- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Wacana Kenaikan Harga Rokok dan Tinjauan Alakadarnya


TS
adelioakins
Wacana Kenaikan Harga Rokok dan Tinjauan Alakadarnya
Saya percaya bahwa Kaskus memang tempatnya Kasak-kusuk. semua hal, mulai dari hal yg remeh temeh hingga yg canggih2 seperti politik, budaya, teknologi, sains dan filsapat telah habis diperbincangkan di forum ini. semua orang dari penjuru kalangan tumplek blek disini. mula dari anak sekolahan, mahasiswa, bisnismen, karyawan, penggangguran hingga siapapun bisa berbicara dan berkomentar. termasuk saya ini yg siapalah. 😀 btw, ini intronya kepanjangan cuy. Haha.

Saya sebetulnya mau membicarakan wacana yg lagi panas di masyarakat. entah sudah basi atau belum yg jelas hingga beberapa hari ini tema pembicaraan di jalanan atau di warung2 masi berkutat seputar rencana pemerintah mau menaikan harga rokok sebungkus Rp 50.000. masyaAllaah betapa riuh gemuruhnya. Kalo sampai jadi, entah akan seperti apa rusuhnya rakyat Indonesia. bisa pergi demo, bisa mencari akal. Kita tahu, rakyat Indonesia terkenal kreatif dan banyak akal hingga ke status mengakali peraturan dan hukum.
Setelah saya baca2 dibeberapa media, ternyata semua ini berawal dari penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Disebut-sebut, jika harga rokok dan cukai naik, bisa jadi sumber dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Apa iya bisa begitu sederhananya? bila merokok tidak baik utk kesehatan, ngapain Negara naikkin harganya yg uangnya itu digunakan utk layanan kesehatan masyarakatnya? atau kalo dg harganya naik jumlah perokok berkurang, artinya dana JKN dan Bpjs jadi sedikit. tapi apa iya perokok akan benaran berkurang? saya agak sangsi. Kalopun mahal, mungkin rakyat yg sudah terlanjur kecanduan rokok tidak akan sebegitu mudahnya utk berhenti, tapi perlu waktu. cuman kebanyakan sepertinya lebih memilih utk mengganti rokoknya dibanding harus berhenti merokok full, entah diganti dg alternatif rokok lintingan, rokok bako-pahpir, atau yg lainnya.
Menurut salasatu kolumnis Geotimes, Merry Magdalena, mengutarakan bahwa berdasar situs Numbeo.com, Indonesia di urutan ke-113 daftar negara penjual rokok berdasar harga jual. Numbeo mengambil Marlboro sebagai sampel perbandingan. Di urutan pertama ada Australia, dengan harga sebungkus Marlboro Rp 251 ribu. Sedang di Indonesia, Marlboro dihargai Rp 19 ribu. Rokok Marlboro dijual paling murah di Nigeria, yaitu Rp 8.000.
Lima peringkat teratas ditempati Australia, Selandia Baru, Norwegia, Bermuda, dan Inggris, yang didominasi negara maju. Sedang lima pertingkat terbawah ada Nigeria, Kazakhstan, Ukraina, Moldova, Vietnam, yang notabene bukan negara maju. Dari sini terlihat, harga rokok sangat disesuaikan dengan daya beli rakyat suatu negara.
Rokok di Indonesia sudah menjadi semacam budaya. “Menyuruh orang berhenti merokok hampir sama dengan menyuruh orang pindah agama,” kicau Dr. Dirga Sakti Rambe di akun Twitter-nya, @dirgarambe. Perdebatan antara para perokok fanatik dengan kalangan anti rokok selalu dikaitkan dengan isu ekonomi, kesehatan, hingga nasionalisme. Tidak akan pernah ada habisnya.
Persoalan rokok menjadi semakin menarik karena faktor2 itu. pertama, asumsi kebijakan penaikan harga ternyata berdasarkan eksperimen di Australia yg negara tersebut sukses menekan jumlah perokok aktif dg kebijakan kenaikan harga. tapi jangan lupa dan jangan kesampingkan fakta bahwa orang Australia secara pendapatan perkapita jauh lebih besar daripada orang Indonesia. kemudian kedua, seperti kata Dr. Dirga tersebut, di Indonesia rokok sudah menjadi budaya, bahkan tingkat fanatisme perokok sudah setara fanatiknya dg anak2 muda yg fanatik ke agamanya. 😝 Ketiga, berdasar data dari dirjen beacukai bahwa sumbangan devisa dari rokok mencapai 139,5 triliun pada tahun 2015. Ini pemasukan yg teramat besar cuy, dari freeport aja cuma sekira 16 triliunan. Kalo jadi dinaikan dan ternyata jumlah perokok berkurang, darimana Negara bisa dapat pemasukan yg sebesar itu? belum lagi bila kita masukan faktor petani tembakau, pekerja di industri rokok, tukang kelontongan, penjual asbak, de el el. (meskipun kata teman bahwa bisa jadi strategi dari empunya pabrik rokok utk tetap mempekerjakan ribuan pegawai rokok dibanding menggunakan mesin, karena kuantitas pegawai inu dengan sendirinya bisa mempertahankan bisnis rokok).
Lebih jauhnya wacana kenaikan harga rokok ini akan menjadi pembuktian konsep Survival of the fittest, sebuah konsep yang digulirkan Herbert Spencer utk kondisi saat ini yg memang tengah berlangsung sekarang. Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Apakah para perokok mampu menjadi golongan “fittest”? Atau justru para anti-rokok? Seleksinya kini tengah berlangsung. Dan akan terbukti kelak.
Yang lebih menarik adalah seperti yg disampaikan oleh mas sayyed fadel tentang isu yg sedang “digoreng” habis oleh publik. Wajar saja ini soal hajat hidup orang banyak. Data 2013 saja dari Riset Kesehatan Dasar menyebutkan bahwa perokok aktif di Indonesia berjumlah lebih dari 58 juta orang, tak terkecuali termasuk anak berusia 10 tahun atau juga wanita. Setiap hari lebih 600 juta batang rokok dibakar.
Bayangkan saja, meskipun jelas-jelas di tiap bungkusnya ditulisi “merokok membunuhmu” lengkap dengan gambar super mengerikan, mereka tak peduli. Berapa ribu lembar esai, puisi, novel, hingga skripsi yang bisa selesai lantaran penulisnya ditemani rokok? Berapa banyak kerja kreatif atau biasa-biasa saja yang selesai juga karena subjeknya mengerjakan sambil ngerokok ?
Lagi pula, kata sebagian mereka, “rokok membunuhmu” itu kan tinjauan fisik. Tapi jika ditinjau secara psikis-mental, “rokok menghidupkanmu”. Belum lagi kalau bicara soal rokok dalam perspektif budaya, panjang lagi urusannya. Budayawannya harus sambil ngerokok agar lancar diajak omong soal ini.
Ada lagi soal “keteladanan” rokok dari para tokoh bangsa (Bung Karno, Agus Salim, dan lain-lain) hingga kiai. Ada juga yang mengaitkannya dengan takdir: banyak yang merokok panjang umur, alih-alih yang tak merokok mati muda. Karena umur itu di tangan Tuhan.
Jika Anda sudah mulai mumet dengan apa yang saya tulis, itu artinya waktunya saya mengakhiri kolom ini. Sebab, memang itu visi kolom ini: menunjukkan bahwa persoalan ini mumet. Jadi, sudah sepatutnya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan guna menekan angka konsumsi rokok di negeri ini.
Teman-teman saya yang berhenti ngerokok cenderung bertahap, tak bisa sekaligus. Begitu pula sebaiknya kebijakan pemerintah dalam menekan konsumsi rokok di sini. Dan yang paling penting diingat bahwa “yang membunuhmu” bukan hanya rokok, tapi juga korupsi, macet, banjir, dan semacamnya. Jangan lembek soal itu!
*tulisan ini terinspirasi dari tulisan dg topik serupa dari mba Merry Magdalena dan Sayyed Fadel.

Saya sebetulnya mau membicarakan wacana yg lagi panas di masyarakat. entah sudah basi atau belum yg jelas hingga beberapa hari ini tema pembicaraan di jalanan atau di warung2 masi berkutat seputar rencana pemerintah mau menaikan harga rokok sebungkus Rp 50.000. masyaAllaah betapa riuh gemuruhnya. Kalo sampai jadi, entah akan seperti apa rusuhnya rakyat Indonesia. bisa pergi demo, bisa mencari akal. Kita tahu, rakyat Indonesia terkenal kreatif dan banyak akal hingga ke status mengakali peraturan dan hukum.
Setelah saya baca2 dibeberapa media, ternyata semua ini berawal dari penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Disebut-sebut, jika harga rokok dan cukai naik, bisa jadi sumber dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Apa iya bisa begitu sederhananya? bila merokok tidak baik utk kesehatan, ngapain Negara naikkin harganya yg uangnya itu digunakan utk layanan kesehatan masyarakatnya? atau kalo dg harganya naik jumlah perokok berkurang, artinya dana JKN dan Bpjs jadi sedikit. tapi apa iya perokok akan benaran berkurang? saya agak sangsi. Kalopun mahal, mungkin rakyat yg sudah terlanjur kecanduan rokok tidak akan sebegitu mudahnya utk berhenti, tapi perlu waktu. cuman kebanyakan sepertinya lebih memilih utk mengganti rokoknya dibanding harus berhenti merokok full, entah diganti dg alternatif rokok lintingan, rokok bako-pahpir, atau yg lainnya.
Menurut salasatu kolumnis Geotimes, Merry Magdalena, mengutarakan bahwa berdasar situs Numbeo.com, Indonesia di urutan ke-113 daftar negara penjual rokok berdasar harga jual. Numbeo mengambil Marlboro sebagai sampel perbandingan. Di urutan pertama ada Australia, dengan harga sebungkus Marlboro Rp 251 ribu. Sedang di Indonesia, Marlboro dihargai Rp 19 ribu. Rokok Marlboro dijual paling murah di Nigeria, yaitu Rp 8.000.
Lima peringkat teratas ditempati Australia, Selandia Baru, Norwegia, Bermuda, dan Inggris, yang didominasi negara maju. Sedang lima pertingkat terbawah ada Nigeria, Kazakhstan, Ukraina, Moldova, Vietnam, yang notabene bukan negara maju. Dari sini terlihat, harga rokok sangat disesuaikan dengan daya beli rakyat suatu negara.
Rokok di Indonesia sudah menjadi semacam budaya. “Menyuruh orang berhenti merokok hampir sama dengan menyuruh orang pindah agama,” kicau Dr. Dirga Sakti Rambe di akun Twitter-nya, @dirgarambe. Perdebatan antara para perokok fanatik dengan kalangan anti rokok selalu dikaitkan dengan isu ekonomi, kesehatan, hingga nasionalisme. Tidak akan pernah ada habisnya.
Persoalan rokok menjadi semakin menarik karena faktor2 itu. pertama, asumsi kebijakan penaikan harga ternyata berdasarkan eksperimen di Australia yg negara tersebut sukses menekan jumlah perokok aktif dg kebijakan kenaikan harga. tapi jangan lupa dan jangan kesampingkan fakta bahwa orang Australia secara pendapatan perkapita jauh lebih besar daripada orang Indonesia. kemudian kedua, seperti kata Dr. Dirga tersebut, di Indonesia rokok sudah menjadi budaya, bahkan tingkat fanatisme perokok sudah setara fanatiknya dg anak2 muda yg fanatik ke agamanya. 😝 Ketiga, berdasar data dari dirjen beacukai bahwa sumbangan devisa dari rokok mencapai 139,5 triliun pada tahun 2015. Ini pemasukan yg teramat besar cuy, dari freeport aja cuma sekira 16 triliunan. Kalo jadi dinaikan dan ternyata jumlah perokok berkurang, darimana Negara bisa dapat pemasukan yg sebesar itu? belum lagi bila kita masukan faktor petani tembakau, pekerja di industri rokok, tukang kelontongan, penjual asbak, de el el. (meskipun kata teman bahwa bisa jadi strategi dari empunya pabrik rokok utk tetap mempekerjakan ribuan pegawai rokok dibanding menggunakan mesin, karena kuantitas pegawai inu dengan sendirinya bisa mempertahankan bisnis rokok).
Lebih jauhnya wacana kenaikan harga rokok ini akan menjadi pembuktian konsep Survival of the fittest, sebuah konsep yang digulirkan Herbert Spencer utk kondisi saat ini yg memang tengah berlangsung sekarang. Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Apakah para perokok mampu menjadi golongan “fittest”? Atau justru para anti-rokok? Seleksinya kini tengah berlangsung. Dan akan terbukti kelak.
Yang lebih menarik adalah seperti yg disampaikan oleh mas sayyed fadel tentang isu yg sedang “digoreng” habis oleh publik. Wajar saja ini soal hajat hidup orang banyak. Data 2013 saja dari Riset Kesehatan Dasar menyebutkan bahwa perokok aktif di Indonesia berjumlah lebih dari 58 juta orang, tak terkecuali termasuk anak berusia 10 tahun atau juga wanita. Setiap hari lebih 600 juta batang rokok dibakar.
Bayangkan saja, meskipun jelas-jelas di tiap bungkusnya ditulisi “merokok membunuhmu” lengkap dengan gambar super mengerikan, mereka tak peduli. Berapa ribu lembar esai, puisi, novel, hingga skripsi yang bisa selesai lantaran penulisnya ditemani rokok? Berapa banyak kerja kreatif atau biasa-biasa saja yang selesai juga karena subjeknya mengerjakan sambil ngerokok ?
Lagi pula, kata sebagian mereka, “rokok membunuhmu” itu kan tinjauan fisik. Tapi jika ditinjau secara psikis-mental, “rokok menghidupkanmu”. Belum lagi kalau bicara soal rokok dalam perspektif budaya, panjang lagi urusannya. Budayawannya harus sambil ngerokok agar lancar diajak omong soal ini.
Ada lagi soal “keteladanan” rokok dari para tokoh bangsa (Bung Karno, Agus Salim, dan lain-lain) hingga kiai. Ada juga yang mengaitkannya dengan takdir: banyak yang merokok panjang umur, alih-alih yang tak merokok mati muda. Karena umur itu di tangan Tuhan.
Jika Anda sudah mulai mumet dengan apa yang saya tulis, itu artinya waktunya saya mengakhiri kolom ini. Sebab, memang itu visi kolom ini: menunjukkan bahwa persoalan ini mumet. Jadi, sudah sepatutnya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan guna menekan angka konsumsi rokok di negeri ini.
Teman-teman saya yang berhenti ngerokok cenderung bertahap, tak bisa sekaligus. Begitu pula sebaiknya kebijakan pemerintah dalam menekan konsumsi rokok di sini. Dan yang paling penting diingat bahwa “yang membunuhmu” bukan hanya rokok, tapi juga korupsi, macet, banjir, dan semacamnya. Jangan lembek soal itu!
*tulisan ini terinspirasi dari tulisan dg topik serupa dari mba Merry Magdalena dan Sayyed Fadel.
0
1.1K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan