BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Energi terbarukan jangan terkungkung harga

Pemerintah menargetkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) minimal 23 persen pada 2025.
Dalam draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2015-2034 pemerintah telah menargetkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) minimal 23 persen pada 2025. Meski optimistis, tapi tidak gampang memenuhi target itu.

Tahun 2016, target penggunaan EBT dipatok 16 persen. Namun saat ini, porsi EBT baru sekitar 11 persen. Itulah yang disampaikan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana, dalam diskusi Energi Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, (21/8/2016).

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) bertekad mengejar kekurangan 12 persen tersebut dalam 10 tahun mendatang. Kesempatan terbesar ada di mega proyek penyediaan listrik 35.000 MegaWatt, yang sesuai rencana pemerintah, harus rampung pada 2025.

Sebagaimana diketahui, pemerintah cukup ambisius membangun pembangkit listrik 35.000 MW sejak 2015. Namun bukan rahasia, pembangunan itu kurang berjalan mulus karena masih terjadi tarik ulur antara Kementerian ESDM dengan PLN.

Dalam rencana pembangunan tersebut, ada target pemakaian bahan bakar pembangkitnya dari EBT sebesar 25 persen. Sementara investasi pembangkit listrik tenaga EBT, cukup mahal. Pemerintah pun menyadari, proyek yang membutuhkan dana sekitar Rp1.100 triliun ini, tidak mungkin didanai sendiri oleh pemerintah.

Apalagi, APBN mengalami tekanan, karena pendapatan negara tidak seperti yang direncanakan. APBN 2017 mengharuskan penghematan hingga Rp133 triliun. Anggaran Kementerian ESDM pun termasuk yang harus berhemat.

Jatah anggarannya menyusut dari Rp8,56 triliun (2016), menjadi Rp7,74 triliun. Namun tentu penghematan ini tidak boleh menjadi penghambat proyek strategis, pemenuhan porsi EBT sesuai RUKN.

Itulah sebabnya, Kementerian ESDM mendorong proyek tersebut, dikerjakan bareng dengan swasta. Bahkan swasta mendapat porsi yang lebih besar dibanding pemerintah di proyek ini.

Jatah pemerintah disesuaikan dengan kemampuan finansial PLN. BUMN dengan aset Rp800 triliun ini, diperkirakan hanya mampu membangun sebesar 10.000 MW. Sedang sisanya, 25.000 MW, ditawarkan ke pihak swasta.

Peran swasta diwadahi dalam bentuk kerja sama IPP (Independent Power Producer). Yaitu pembangkit dibangun swasta, sedang transmisi dan distribusi listrik sepenuhnya di tangan PLN. Ada 128 unit pembangkit listrik bertenaga EBT yang akan dibangun dalam proyek ini.

Masalahnya, perikatan antara PLN dengan IPP belum berjalan sesuai rencana. Masih terjadi silang sengkarut soal harga. Harga listrik yang dihasilkan pembangkit berbahan bakar EBT, jatuhnya lebih mahal dibanding dengan harga listrik yang dihasilkan pembangkit berbahan baku minyak, batu bara, maupun gas.

PLN bahkan seperti memprotes harga listrik EBT yang ditetapkan Kementerian ESDM, karena lebih tinggi dibanding harga jual PLN ke konsumen. Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir memberikan contoh konkret:

PLN membeli listrik tenaga EBT dari pengembang atau investor IPP harganya USD15 sen per kilo watt hour (kWh) atau sekitar Rp2.000. Sedangkan harga jual PLN ke industri sekitar Rp900 sampai Rp1.000 per kWh. Berarti ada selisih harga (kerugian) Rp1.000 yang harus ditanggung PLN.

Selisih harga inilah yang masih menjadi ganjalan pemenuhan kebutuhan listrik dari IPP. Ganjalan tersebut menurut Sofyan, akan selesai bila pemerintah sanggup menanggungnya. Artinya pemerintah harus menyiapkan dana penyangga, atau memberikan subsidi. Formalnya bisa ditetapkan melalui UU atau Peraturan Presiden.

Permintaan Sofyan tentang dana cadangan melalui UU atau PP ini bisa dibilang mengada-ada. Selama ini, PLN selalu mendapatkan subsidi yang cukup besar tanpa UU atau pun PP khusus, tapi melalui APBN.

Pada APBN 2017, pemerintah mengalokasikan subsidi listrik sebesar Rp48,6 triliun. Jumlah tersebut memang menurun dibanding APBN-P 2016 sebesar Rp50,7 triliun. Namun pemerintah juga memberikan pos baru yaitu subsidi EBT sebesar Rp1,29 triliun.

Dengan dana subsidi listrik dan subsidi EBT dalam APBN 2017 yang cukup besar ini, semestinya pengembangan EBT ke depan tidak terkendala lagi. Apa pun EBT adalah masa depan energi di Indonesia, untuk menambal ketersediaan energi fosil yang semakin langka.

Saat ini kebutuhan energi di Indonesia masih bergantung energi fosil dan sumber daya alam yang lain. Energi fosil masih didominasi oleh minyak mencapai 41,8 persen, disusul batu bara 29 persen, dan gas 23 persen.

Sementara data lain menunjukkan, pertumbuhan konsumsi energi Indonesia lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan konsumsi energi dunia. Berdasarkan data Ditjen EBTKE, dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan konsumsi energi Indonesia mencapai 7 persen pertahun. Sementara pertumbuhan konsumsi energi dunia hanya 2,6 persen pertahun.

Akibat konsumsi energi yang sangat besar tersebut, cadangan energi yang tidak terbarukan semakin cepat menipis. Cadangan minyak misalnya, hanya cukup untuk 23 tahun lagi. Sedang cadangan gas masih cukup sampai 50 tahun ke depan. Sementara batu bara masih cukup panjang, bisa untuk 80 tahun mendatang.

Dari data tersebut, diperkirakan pada 2030 kita akan betul-betul menjadi nett importer energy. Negara yang tidak bisa lagi menghasilkan minyak, alias murni pengimpor minyak.

Sementara bila melihat sumber daya EBT, yang terdiri dari Tenaga Air, Panas Bumi, Mini/Mikro Hidro, Biomasa, Tenaga Surya dan Tenaga Angin, bisa disebut sebagai harta karun. Cadangannya bisa memenuhi kebutuhan energi selama 100 tahun ke depan.

Pemanfaatan EBT pun masih sangat rendah. Tenaga Air misalnya, dari sumber daya setara 75,67 Giga Watt (GW), baru dimanfatkan 4,2 GW. Begitu pula Biomasa, dari cadangan setara 49,81 GW, baru digunakan sebesar 0,3 GW.

Pengembangan EBT, pada akhirnya sudah menjadi keharusan. Bahwa saat ini harga EBT masih lebih mahal dibanding energi fosil, jangan sampai menjadi kendala. Harus ditemukan solusi sampai kapasitas pemanfaatannya pada tingkat ekonomis.

Mesti juga dipahami, bahwa sampai batas waktu tertentu, subsidi EBT bukan hal yang haram. Karena sesungguhnya, bisa saja subsidi EBT yang muncul saat ini, disebut sebagai biaya lingkungan alias environmental cost. Karena pemanfaatan EBT memang lebih ramah lingkungan, ketimbang energi fosil.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...kungkung-harga

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.9K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan