadi pembuka buat Catatonia, jalan yang dilalui Coldplay saat itu bisa dibilang makin lapang terbentang. Tabloid musik paling bergengsi Inggris, NME, bahkan sempat menyebut mereka sebagai salah satu hottest band tahun 1999.
Seluruh fakta di atas bikin pede personel Coldplay makin berlipat-lipat. The time has come for Coldplay doing the real deal : Bikin full album !
Ternyata, jalan menuju pembuatan sebuah album penuh, nggak segampang yang dikira. Pasalnya, pihak label mereka saat itu belum terlalu yakin pada nilai jual band ini. Akhirnya, sambil mempersiapkan materi yang bakal dimuat di album penuh itu, Chris cs mutusin untuk sekali lagi merilis satu mini album. Kali ini, materinya adalah kompilasi dari yang pernah dirilis di Safety EP dan Brothers and Sisters plus beberapa materi baru. Biar masih diedarkan dalam jumlah terbatas, mini album bertitel Bigger Stronger itu terbilang sukses makin memancing perhatian khalayak. Terbukti, berbarengan dengan kemunculan album ini, muncul juga kritik yang bilang kalo Coldplay tuh nggak lebih dari sekadar pengekor Radiohead !
Nggak butuh waktu lama lagi bagi lagu itu jadi anthem anyar generasi yang udah bosen sama deruan gitar distorsi yang membalut lirik-lirik bertemakan kemarahan. Saking populernya, Coldplay pun jadi salah satu band yang paling ditunggu penampilannya di festival musik bergengsi Glastonbury 2000. Menurut Will, waktu itu sebelum manggung mereka nervous setengah mati sebelum naik panggung. Tapi bagaimanapun juga penampilan Coldplay selama 1 jam pada hari kedua festival itu berakhir manis.
Prestasi yang dicetak Yellow, ditambah suksesnya penampilan mereka di Glastonbury otomatis memperlancar jalan yang kudu ditempuh album debutnya yang dikasih judul Parachutes. Album itu dirilis tanggal 1 Juli 2000. Hanya dalam hitungan minggu, album berisi 11 lagu keren itu langsung meroket ke puncak tangga album terlaris di Inggris. Secara artistik, tuh album juga langsung mendapat pengakuan. Mereka sukses menyabet piala di Brits Awards, Mercury Prize, NME Carling Awards, sampai yang paling gres, Grammy Awards. Top banget ! Coldplay is now a really England's next biggest thing !
Hebatnya lagi, apa yang udah diraih itu nggak pernah bisa merubah sifat dasar para personel Coldplay. Sopan, ramah dan rendah hati tetap jadi satu ciri yang mengemuka dari Chris, Will, Guy dan Jonny. "Kami nggak merasa perlu buat berubah. Soalnya kami cukup bersyukur sama apa yang udah kami miliki sejauh ini. Lagian kami juga nggak tau, kalo mau berubah tuh musti berubah kayak apa lagi ?" ucap Guy, polos.
"Buat kami rock 'n roll tuh adalah kebebasan buat melakukan apa yang kami mau. Dan yang kami mau saat ini adalah gaya hidup yang biasa- biasa aja. Nggak perlu drugs apalagi jadi hedonis. Soalnya buat kami hal itu tuh basi dan klise banget. Kami nggak mau terjebak dalam klise-klise macam itu !" tandas Chris.


Berawal dari meja bilyar. Tepatnya terletak di sebuah pub yang gak terlalu jauh dari tempat kuliah mereka yaitu di University College of London. Suatu malam di pertengahan tahun 1996, terlihat dua orang mahasiswa yang tampak asik Nyodok – nyodok bola bilyar. Mereka adalah Jonny Buckland dan Chris Martin. Walaupun beda jurusan - Jonny kuliah di jurusan Matematika dan Astronomi, sedangkan Chris menekuni Sejarah Dunia Kuno - kedua cowok kece ini sudah menyatu satu sama lain atas nama musik.
Nggak berapa lama munculah seseorang . orang itu menghampiri jonny dan chris yang sedang maen sulap. Ah bilyar maksud gue. Orang itu adalah seorang mahasiswa jurusan Antropologi yang sempet beberapa lama jadi rekan se-tim chris di lapangan hoki kampus. Namanya Will Champion. Sembari terus bermain serta sesekali menenggak bir. bukan tuak yeee., ketiga cowok ini ngobrol dan mereka- reka kemungkinan buat sama- sama membentuk sebuah band. Yang pertama kali melontarkan gagasan adalah Chris Martin. Itu dicetuskannya lantaran vokalis yang jago memainkan gitar akustik dan piano ini nggak puas sama bandnya saat itu, yaitu Pectoralz. Ajakan itu ditangapi serius sama Will. Padahal saat itu ia sudah tercatat sebagai personal band Fat Hamster. serupa juga sambutan dari Jonny. Cowok kelahiran Mold, wales Utara ini, malah langsung ngusulin nama Guy Berryman, temennya di asrama buat melengkapi formasi band. Begitu dihubungi, Guy langsung setuju dengan ajakan rekanya tersebut. Maklum, mahasiswa jurusan Teknik itu lagi suntuk terus-terusan mainin aliran progresif sama bandnya, Time Out. "Band itu gawat bener. Gara-gara personel yang paling jago di situ tuh ngefans berat sama Genesis, yang lainnya harus ikutin kemauannya. ue tersiksa banget ngiringin solo instrumen yang lama-lama jadi kedengaran nggak masuk akal !" kenang Guy.
Setelah semua lini terisi, band yang sampe saat itu belum mempunyai nama itu segera menggelar workshop di gudang kosong yang ada di asrama mereka. Sesekali mereka boleh berlatih di ruang musik milik kampus. Selain menyamakan persepsi dengan ngebawain lagu-lagu milik band lain, mereka juga coba-coba bikin lagu sendiri. "Apa yang ada di kepala kami saat itu cuma musik, musik dan musik. Inti dari workshop sendiri adalah berusaha mengeluarkan yang terbaik dari tiap personel dan menkolaborasikannya menjadi sesuatu." ingat Chris.
Saking menkmati bermusik, mereka nggak sempet mikirin soal nama band. Memang mereka pernah melontarkan nama-nama seperti Stepney, Green atau Starfish. Ujung- ujungnya, mereka memilih nama Coldplay, yang merupakan nama band milik salah seorang temen mereka yang udah bubar. "Pokoknya jangan pernah tanya apa arti 'Coldplay'. Soalnya kami sendiri nggak pernah mikirin. Saat itu, cuma kata itulah yang paling masuk akal bagi kami ketimbang pilihan nama lainnya !" ungkap Chris cuek.
Memasuki 1998, Chris cs sepakat buat merekam sebagian materi yang dianggap udah mantap sebagai demo. bermodal beberapa ratus pounds mereka menyewa Sync City Studios dan mulai menggarap demo. Entah kesambet setan mana, rencana membuat demo itu di tengah jalan berkembang menjadi mini album, yang nantinya bakal diedarkan sendiri. Jadilah tuh demo diperbanyak sampe sekitar 500 keping CD dan dirilis pada bulan Mei tahun yang sama dengan titel Safety.
Nggak disangka dari 500 keping yang diedarkan di seputar London, hanya sekitar 50 keping yang tersisa. Nama Coldplay mulai terdengar gaungnya. Beruntung, ada beberapa keping CD yang udah tersebar itu jatuh ke tangan yang tepat. Siapa lagi kalo bukan petinggi-petinggi perusahaan rekaman. Alhasil nggak nyampe setahun kemudian Coldplay teken kontrak pertamanya dengan Parlophone Records.
Biar udah punya kontrak rekaman, kuartet ini tetap merasa perlu mempertinggi jam terbang di atas panggung. Mereka sadar betul kalo Coldplay tuh tergolong 'BTL' alias 'band tembak langsung', yang go straight ke dapur rekaman tanpa pengalaman manggung. Boleh percaya boleh nggak, biar udah mantap di jalur musik, Chris dkk ogah berkiprah lebih jauh karena kuliah mereka belum selesai. Cuma Guy aja yang ngak ngotot. Dengan beberapa pertimbangan, cowok ini rela nggak jadi tukang insinyur demi seratus persen menekuni musik. Begitulah. Sembari 3/4 personelnya berjuang di bangku kuliah, Coldplay juga berusaha buat terus berproduksi. Sampai akhirnya mereka merilis mini album lagi pada bulan April 1999. Berjudul Brothers and Sisters, tuh album dirilis dalam jumlah tiga kali lipat lebih banyak dari yang pertama. Album itu gak kalah larisnya. bahkan ada satu sngel yang sempet nongkrong di top 100 tangga lagu Inggris Raya.
Phil Harvey, yang menukangi manajemen Coldplay, jeli menangkap momen yang bisa melesatkan nama Coldplay. Seakan nggak mau menyia- nyiakan tren yang udah tercipta lewat Brohers and Sisters, Phil kembali menggiring Chris dkk masuk sudio rekaman buat memproduksi satu mini album lagi. Bulan Oktober 1999, mini album bertajuk The Blue Room itu dirilis.
Diikuti dengan sederet penampilan di berbagai festival bergengsi serta jadi pembuka buat Catatonia, jalan yang dilalui Coldplay saat itu bisa dibilang makin lapang terbentang. Tabloid musik paling bergengsi Inggris, NME, bahkan sempat menyebut mereka sebagai salah satu hottest band tahun 1999.
Seluruh fakta di atas bikin pede personel Coldplay makin berlipat-lipat. The time has come for Coldplay doing the real deal : Bikin full album !
Ternyata, jalan menuju pembuatan sebuah album penuh, nggak segampang yang dikira. Pasalnya, pihak label mereka saat itu belum terlalu yakin pada nilai jual band ini. Akhirnya, sambil mempersiapkan materi yang bakal dimuat di album penuh itu, Chris cs mutusin untuk sekali lagi merilis satu mini album. Kali ini, materinya adalah kompilasi dari yang pernah dirilis di Safety EP dan Brothers and Sisters plus beberapa materi baru. Biar masih diedarkan dalam jumlah terbatas, mini album bertitel Bigger Stronger itu terbilang sukses makin memancing perhatian khalayak. Terbukti, berbarengan dengan kemunculan album ini, muncul juga kritik yang bilang kalo Coldplay tuh nggak lebih dari sekadar pengekor Radiohead !
Nggak butuh waktu lama lagi bagi lagu itu jadi anthem anyar generasi yang udah bosen sama deruan gitar distorsi yang membalut lirik-lirik bertemakan kemarahan. Saking populernya, Coldplay pun jadi salah satu band yang paling ditunggu penampilannya di festival musik bergengsi Glastonbury 2000. Menurut Will, waktu itu sebelum manggung mereka nervous setengah mati sebelum naik panggung. Tapi bagaimanapun juga penampilan Coldplay selama 1 jam pada hari kedua festival itu berakhir manis.
Prestasi yang dicetak Yellow, ditambah suksesnya penampilan mereka di Glastonbury otomatis memperlancar jalan yang kudu ditempuh album debutnya yang dikasih judul Parachutes. Album itu dirilis tanggal 1 Juli 2000. Hanya dalam hitungan minggu, album berisi 11 lagu keren itu langsung meroket ke puncak tangga album terlaris di Inggris. Secara artistik, tuh album juga langsung mendapat pengakuan. Mereka sukses menyabet piala di Brits Awards, Mercury Prize, NME Carling Awards, sampai yang paling gres, Grammy Awards. Top banget ! Coldplay is now a really England's next biggest thing !
Hebatnya lagi, apa yang udah diraih itu nggak pernah bisa merubah sifat dasar para personel Coldplay. Sopan, ramah dan rendah hati tetap jadi satu ciri yang mengemuka dari Chris, Will, Guy dan Jonny. "Kami nggak merasa perlu buat berubah. Soalnya kami cukup bersyukur sama apa yang udah kami miliki sejauh ini. Lagian kami juga nggak tau, kalo mau berubah tuh musti berubah kayak apa lagi ?" ucap Guy, polos.
"Buat kami rock 'n roll tuh adalah kebebasan buat melakukan apa yang kami mau. Dan yang kami mau saat ini adalah gaya hidup yang biasa- biasa aja. Nggak perlu drugs apalagi jadi hedonis. Soalnya buat kami hal itu tuh basi dan klise banget. Kami nggak mau terjebak dalam klise-klise macam itu !" tandas Chris.




WEEZER
Quote:
"Sebenarnya di tahun terakhir sma, di kelas perilaku manusia, salah satu tugasnya adalah menulis garis waktu untuk kehidupan saya. Dan saya berpikir akan menjadi rock star hingga usia 30, lalu menjadi komponis musik klasik hingga 40, lalu menjadi penulis hingga 50, lalu saya akan mati."
Tampaknya jalan kehidupan Rivers Cuomo tak berjalan sesuai bayangannya ketika masih duduk di bangku SMA di Storrs, Connecticut, Amerika Serikat. Cuomo yang sedang duduk di depan saya dalam sebuah ruang konferensi di Hotel Shangri-la berusia 42 tahun, terlihat terlalu segar untuk ukuran seseorang yang baru mendarat di Jakarta dari Tokyo dengan setelan jas serta kacamata berbingkai tebal khasnya, dan – berdasarkan teriakan histeris yang menyambut aksinya dalam konser Weezer esok malamnya pada 8 Januari – masih mempertahankan status rock star-nya. Bersama anggota Weezer lainnya, Cuomo sang vokalis dan gitaris sedang membandingkan cita-cita sewaktu SMA dengan keadaan mereka sekarang.
"Saya tidak ada kelas perilaku manusia, jadi saya tak pernah menulis itu," kata Brian Bell, gitaris-keyboardist yang terkenal karena selera fashion-nya yang berkelas, 44 tahun.
"Saya bahagia karena masih hidup!" ujar Scott Shriner, bassist yang bertato di sekujur tubuhnya yang kekar, 47 tahun. "Ya, saya juga," kata Patrick Wilson, drummer santai berbadan bongsor, 43 tahun.
Kisah Weezer berawal di tahun 1992, beberapa tahun setelah para anggota pendirinya hijrah dari kota asal masing-masing ke Los Angeles demi mewujudkan mimpi menjadi musisi. Cuomo, yang menggemari grup-grup rock seperti Kiss, Quiet Riot, Judas Priest dan Iron Maiden, pindah bersama band metal Avant Garde yang terdiri dari teman-teman SMA-nya di Storrs.
Sambil berusaha mewujudkan impiannya, Cuomo bekerja di toko musik Tower Records. Pat Finn, rekan kerja Cuomo, memperkenalkannya kepada teman-teman yang kelak mendirikan Weezer bersamanya, yakni Wilson, bassist Matt Sharp dan gitaris Jason Cropper.
Finn juga berteman dengan Karl Koch, yang hingga kini setia menemani Weezer dalam berbagai kapasitas, termasuk mendokumentasikan sejarah band itu dari awal berdiri. Kerajinan Koch dalam mengabadikan perjalan-an Weezer sudah menghasilkan DVD Video Capture Device, dan arsip artefak serta kisah-kisah seputar band itu juga akan dijadikan buku dengan judul tentatif yang terilham oleh komentar ibu Koch tentang anaknya: That Kid"s Got Stuff.
Setelah Avant Garde ganti nama menjadi Zoom dan kemudian bubar, pengaruh Finn dan wawasan musik yang semakin luas membuat Cuomo berpaling dari musik metal dan mulai menggemari musik alternative rock yang sedang naik daun. "Kami menggemari Pixies sebelum Nirvana meledak. Dan The Velvet Underground juga penting bagi saya ketika itu, sekitar 1990?" kata Cuomo. "Dan tentu saja kami mendengar Nirvana juga, seperti Sliver dan Bleach, setiap hari saat menuju latihan."
Cuomo mulai banyak menulis musik yang mencerminkan inspirasi barunya, dan kualitas lagu-lagu ciptaannya seperti "Only In Dreams" dan "Undone – The Sweater Song" memicu antusiasme Wilson, Sharp dan Cropper. Mereka sepakat untuk mendirikan Weezer, yang namanya diambil dari julukan masa kecil Cuomo akibat penyakit asmanya. Namun ketika Weezer mulai tampil dalam berbagai acara di L.A., publik tak memiliki antusiasme yang sama untuk musik mereka.
Salah satu perkecualiannya adalah Bell, pindahan dari Knoxville, Tennessee yang ketika itu menjadi bassist di Carnival Art. "Saya sangat terpukau dengan apa yang saya dengar. Mereka selalu menanyakan pendapat saya, dan saya berkata, "Kalian tak bisa memba-yangkan. Ini akan jadi besar," " katanya.
Akhirnya Bell terbukti benar, dan Geffen Records memberi kontrak rekaman. Dalam proses rekaman album pertama yang ber-awal pada Agustus 1993 bersama Ric Ocasek dari The Cars sebagai produser, Cropper keluar dari Weezer dan kembali ke L.A. untuk mengurus pacarnya yang hamil. Bell langsung setuju ketika diajak bergabung di Weezer sebagai pengganti Cropper. "Saya yakin dengan band ini saat nonton mereka sebelum bergabung, tapi ketika mendengar albumnya, saya tahu telah ikut serta dalam sesuatu yang besar," kata Bell.
Album debut Weezer yang berjudul Weezer tapi lebih dikenal sebagai The Blue Album–karena warna biru yang dominan di sampulnya–dirilis pada Mei 1994, sebulan setelah Kurt Cobain, vokalis Nirvana, bunuh diri. "Dia mungkin akan menyukai album kami. Itu yang kami pikirkan," kata Bell, sebelum bertanya ke Cuomo, "Ingat obrolan kami? "Kira-kira apa pendapat Kurt tentang album kita? Kita takkan pernah tahu.""
Pada awalnya, antusiasme terhadap album pertama Weezer tidak spektakuler, tapi lama-kelamaan mencuri perhatian. Video-video unik arahan Spike Jonze untuk "Undone – The Sweater Song" dan "Buddy Holly" akhirnya sering diputar di MTV, sehingga publik menjadi terpikat oleh musik Weezer yang catchy, lirik yang cerdas dan penampilan mereka yang lebih mirip kutu buku daripada rock star. Selain itu, perubahan selera penggemar musik setelah kesuraman era grunge membuat musik Weezer yang relatif lebih ceria dapat diterima.
"Kira-kira apa yang akan terjadi jika kami mencoba mengeluarkan album di tahun "92, "91?" kata Cuomo. "Rasanya di sekitar tahun "94, orang-orang sudah siap untuk sesuatu yang tidak terlalu grunge. Beck muncul di saat yang sama, dan Green Day, dan Beastie Boys." Hingga saat ini, The Blue Album terjual lebih dari tiga juta kopi di seluruh dunia, dan merupakan album Weezer yang terlaris.
Walau impian cuomo untuk menjadi rock star terwujud, setelah tur mempromosikan The Blue Album selesai di tahun 1995 dia malah kembali menjadi manusia "normal" dengan kuliah di Harvard, Boston, mengambil studi komposisi musik klasik, sebelum ganti jurusan menjadi Sastra Inggris. Para anggota Weezer lainnya mengisi kekosongan ini dengan proyek-proyek lain, termasuk The Rentals milik Sharp yang cukup sukses lewat album Return Of The Rentals yang dirilis oleh perusahaan rekaman milik Madonna, Maverick Records.
Sementara Sharp sukses bersama The Rentals, Cuomo menjalani kehidupan yang menyiksa sebagai mahasiswa. Sebelum kuliah, dia menjalani operasi untuk memperpanjang kaki kirinya yang pertumbuhannya terganggu sejak masih kecil. Akibat operasi tersebut, Cuomo terpaksa berjalan dengan bantuan tongkat, dan jenggot tebal yang tumbuh di wajahnya membuatnya semakin sulit dikenali sesama mahasiswa sebagai musisi terkenal. Kondisi tersebut membuatnya merasa terisolasi, dan perasaan frustrasinya dicurahkan ke dalam lagu-lagu yang masuk ke album kedua Weezer, Pinkerton, yang dirilis pada September 1996.
Namun Pinkerton yang lebih suram, melankolis dan agresif tidak mendapat respon sebaik album sebelumnya, suatu hal yang membuat Cuomo kecewa karena tidak sesuai dengan harapannya. "Saya sempat berpikir ini album paling luar biasa sepanjang masa!" katanya sekarang. Pukulan eksternal ini disertai kondisi internal yang kurang harmonis akibat sikap Cuomo yang cenderung otoriter terhadap anggota Weezer lainnya. "Karena kami semua begitu muda dan tidak berpengalaman dalam menghadapi krisis, ditambah komunikasi buruk, masa itu terasa begitu kacau tanpa solusi," kata Karl Koch melalui e-mail.
Setelah tur Pinkerton usai, di akhir 1997 Sharp keluar dari Weezer agar bisa lebih fokus pada The Rentals. Tanpa menyelesaikan studinya di Harvard, Cuomo kembali ke Los Angeles dan menempati sebuah apartemen bersama Mikey Welsh yang sempat bermain musik bersamanya di Boston, dan resmi diangkat sebagai bassist baru Weezer di tahun 1998. Cuomo kembali menulis lagu, tapi hasilnya kurang memuaskan. Pada September 2011, Welsh menulis di halaman Facebook-nya tentang masa itu: "Di saat itu saya merasa bahwa Rivers kehilangan arah, bahwa dia kehilangan inspirasinya. Saya percaya inspirasinya adalah Matt Sharp, tapi kini Matt sudah pergi, dan hanya ada saya."
Akhirnya di tahun 2000, Cuomo berhasil menciptakan sejumlah lagu baru yang dinilai layak, dan Weezer aktif kembali. Setelah absen selama hampir tiga tahun, Weezer kembali tampil di depan umum dan terkejut karena massa penggemarnya bertambah pesat di luar dugaan, antara lain karena semakin populernya Pinkerton berkat pujian dari mulut ke mulut para penggemar musik di Internet. Akhirnya, curahan hati Cuomo menemukan apresiasi selayaknya.
"Pinkerton terdengar relevan bagi saya sekarang, dan terdengar seperti akan tetap terdengar luar biasa hingga akhir waktu," kata Shriner.
Ketika Weezer ikut Vans Warped Tour, yang juga menampilkan band-band seperti Green Day dan The Mighty Mighty Bosstones, para anggotanya khawatir akan mendapat respons yang buruk dari penonton yang lebih menyukai punk rock dan ska. Tapi ketika Welsh menyaksikan penampilan The Mighty Mighty Bosstones, penonton malah meneriakkan nama band yang akan main setelah mereka, yakni Weezer. "Saya tidak menonton sisa penampilan Bosstones, saya kembali ke ruang ganti kami sambil tersenyum lebar," tulis Welsh di Facebook.
Akhirnya pada Mei 2001, Weezer mengeluarkan album ketiganya yang juga berjudul Weezer, tapi lebih dikenal sebagai The Green Album karena warna hijau yang dominan di sampulnya. Ric Ocasek kembali bertindak sebagai produser, dan hasilnya adalah 10 lagu rock yang simpel, bertolak belakang dengan Pinkerton. Alhasil, nama Weezer kembali melejit berkat lagu-lagu seperti "Hash Pipe" dan "Island In The Sun".


Tampaknya jalan kehidupan Rivers Cuomo tak berjalan sesuai bayangannya ketika masih duduk di bangku SMA di Storrs, Connecticut, Amerika Serikat. Cuomo yang sedang duduk di depan saya dalam sebuah ruang konferensi di Hotel Shangri-la berusia 42 tahun, terlihat terlalu segar untuk ukuran seseorang yang baru mendarat di Jakarta dari Tokyo dengan setelan jas serta kacamata berbingkai tebal khasnya, dan – berdasarkan teriakan histeris yang menyambut aksinya dalam konser Weezer esok malamnya pada 8 Januari – masih mempertahankan status rock star-nya. Bersama anggota Weezer lainnya, Cuomo sang vokalis dan gitaris sedang membandingkan cita-cita sewaktu SMA dengan keadaan mereka sekarang.
"Saya tidak ada kelas perilaku manusia, jadi saya tak pernah menulis itu," kata Brian Bell, gitaris-keyboardist yang terkenal karena selera fashion-nya yang berkelas, 44 tahun.
"Saya bahagia karena masih hidup!" ujar Scott Shriner, bassist yang bertato di sekujur tubuhnya yang kekar, 47 tahun. "Ya, saya juga," kata Patrick Wilson, drummer santai berbadan bongsor, 43 tahun.
Kisah Weezer berawal di tahun 1992, beberapa tahun setelah para anggota pendirinya hijrah dari kota asal masing-masing ke Los Angeles demi mewujudkan mimpi menjadi musisi. Cuomo, yang menggemari grup-grup rock seperti Kiss, Quiet Riot, Judas Priest dan Iron Maiden, pindah bersama band metal Avant Garde yang terdiri dari teman-teman SMA-nya di Storrs.
Sambil berusaha mewujudkan impiannya, Cuomo bekerja di toko musik Tower Records. Pat Finn, rekan kerja Cuomo, memperkenalkannya kepada teman-teman yang kelak mendirikan Weezer bersamanya, yakni Wilson, bassist Matt Sharp dan gitaris Jason Cropper.
Finn juga berteman dengan Karl Koch, yang hingga kini setia menemani Weezer dalam berbagai kapasitas, termasuk mendokumentasikan sejarah band itu dari awal berdiri. Kerajinan Koch dalam mengabadikan perjalan-an Weezer sudah menghasilkan DVD Video Capture Device, dan arsip artefak serta kisah-kisah seputar band itu juga akan dijadikan buku dengan judul tentatif yang terilham oleh komentar ibu Koch tentang anaknya: That Kid"s Got Stuff.
Setelah Avant Garde ganti nama menjadi Zoom dan kemudian bubar, pengaruh Finn dan wawasan musik yang semakin luas membuat Cuomo berpaling dari musik metal dan mulai menggemari musik alternative rock yang sedang naik daun. "Kami menggemari Pixies sebelum Nirvana meledak. Dan The Velvet Underground juga penting bagi saya ketika itu, sekitar 1990?" kata Cuomo. "Dan tentu saja kami mendengar Nirvana juga, seperti Sliver dan Bleach, setiap hari saat menuju latihan."
Cuomo mulai banyak menulis musik yang mencerminkan inspirasi barunya, dan kualitas lagu-lagu ciptaannya seperti "Only In Dreams" dan "Undone – The Sweater Song" memicu antusiasme Wilson, Sharp dan Cropper. Mereka sepakat untuk mendirikan Weezer, yang namanya diambil dari julukan masa kecil Cuomo akibat penyakit asmanya. Namun ketika Weezer mulai tampil dalam berbagai acara di L.A., publik tak memiliki antusiasme yang sama untuk musik mereka.
Salah satu perkecualiannya adalah Bell, pindahan dari Knoxville, Tennessee yang ketika itu menjadi bassist di Carnival Art. "Saya sangat terpukau dengan apa yang saya dengar. Mereka selalu menanyakan pendapat saya, dan saya berkata, "Kalian tak bisa memba-yangkan. Ini akan jadi besar," " katanya.
Akhirnya Bell terbukti benar, dan Geffen Records memberi kontrak rekaman. Dalam proses rekaman album pertama yang ber-awal pada Agustus 1993 bersama Ric Ocasek dari The Cars sebagai produser, Cropper keluar dari Weezer dan kembali ke L.A. untuk mengurus pacarnya yang hamil. Bell langsung setuju ketika diajak bergabung di Weezer sebagai pengganti Cropper. "Saya yakin dengan band ini saat nonton mereka sebelum bergabung, tapi ketika mendengar albumnya, saya tahu telah ikut serta dalam sesuatu yang besar," kata Bell.
Album debut Weezer yang berjudul Weezer tapi lebih dikenal sebagai The Blue Album–karena warna biru yang dominan di sampulnya–dirilis pada Mei 1994, sebulan setelah Kurt Cobain, vokalis Nirvana, bunuh diri. "Dia mungkin akan menyukai album kami. Itu yang kami pikirkan," kata Bell, sebelum bertanya ke Cuomo, "Ingat obrolan kami? "Kira-kira apa pendapat Kurt tentang album kita? Kita takkan pernah tahu.""
Pada awalnya, antusiasme terhadap album pertama Weezer tidak spektakuler, tapi lama-kelamaan mencuri perhatian. Video-video unik arahan Spike Jonze untuk "Undone – The Sweater Song" dan "Buddy Holly" akhirnya sering diputar di MTV, sehingga publik menjadi terpikat oleh musik Weezer yang catchy, lirik yang cerdas dan penampilan mereka yang lebih mirip kutu buku daripada rock star. Selain itu, perubahan selera penggemar musik setelah kesuraman era grunge membuat musik Weezer yang relatif lebih ceria dapat diterima.
"Kira-kira apa yang akan terjadi jika kami mencoba mengeluarkan album di tahun "92, "91?" kata Cuomo. "Rasanya di sekitar tahun "94, orang-orang sudah siap untuk sesuatu yang tidak terlalu grunge. Beck muncul di saat yang sama, dan Green Day, dan Beastie Boys." Hingga saat ini, The Blue Album terjual lebih dari tiga juta kopi di seluruh dunia, dan merupakan album Weezer yang terlaris.
Walau impian cuomo untuk menjadi rock star terwujud, setelah tur mempromosikan The Blue Album selesai di tahun 1995 dia malah kembali menjadi manusia "normal" dengan kuliah di Harvard, Boston, mengambil studi komposisi musik klasik, sebelum ganti jurusan menjadi Sastra Inggris. Para anggota Weezer lainnya mengisi kekosongan ini dengan proyek-proyek lain, termasuk The Rentals milik Sharp yang cukup sukses lewat album Return Of The Rentals yang dirilis oleh perusahaan rekaman milik Madonna, Maverick Records.
Sementara Sharp sukses bersama The Rentals, Cuomo menjalani kehidupan yang menyiksa sebagai mahasiswa. Sebelum kuliah, dia menjalani operasi untuk memperpanjang kaki kirinya yang pertumbuhannya terganggu sejak masih kecil. Akibat operasi tersebut, Cuomo terpaksa berjalan dengan bantuan tongkat, dan jenggot tebal yang tumbuh di wajahnya membuatnya semakin sulit dikenali sesama mahasiswa sebagai musisi terkenal. Kondisi tersebut membuatnya merasa terisolasi, dan perasaan frustrasinya dicurahkan ke dalam lagu-lagu yang masuk ke album kedua Weezer, Pinkerton, yang dirilis pada September 1996.
Namun Pinkerton yang lebih suram, melankolis dan agresif tidak mendapat respon sebaik album sebelumnya, suatu hal yang membuat Cuomo kecewa karena tidak sesuai dengan harapannya. "Saya sempat berpikir ini album paling luar biasa sepanjang masa!" katanya sekarang. Pukulan eksternal ini disertai kondisi internal yang kurang harmonis akibat sikap Cuomo yang cenderung otoriter terhadap anggota Weezer lainnya. "Karena kami semua begitu muda dan tidak berpengalaman dalam menghadapi krisis, ditambah komunikasi buruk, masa itu terasa begitu kacau tanpa solusi," kata Karl Koch melalui e-mail.
Setelah tur Pinkerton usai, di akhir 1997 Sharp keluar dari Weezer agar bisa lebih fokus pada The Rentals. Tanpa menyelesaikan studinya di Harvard, Cuomo kembali ke Los Angeles dan menempati sebuah apartemen bersama Mikey Welsh yang sempat bermain musik bersamanya di Boston, dan resmi diangkat sebagai bassist baru Weezer di tahun 1998. Cuomo kembali menulis lagu, tapi hasilnya kurang memuaskan. Pada September 2011, Welsh menulis di halaman Facebook-nya tentang masa itu: "Di saat itu saya merasa bahwa Rivers kehilangan arah, bahwa dia kehilangan inspirasinya. Saya percaya inspirasinya adalah Matt Sharp, tapi kini Matt sudah pergi, dan hanya ada saya."
Akhirnya di tahun 2000, Cuomo berhasil menciptakan sejumlah lagu baru yang dinilai layak, dan Weezer aktif kembali. Setelah absen selama hampir tiga tahun, Weezer kembali tampil di depan umum dan terkejut karena massa penggemarnya bertambah pesat di luar dugaan, antara lain karena semakin populernya Pinkerton berkat pujian dari mulut ke mulut para penggemar musik di Internet. Akhirnya, curahan hati Cuomo menemukan apresiasi selayaknya.
"Pinkerton terdengar relevan bagi saya sekarang, dan terdengar seperti akan tetap terdengar luar biasa hingga akhir waktu," kata Shriner.
Ketika Weezer ikut Vans Warped Tour, yang juga menampilkan band-band seperti Green Day dan The Mighty Mighty Bosstones, para anggotanya khawatir akan mendapat respons yang buruk dari penonton yang lebih menyukai punk rock dan ska. Tapi ketika Welsh menyaksikan penampilan The Mighty Mighty Bosstones, penonton malah meneriakkan nama band yang akan main setelah mereka, yakni Weezer. "Saya tidak menonton sisa penampilan Bosstones, saya kembali ke ruang ganti kami sambil tersenyum lebar," tulis Welsh di Facebook.
Akhirnya pada Mei 2001, Weezer mengeluarkan album ketiganya yang juga berjudul Weezer, tapi lebih dikenal sebagai The Green Album karena warna hijau yang dominan di sampulnya. Ric Ocasek kembali bertindak sebagai produser, dan hasilnya adalah 10 lagu rock yang simpel, bertolak belakang dengan Pinkerton. Alhasil, nama Weezer kembali melejit berkat lagu-lagu seperti "Hash Pipe" dan "Island In The Sun".









Mari berdiskusi gan//
Parameternya: Gaya bermusik, originalitas karya, live perform, dan fans.
Diubah oleh daftarkuliah 03-09-2016 19:31
0
6.9K
Kutip
88
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan