Mengapa Orang Jakarta Sulit Mengetahui Mata Angin?
TS
adewantor
Mengapa Orang Jakarta Sulit Mengetahui Mata Angin?
Arah mata angin Utara, Selatan, Timur, dan Barat ada untuk memudahkan berbagai keperluan manusia dan sudah diperkenalkan kepada kita sejak SD. Namun demikian, entah mengapa orang Jakarta seolah gemar sekali menertawakan kami yang dari ‘Jawa’ -Jakarta bukan Jawa ya, Halooo!- yang suka menggunakan Utara dan Selatan sebagai penunjuk arah.
Utara dan Selatan itu absolut selama kutub bumi tidak bertukar dan matahari semenjak ribuan tahun yang lalu arah gerak relatifnya selalu sama yakni dari Timur ke Barat. Jadi mengapa arah mata angin tetap saja asing bagi orang Jakarta? Mereka lebih suka ditunjukan arah dengan “Ke Kiri”, “Lurus”, dan “Muter” daripada “dari Utara belok ke Timur”. Inilah rupanya beberapa sebab yang sempat saya telaah beberapa waktu:
Spoiler for 1. Banyak Jalanan Jakarta yang Tidak Menurut Mata Angin:
Semanggi, sebagai titik temu berbagai jalan utama di Jakarta, letaknya serong. Jalan Gatot Subroto menyilang dari Tenggara ke Barat Laut sementara Jalan Jenderal Sudirman menyilang dari Barat Daya ke timur laut. Dengan demikian tata letak gedung dan fasilitas di sekitarnya pun ikut menjadi kacau. Gelora Bung Karno misalnya, sulit untuk menentukan di mana letak Pintu Selatan dan Parkir Timur karena kesemuanya menempel pada Jalan Jenderal Sudirman yang posisinya serong. Jika kita memaksakan diri menggunakan arah mata angin di sekitar sini maka pusing lah yang akan kita dapat. Cara jitu untuk menuju tempat-tempat di seputaran Semanggi adalah dengan menghafal lokasi yang akan kita tuju berdekatan dengan “Gedung Apa”. Kebetulan banyak gedung-gedung tinggi yang bisa menjadi penanda di sini.
Akan tetapi, kesulitan akan muncul ketika kita bergeser ke kawasan Kemang dan Kebayoran Baru. Di kawasan ini tidak banyak gedung tinggi, jalanan kebanyakan serong sehingga sulit ditentukan dengan mata angin, dan kabar buruknya lagi semua jalan hampir tampak sama jika kita tidak sering lewat daerah itu. Setelah hampir delapan tahun malang melintang di Jakarta kawasan Kebayoran Baru dan Kemang tetap saja merupakan Hedge Maze buat saya.
Spoiler for 2. Manusia yang Ada di Jakarta Banyak yang Bukan Warga Jakarta:
Termasuk saya, saya adalah warga Banten yang hanya menghabiskan sekitar 8-10 jam di kubikal di dalam kota Jakarta lalu pulang “kampung” lagi naik KRL. Dengan demikian, mengenal arah mata angin di Jakarta bukan kegiatan yang sempat dilakukan. Mereka yang tinggal di dalam kota Jakarta pun pada hari kerja sebagian besar waktunya dihabiskan di kantor dan pada hari libur ngariung di mal. Sedikit sekali yang punya kesempatan mempelajari arah mata angin dengan berada di jalanan Jakarta.
Spoiler for 3. Orang Jakarta Naik Angkutan Umum:
Walaupun sistem angkutan umum di Jakarta termasuk buruk namun percayalah itu sudah yang terbaik yang ada di negeri ini. Kota lain boleh saja lebih indah dan nyaman untuk ditempati namun tidak ada yang angkutan umumnya sedemikian andal dan terintegrasi seperti kota Jakarta. Jika anda menyebut Bandung atau Jogja sebagai kota dengan transportasi baik maka cobalah naik taksinya yang bobrok dan jarang mau pakai argo. Di Jogja lebih parah lagi, pukul 18.00 bis kota sudah tidak beroperasi. Siap-siaplah mrongos kalau pulang kerja lembur.
Sementara itu, transportasi di Jakarta tersedia hampir selama 24 jam penuh dengan berbagai tarif dan moda yang bisa anda pilih mana suka. Dengan mengandalkan angkutan umum maka orang di Jakarta bisa sedikit kurang memedulikan arah mata angin. Cukup hafal di mana harus turun sampailah kita ke tujuan.
Spoiler for 4. Gunung Jarang Terlihat dari Kota Jakarta:
Sisa kebudayaan Hindu – Budha di Indonesia yang dibawa dari India adalah sebuah konvensi arah mata angin yang sebenarnya salah kaprah namun memudahkan. Di India, arah utara ditetapkan secara absolut dengan menunjuk pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi di utara. Arah selatan adalah laut yang walaupun tidak tepat sepenuhnya karena bagian selatan India berbentuk segitiga terbalik sehingga arah selatannya terbentang dari barat daya sampai tenggara.
Cara merujuk mata angin ala India itu dipakai di kerajaan Hindu Mataram Kuno yang berdiri di sekitar Prambanan, Yogyakarta sekarang. Gunung Merapi ditetapkan sebagai referensi utara dan Pantai Parangtritis adalah arah selatan. Kebetulan Tepat. Namun cabang Mataram Kuno yakni Dinasti Budha Syailendra yang berada di sekitar Borobudur menetapkan juga Gunung Merapi sebagai referensi utara. Padahal dari Magelang, Gunung Merapi letaknya di Timur. Demikian juga masyarakat sekitar Madiun yang rancu menganggap Gunung Lawu adalah arah utara padahal sebenarnya ada di barat.
Beruntung Gunung Gede-Pangrango yang berada di Tenggara Jakarta jarang sekali terlihat dari kota Jakarta kecuali saat langit benar-benar cerah. Dengan demikian orang Jakarta tidak perlu menderita kerancuan mata angin.
Spoiler for 5. Jakarta bukan Kota yang Dirancang:
Bandung adalah kota yang dirancang oleh Daendels sebagai kota masa depan bagi koloni Hindia Belanda. Sementara itu Jogja ditata secara apik oleh Pangeran Mangkubumi dengan jalan-jalan yang saling paralel dari utara ke selatan dan timur ke barat. Lebih dari itu Demang Porte, seorang arsitek dari Portugal, menjadi konsultan khusus dalam perancangan kota Jogja. Balikpapan yang menjadi besar setelah ditemukannya minyak juga menjadi kota yang yang tertata rapi mengingat pentingnya fungsi kota ini sebagai pelabuhan migas.
Sementara itu, Jakarta yang dirancang hanyalah Jakarta Kota (Beos) dan Seputaran Menteng-Weltevreden (Gambir). Daerah-daerah selebihnya adalah kumpulan desa besar tempat orang-orang berduyun-duyun dari kampung mengadu nasib. Jadilah yang semrawut dengan banyak jalan sempit dan jalan buntu di mana-mana. Dengan demikian, mengetahui mana utara dan mana selatan di Jakarta belum tentu bisa membawa kita ke tujuan yang benar
Demikian sedikit corat-coret saya semoga agan sista berkenan ditungggu