- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Padepokan Pencetak Juara-Juara Level Internasional


TS
japek
Padepokan Pencetak Juara-Juara Level Internasional
Quote:
Menengok Padepokan Gajah Lampung, Tempat Penggemblengan Cabang Olahraga
Angkat Besi dan Angkat Berat

Angkat Besi dan Angkat Berat

Kemenangan lifter Indonesia Eko Yuli Irawan yang berhasil menyabet medali perak di Olimpiade Rio 2016 mengharumkan nama Indonesia. Tak hanya sekali ini Sang Saka Merah Putih dikibarkan di negeri orang lewat prestasi di cabang olahraga angkat besi dan angkat berat. Tidak banyak yang tahu, perjuangan dan pergulatan mental yang harus mereka lewati untuk berada di posisi teratas ini. Terlebih cerita hidup yang mewarnai selama mereka menjalani proses menjadi pemenang dan manusia seutuhnya. Redaktur senior femina, Naomi Jayalaksana, khusus datang untuk melihat langsung perjuangan para jawara dan wanita perkasa di Padepokan Gajah Lampung.
BUKAN CUMA MAIN FISIK
Bunyi gaduh gagang besi yang saling beradu serta empasan barbel seberat puluhan hingga ratusan kilogram menjadi rutinitas di Padepokan Gajah Lampung, tempat kelahiran para lifter dunia. Sebab, dari Desa Pringsewu inilah atlet-atlet angkat besi dan angkat berat yang berhasil mencetak prestasi juara dunia berasal.
Seperti pagi itu, saat saya menjejakkan kaki di pusat pelatihan yang tak jauh dari jalan raya Pringsewu. Saya bertemu dengan Imron Rosadi (71), yang hari itu terlihat santai dengan kaus oblong putih yang sudah tua dan celana pendek. Pembawaan Imron membuat saya sedikit grogi. Bukan karena predikatnya sebagai pelatih yang sangar dan galak, tapi lebih karena rasa kagum akan karakternya yang bersahaja namun berjiwa pemimpin. Bisa dibilang, pria inilah maestro yang telah berhasil melahirkan bintang-bintang dunia di kedua cabang olahraga berat itu.
“Ini olahraga mahal,” katanya membuka percakapan, sambil mempersilakan saya duduk. Sebagai wartawan gaya hidup yang awam sekali soal olahraga ini, saya berusaha untuk mencerna ucapannya. Kata ‘mahal’ itu tidak hanya merujuk pada harga peralatan berupa barbel yang satu setnya bisa mencapai Rp100.000.000. Total ada 25 set barbel yang dimiliki. Belum lagi biaya pembangunan landasan tahan banting dari beton cor yang biaya pembangunannya mencapai Rp2,5 miliar. Ditambah lagi biaya operasional asrama 15 kamar yang tiap bulannya mencapai Rp6.000.000.
“Atlet adalah profesi yang paling mahal di dunia. Modalnya juga harus luar biasa. Olahraga ini soal kehidupan manusia. Ada dinamikanya. Mereka bukan mesin, tapi punya jiwa dan pemikiran yang terus berkembang. Ini soal membangun manusia,” tegas pria yang menampung 50 lebih atlet di padepokannya ini.
Sejak berdiri pada tahun 1963, ia membiayai sendiri seluruh operasional. Padepokannya juga bukan yayasan yang tiap bulan mendapat jatah bantuan. Meski demikian, ia tidak hanya mampu memberi penginapan dan makanan bergizi tiga kali sehari, tapi juga memberi uang bulanan kepada tiap atlet yang nominalnya disesuaikan dengan prestasi yang dicapai.
Bukan melulu kekuatan yang diandalkan di cabang olahraga ini. Seperti diakui oleh Noviana Sari (29), atlet putri angkat berat, yang berbincang dengan saya usai latihan. “Sekuat dan sebesar apa pun badan seseorang, apabila ia kehilangan fokus, maka beban barbel itu tidak akan terangkat dari lantai,” terang Novi. Ada hal vital lain yang harus ditaklukkan sebelum benda mati berupa gagang serta lempeng besi barbel seberat puluhan hingga ratusan kilogram itu berhasil diangkat.
“Yang paling berat adalah melawan diri sendiri,” ujar wanita yang telah menempa diri di Padepokan Gajah Lampung sejak usia 14 tahun ini. Definisi melawan diri sendiri adalah melawan serangan rasa tidak percaya diri, ketakutan bahwa ia akan mengalami cedera dan gagal mengangkat beban tersebut. Semua ketakutan ini masih terjadi, bahkan ketika mereka sadar bahwa beban yang sama telah berhasil diangkat di saat latihan.
Tapi, terlalu percaya diri pun bisa membahayakan. “Mentang-mentang berat itu sudah biasa diangkat saat latihan, selanjutnya jadi meremehkan. Akhirnya, baru angkatan pertama saja sudah… glondang, besi jatuh tidak terangkat,” ungkap Eddy Santoso, putra sulung Imron Rosadi yang juga mantan atlet angkat besi, dan kini ikut melatih di padepokan.
Pada saat seperti inilah sebagai pelatih, Eddy ikut mengalami perang mental. Ia harus benar-benar menjaga agar atletnya benar-benar fokus pada kekuatan dan angkatan mereka. “Sebab, selama empat jam, lima hari seminggu, mereka berlatih, semuanya itu hanya untuk tiga kali kesempatan,” ungkap Eddy, berapi-api.
Cabang pertandingan angkat besi dan angkat berat memang hanya memberikan tiga kali kesempatan untuk masing-masing atlet melakukan angkatan di tiga jenis angkatan yang harus dilakukan saat pertandingan. Apabila salah satu jenisnya gagal, maka gagal pula ia meraih medali.
Maka, tidak heran jika teriakan dan kata-kata galak dari pelatih terdengar dari ujung ke ujung aula terbuka, tempat mereka berlatih. Ketegangan dan tekanan ini akan makin bertambah ketika yang duduk di kursi pelatih adalah Imron sendiri. Maka, tak ada suara canda, hanya suara batang besi yang saling beradu dan empasan barbel yang menimpa papan platform tempat latihan.
“Ayah saya itu disiplin, tegas, dan benar-benar lurus. Semua itu benar-benar ditujukan untuk mendorong atlet meraih prestasi. Kalau dia sudah bicara, jangan sampai kata-kata yang sama diulangi lagi. Cukup sekali saja,” ungkap Eddy, tentang watak keras ayahnya, yang adalah mantan atlet nasional angkat besi (1960-1970) dengan prestasi dunia.
Bukti ini jelas terlihat dari banyaknya prestasi yang dituai sang atlet sejak mulai berkegiatan di tahun ‘60-an. Tidak hanya mengharumkan Lampung di tingkat nasional, tapi juga berhasil membuat mata dunia terarah pada Indonesia. Setidaknya, ada lebih dari 41 medali emas berhasil dituai dari beragam kejuaraan dunia dan regional di Asia. Sementara itu, dari delapan belas ajang PON, pasukan Gajah Lampung berhasil panen 102 medali emas, 50 medali perak, dan 26 perak untuk Lampung.
Dari tempat ini pula lahir atlet senior angkat besi Winarni (39), peraih emas di Kejuaraan Dunia di Chiangmai, Thailand (1997), dan medali perak di Kejuaraan Dunia di Athena. Untuk atlet pria, ada Sutrisno (40), pemegang lima kali juara dunia sekaligus pemecah rekor dunia dengan angkatan total 743,5 kg di kejuaraan dunia 2005 di Miami, Amerika Serikat.
Jejak prestasi mereka ini dilanjutkan oleh para juniornya. Di antaranya, ada atlet angkat besi Citra Febrianti (27), yang meraih peringkat ke-4 di Olimpiade London 2012, dan menyabet 2 emas, masing-masing di SEA Games dan PON XVIII. Atlet angkat besi lainnya, Okta Dwi Pramita (28), peraih emas di ajang SEA Games Laos (2009). Dari angkat berat ada Sri Hartati (30), yang berhasil memecahkan rekor dunia untuk benchpress dengan angkatan 141 kg. Rekor ini belum terpecahkan hingga saat ini!
Sebentar lagi, menyusul adik-adik mereka, yang telah ikut menuai emas di ajang nasional. “Kita ditantang atau menantang diri untuk menjadi juara. Sebab, ketika bendera Merah Putih dinaikkan, seluruh dunia akan ikut memberikan penghormatan,” tandas Imron, tegas.

KELUARGA BESAR
Jarum jam baru menunjukkan pukul enam pagi, tapi suara lalu-lalang orang telah terdengar di luar kamar tempat saya menginap di padepokan. Beberapa atlet putri yang masih berusia remaja terlihat asyik menyapu lantai asrama. Tak mau kalah sibuk, beberapa atlet pria menyapu halaman, membereskan kamar masing-masing, dan sisanya menyiram tanaman.
“Di sini semua harus bekerja. Tidak peduli itu atlet juara dunia atau junior, semua punya kewajiban sama,” ujar Imron, saat melihat saya asyik mengamati serunya aktivitas pagi di padepokan. Semua orang punya kewajiban yang sama untuk menjaga agar ‘rumah’ mereka ini menjadi tempat tinggal sekaligus berlatih yang nyaman.
Ucapan mantan lifter terbaik ASEAN ini segera terbukti, saat saya menyaksikan kesibukan di salah satu sisi ruang asrama. Tampak atlet angkat berat Doni Meiyanto (28) tengah sibuk menata gelas plastik warna-warni yang sudah bernama di atas meja. Pria ini Juli lalu baru saja memperbaiki rekor dunianya di Kejuaraan Angkat Berat Asia di Hong Kong, dari angkatan 320 kg ke 322,5 kg. “Sebelum latihan, tiap atlet minum suplemen khusus,” ungkap Doni.
Setelah gelas-gelas siap, giliran atlet senior angkat besi Betty Febriani membantu menuangkan bubuk suplemen berwarna biru ke masing-masing gelas. “Dosisnya harus pas. Atlet yang masih junior atau usia remaja takarannya separuh dari atlet senior,” terang Betty. Ini artinya, siapa pun yang bertugas harus mengenal dengan baik rekan-rekannya yang total berjumlah sekitar 50-an orang itu.
Melihat mereka berdua, seperti melihat dua orang kakak yang sedang menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya. Menurut Imron, di tempat ini tidak hanya fisik yang ditempa, tapi juga mental, dan kesadaran tiap orang terhadap tanggung jawab individu dan dalam kebersamaan mereka sebagai sebuah keluarga besar. Tiap orang tidak hanya sibuk dengan urusannya sendiri, tapi juga saling melayani.
Wajarnya keluarga besar dengan banyak anak, Imron dan istrinya, Yuniarti (71), tak jarang kewalahan menghadapi anak-anak didik yang sudah mereka anggap seperti anak sendiri. Apabila Imron mendisiplinkan mereka di aula saat berlatih, maka Yuni bertugas menggembleng mereka di wilayah domestik.
Bagaimana cara mendisiplinkan begitu banyak anak, dengan isi kepala berbeda dan beragam latar belakang keluarga? “Pakai rotan!” cetus Yuni. Meski mengucapkannya sambil tertawa, Yuni tidak bercanda, ketika salah satu atlet asuhannya datang membawa ‘rotan’ yang ternyata adalah sapu lidi. “Saya enggak main-main. Kalau ketahuan pulang subuh, paginya saya jebret saja pakai sapu lidi,” kata Yuni, menceritakan kenakalan salah satu atlet putra binaannya. “Saya mau dia baik. Kalau diam, maka saya justru menjerumuskan dia,” lanjutnya.
Meski tak kalah galak dengan suaminya, wanita yang oleh para atlet dipanggil dengan sebutan ‘Emak’ ini sangat dekat dan disayang. Pernah, suatu kali ia harus terbaring akibat reaksi kemoterapi untuk kanker anus yang dideritanya 3,5 tahun lalu. Ungkapan rasa sayang dan dukungan semangat dari para atlet asuhannyalah yang membuatnya bangkit dan bersemangat lagi.
Mereka sadar bahwa disiplin keras yang diberikan oleh Imron dan Yuni semata-mata ditujukan sepenuhnya demi kebaikan para atlet. Apabila pola hidup mereka asal dan tidak sehat, maka kesiapan fisik dan konsentrasi juga akan anjlok. “Dulu, mereka diberi uang makan sebesar Rp35.000 per hari. Tapi, dasar anak muda, uang itu malah lari untuk pembelian pulsa. Bobot mereka pun turun karena tidak ada asupan nutrisi yang cukup. Akhirnya, sekarang mereka tidak makan di luar lagi, tapi saya pakai katering agar jelas kebersihan makanan dan kandungan gizinya,” ujar Yuni.
Dua hari tinggal di Padepokan Gajah Lampung, saya merasakan benar pentingnya pola makan bagi para atlet ini. Tiap hari disediakan pilihan menu yang enak-enak dan porsinya pun besar. Bagi para atlet, porsi tersebut memang sesuai takaran. Tetapi, siang itu Mey (14), salah satu atlet angkat besi junior, terlihat hanya memandangi kami.
“Saya harus menurunkan berat badan, jadi enggak makan siang,” kata Mey, malu-malu. Maklum, Mey tergabung dalam atlet junior kelas 44 kilogram. Dengan bobot 46 kg lebih, ia harus mengurangi 3 kg.
Tak hanya soal makan, urusan istirahat dan jam tidur juga tidak main-main dan sangat disiplin. Masa tidur atau istirahat siang wajib untuk menyiapkan tubuh mereka di latihan tahap berikutnya yang dimulai pukul 16.00 – 18.00. “Sebelum tidur malam, semua HP dikumpulkan ke salah satu senior. Supaya kami langsung istirahat dan tidak sibuk main HP,” cerita Mey.
Seperti siang itu, setelah latihan paruh pertama dari pukul 8.00 hingga pukul 10.00, mereka akan bersantai. Ada yang menonton TV, mengobrol, bermain HP, atau belajar! Seperti yang dilakukan atlet angkat besi junior Purwanti (15). Remaja yang telah mengoleksi 5 emas dan 1 perunggu ini terlihat asyik berlatih soal matematika di kamarnya.
“Buku ini tidak dipakai di sekolah, tapi cara-cara pemecahan soalnya menarik untuk dipelajari,” ungkap Purwanti, yang dipercaya sebagai bendahara di antara teman-teman atletnya. Ia bercerita, atlet usia sekolah seperti dirinya diberi keringanan berupa penyesuaian jadwal belajar oleh pihak sekolah. “Rata-rata hanya dua kali seminggu kami masuk sekolah. Sisanya belajar sendiri, seperti saya,” jelasnya.

MASA DEPAN ITU ADA
“Haaassshhh!!!” pekik Nur Vinatasari (14), atlet angkat besi, saat menaikkan barbel seberat 79 kilogram itu ke atas tulang selangka, sebelum akhirnya mengangkatnya dengan satu entakan kuda-kuda, yang disebut dengan istilah clean & jerk. Hari itu ia panen aplaus karena berhasil memecahkan rekor angkatan baru, dari sebelumnya 65 kg.
Siswi kelas 1 SMP itu Juni lalu berhasil meraih dua medali emas untuk dua jenis angkatan di Kejuaraan Satria Remaja III di Bandung, kejuaraan angkat besi untuk junior berusia 17 tahun ke bawah. Dari sisi potensi, ia memang termasuk salah satu yang menonjol di antara atlet pendatang baru lainnya.
Remaja yang akrab dipanggil Vina itu ikut angkat besi karena tertarik pada promosi yang dilancarkan oleh atlet senior yang datang ke sekolahnya untuk mencari bibit baru atlet angkat besi. “Saya ingin bisa jalan-jalan ke luar negeri dan dapat banyak uang seperti mereka,” ungkapnya, polos.
Sayangnya, tak banyak generasi muda yang tertarik untuk terjun sebagai atlet angkat besi seperti Vina. Modernisasi dan perkembangan gaya hidup rupanya ikut berpengaruh. “Karena sudah kekota-kotaan, orang lebih tertarik pada binaraga daripada cabang olahraga ini,” keluh Eddy. Pernah ia menawari seorang pemulung yang sempat beberapa kali datang menumpang untuk olahraga gratis di tempatnya, tapi mendapat penolakan.
“Sayang sekali, padahal saya melihat, dia punya power yang besar dan berpotensi menjadi juara,” ungkap Eddy, sedih. Tidak hanya peluang untuk berprestasi, bergabung sebagai atlet juga bisa mengangkat kualitas hidup, seperti yang juga dirasakan oleh dua atlet senior, Okta dan Noviana.
Okta adalah anak ke-2 dari empat bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai sopir truk dan ibunya fokus mengurus rumah tangga.Kegigihan Okta berlatih membuahkan tak hanya prestasi dan kebanggaan, tapi juga bonus uang. Dari uang hadiah ini, ia bisa mengentaskan pendidikan kedua adiknya, membeli sawah dan kebun cokelat untuk kehidupan keluarganya, membangun rumah, dan baru-baru ini membeli mobil L300 untuk disewakan.
Perjuangan Noviana tidak kalah berat. Ia adalah anak ke-9 dari 12 bersaudara. Ayahnya seorang tukang becak, dan ibunya sudah kerepotan mengurusi dirinya dan kesebelas saudaranya yang lain. Kehidupan ekonomi yang terpuruk ini yang kemudian memicunya untuk bergabung sebagai atlet angkat besi. “Saya ingin mengubah nasib,” katanya.
Ia ingat betul, kemenangan pertamanya di kejuaraan nasional tahun 2007 di Jakarta. Saat itu ia berhasil menuai bonus sebesar Rp3 juta, jumlah uang yang selama ini tidak berani diimpikannya. “Hal pertama yang saya lakukan begitu mendapat uang itu adalah memasang listrik di rumah, membeli sofa, TV, dan mengganti lantai yang tadinya tanah dengan semen,” ucapnya, dengan mata berbinar.
Sebagai tulang punggung keluarga, ia juga berhasil mengentaskan pendidikan ketiga adiknya. “Saya bangga, meski hanya tamatan SMP, saya bisa mengantarkan adik saya hingga lulus sarjana,” ucap peraih dua medali emas di kejuaraan dunia angkat berat ini, bahagia.
Sistem yang diterapkan Padepokan Gajah Lampung ini diakui para atlet mengajar mereka untuk tidak menghamur-hamburkan pendapatan. Tiap uang yang didapat akan langsung ditransfer ke tabungan masing-masing. Penggunaannya juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Tidak bisa seenaknya. Hanya diizinkan untuk hal-hal yang terkait dengan investasi, dan bukan untuk kebutuhan membayar utang keluarga.
“Saya memang agak ketat dalam hal ini. Kasihan jika kerja keras mereka kemudian amblas hanya untuk membayar utang keluarga, yang tidak ada habisnya. Mereka butuh mempersiapkan masa depannya juga,” jelas Yuni.
Sri Hartati, atlet angkat berat yang telah tiga kali meraih juara dunia, mengaku cara ini mendisiplinkan dirinya dalam hal mengatur keuangan. “Suka saya belanjakan untuk hal-hal yang tidak jelas, yang dibeli tapi akhirnya tidak terpakai,” lanjutnya lagi, mengaku dosa. Tapi, dengan sistem tabungan, ia tidak perlu takut tak punya masa depan di hari tua.
Bahkan, dengan uang tabungannya, Sri berencana untuk mengambil kuliah di sela-sela padatnya jadwal latihan dan perannya sebagai ibu satu anak berusia 10 tahun. “Dengan gelar sarjana ini saya berharap bisa menaikkan golongan saya sebagai pegawai negeri,” ungkap Sri, yang telah diangkat sebagai PNS di Dinas Pemuda dan Olahraga di Lampung.
Sri, Okta, dan Noviana adalah bagian dari sekitar 20-an atlet di Padepokan Gajah Lampung yang telah menjadi PNS. Kebijakan pemerintah yang berlaku sejak tahun 2005 ini menjadi solusi dan opsi masa depan baru bagi para atet, selain berkarier sebagai pelatih. Jadi, apabila masih ada yang meragukan masa depan sebagai seorang atlet, mereka adalah bukti bahwa masa depan itu sungguh ada! (f)
Sumber

Diubah oleh japek 01-09-2016 08:46
0
2.9K
Kutip
34
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan